OzAlum Podcast

Eps #13: G20 in the Spotlight: Finding Opportunities for Positive Change

Australia Global Alumni in Indonesia Season 1 Episode 13

The COVID-19 pandemic is an opportunity for the whole world to work together to overcome crises and create and maintain solid, sustainable and inclusive global growth. The Group of Twenty (G20), which includes Indonesia and Australia, has the potential to play a central role in alleviating this crisis through collective action and inclusive collaboration among major developed countries and emerging economies around the world. 

In this thirteenth episode, OzAlum Prof Dr Herawati Sudoyo, Principal Investigator at the Mochtar Riady Institute for Nanotechnology, Dr Ahmad Agus Setiawan, Energy Expert Staff in the Executive Office of the President of the Republic of Indonesia, and Faye Wongso, Co-Founder and CEO of Kumpul, share their views on lessons everyone can learn from the Pandemic that can help us prepare for future shocks and crisis. From global health architecture, sustainable energy transition and digital transformation, together Australian alumni have an opportunity to support decision makers to move away from the status quo and make positive changes in our communities and country. 

Listen to our OzAlum Podcast on Spotify, Apple Podcasts, Google Podcasts, YouTube, and the OzAlum website. Don't forget to leave a rating and review!

And if you want to make a difference and become the next generation of global leaders, apply now for a G20 “Recover Together, Recover Stronger” Scholarship. The Scholarships will be awarded specifically for Masters and PhD programs that fit under Indonesia’s G20 priority areas, namely global health architecture, digital transformation and sustainable energy transition. The applications close on 12 August. More info: https://oz.link/g20scholarships.

A full transcript of this episode is available on the OzAlum Podcast website:
https://oz.link/podcast13.

Faye Wongso: Yang paling penting ketika kita membahas G20 ini adalah bagaimana tiga sektor G20 bisa membuat sesuatu yang berkelanjutan.

Dr Ahmad Agus Setiawan: Pemikiran ke depan adalah kita harus melakukan konservasi pada bumi ini, pada gaya hidup kita juga harus melakukan perubahan, dan sebagainya.

Prof Dr Herawati Sudoyo: Saya kira G20 ini untuk mempersiapkan kita mengembalikan ekonomi tapi juga mempersiapkan seandainya pandemi terjadi lagi.
 

Desy Bachir: Halo semuanya dan selamat datang di podcast dimana kami membawakan anda beberapa cerita unik dari alumni kami yang menginspirasi, bersama saya Desy Bachir. 

OzAlum Podcast adalah akses kamu ke jejaring global alumni dan podcast ini dipersembahkan oleh tim Australia Global Alumni di Indonesia.

Di episode podcast kali ini kita akan mengangkat tema terkait dengan Presidensi G20 tahun 2022 yang dilandasi oleh semangat untuk bergerak bersama untuk mencapai pemulihan perekonomian dunia yang terdampak oleh COVID-19.

Seperti kita ketahui bersama, pandemi global telah mempengaruhi setiap aspek hidup kita, dari mulai dari kesehatan, pendidikan, sampai perdagangan internasional. Pada saat yang sama, kesenjangan dalam kapasitas negara-negara untuk mengatasi krisis terus menghalangi dunia untuk sepenuhnya mengendalikan masalah dan juga krisis bersama yang kita hadapi saat ini. 

Memahami tantangan dan perlunya upaya kolektif dalam mengatasi krisis, dalam presidensi G20 Indonesia tahun 2022 ini mengkaji tentang tiga sektor prioritas yaitu penguatan arsitektur kesehatan global, transisi energi berkelanjutan, serta transformasi digital dan ekonomi yang dinilai menjadi kunci pemulihan berkelanjutan.

Baru-baru ini Perdana Menteri Australia, Anthony Albanese melakukan kunjungan ke Indonesia dan menyebutkan Beasiswa G20 “Pulih Bersama, Bangkit Perkasa” yang ditawarkan kepada 10 generasi baru pemimpin dunia dari Indonesia untuk belajar di universitas di Australia melalui program Master atau PhD di bidang studi yang berkaitan dengan tiga sektor prioritas G20 yang tadi sudah aku sebutkan.

Dengan program beasiswa tersebut diharapkan nantinya penerima beasiswa dapat berkontribusi dalam pembangunan di Indonesia dan menjadi agen perubahan di sektor kesehatan, energi berkelanjutan and transformasi digital.

Di episode kali ini kita kedatangan tiga alumni ahli yang inspirasional dari tiga bidang prioritas Presidensi G20 tersebut. Ketiga tamu kita akan berbagi mengenai pendapat mereka seputar permasalahan dunia di kesehatan, energi dan ekonomi digital. Kita juga bisa mendengarkan bagaimana masyarakat dapat berkontribusi mendorong pemulihan pembangunan.

Mungkin kita sapa dulu sebelum berbincang lebih lanjut dengan ketiga tamu podcast kali ini. Halo Prof Hera, Pak Agus, dan juga Mbak Faye.

Faye Wongso, Dr. Ahmad Agus Setiawan, Prof Dr Herawati Sudoyo: 

-Halo, Desy. -Halo, apa kabar semuanya? -Baik sekali.

Desy Bachir: Mungkin sebelum kita berbincang, kita bisa mendengarkan perkenalan diri dahulu dari Prof Hera, Pak Agus, dan juga Mbak Faye. Bisa memperkenalkan nama lengkap, kesibukannya apa, nama panggungnya apa, kalau misalnya ada dari unversitas mana, bidang apa dan tahun berapa dari Australia. Silahkan.

Siapa dahulu ini? Sesuai abjad saja. Karena perempuannya ada dua, laki-laki dahulu.

Dr Ahmad Agus Setiawan: Baik. Terima kasih. Selamat malam. Saya Ahmad Agus Setiawan. Nama panggung biasa dipanggil mahasiswa Aas.

Desy Bachir: Jadi nama panggungnya itu? Oke, saya akan ganti menjadi Pak Aas. Baik.

Dr Ahmad Agus Setiawan: Tadi ditanyakan saya lulus dari Curtin University. Selesai tahun 2009 di Electrical Engineering jurusan Renewable Energy Power System.

Desy Bachir: Oke. Kesibukannya apa pak sekarang? 

Dr Ahmad Agus Setiawan: Saya saat ini bekerja sebagai Energy Expert Staff di Kantor Staf Presiden Republik Indonesia  sebagai tenaga ahli bidang energi di kantor staf presiden. Selain itu saya adalah dosen di Departemen Teknik Nuklir dan Teknik Fisika, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada.

Desy Bachir: Baik. Terima kasih Pak Aas. Aku sesuai nama panggung saja. Selanjutnya, kita disini semua pakai baju putih kecuali satu. Jadi yang pakai baju merah dulu sambil dibayangkan oleh pendengar siapa yang kira-kira pakai baju merah. Silahkan Prof Hera.

Prof Dr Herawati Sudoyo: Oke. Nama saya, nama panjangnya yang biasa profesional itu, Herawati Sudoyo. Tetapi teman-teman, dan semuanya selalu memanggil nama saya Hera saja.

Saya adalah wakil kepala lembaga biologi molekul Insititut Eijkman dari tahun 1995 sampai 2021. Saya adalah lulusan Department of Biochemistry, Monash University. Bidangnya adalah biologi molekul dan sepertinya saya lulusan yang paling dahulu disini, tahun 1990.

Saya sekarang, selama 5 bulan ini ada di Mochtar Riady Institute for Nanotechnology sebagai Principal Investigator dan juga sekarang saya adalah Ketua Komisi Ilmu Kedokteran dari Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia yang sedang sibuk urusannya dengan Science 20 bersama dengan seluruh Akademi Ilmu Pengetahuan Dunia.

Desy Bachir: Iya. Selanjutnya mungkin pasukan baju putih bisa melanjutkan perkenalannya. Silahkan Mbak Faye.

Faye Wongso: Halo. Saya Faye Wongso, sebenarnya kependekan dari Wongsodirjo. Saya saat ini sibuk dengan KUMPUL, kumpul.id, CEO & Co-Founder penggerak ekosistem terbesar di Indonesia dan juga Presiden dari Coworking Indonesia. Jadi kami sangat kuat di jejaring Coworking dan KUMPUL bekerja dengan hampir 120 pusat wirausaha di 40 kota. Jadi untuk ekonomi digital, menggerakkan anak muda bikin bisnis, dan startup. 

Dulu di Australia mengambil Master of Peace and Conflict Studies, jadi sangat jauh dari yang dikerjakan sekarang, di University of Sydney dan tahun 2017 sempat mendapat lagi kesempatan untuk studi singkat Transformational Business Leadership for Outstanding Australian Alumni. Jadi dulu sempat dipilih satu group dari berbagai sektor, kita pergi lagi ke Australia, 2 minggu untuk terhubung kembali dengan Australia. Begitu, Mbak Desy.

Desy Bachir: Begitu. Kita sama almamaternya. Saya juga dulu lulus dari University of Sydney. Mungkin agak lebih lama, tahun 2003.

Terima kasih, Bapak Ibu untuk perkenalannya. Ini semua disini adalah alumni dari Australia, boleh tidak diceritakan pengalaman studi di Australia dan apa inspirasi menarik yang dibawa dari pengalaman studi tersebut yang masih berkesan dan masih dibawa sampai sekarang?

Faye Wongso: Kalau aku S1nya di Indonesia jadi baru S2nya di Australia dan cara membuat tugas atau cara menulis esai itu sangat berbeda menurut aku.

Yang lumayan berkesan esai pertama, tugas pertama itu bikin panik sekali. Padahal sudah dapat pelatihan sebelum keberangkatan bagi yang mendapat Australia Awards, dan di kampus di University of Sydney itu ada konselor akademik yang bisa membantu kita untuk membimbing penulisan esai. Pertama kali itu sangat terbantu dan ternyata sesudahnya tidak usah dibantu lagi sudah bisa.

Itu satu, tapi yang paling berkesan tentang sekolah di Australia sebenarnya bukan situasi di dalam kelas tapi ketika kita baru sampai, saya tersesat. Belum zamannya Google Maps. Jadi kita buka peta kertas, peta kampus. Setiap kali buka peta, pasti ada yang menghampir dan bilang "kamu mau kemana?" "Kesini, ke gedung ini." "Ikuti aku, aku mau kesana." Dua kali pasti seperti itu. Jadi orang Australia sangat hangat dan itu membekas sampai sekarang.

Desy Bachir: Iya, memang orang Australia hangat, sangat menerima dan tidak ada bias menurut aku. Aku merasakan hal yang sama setelah coba mengingat ingat. Oke. Terima kasih, Faye. Kalau Prof Hera, apa yang paling diingat dari pengalaman studi di Australia?

Prof Dr Herawati Sudoyo: Saya itu lulusan dari Fakultas Kedokteran, kita belajar biokimia dan yang lainnya, tapi kebanyakan itu hanya belajar teori. Itu jadi seperti gegar budaya melihat bahwa kita itu bekerja di laboratorium 24 jam tidak boleh berpikir yang lain, minggu pun kita masuk, jadi betul-betul harus berdedikasi. 

Lalu kemudian juga saya di sana diperkenalkan dengan budaya ilmiah. Budaya Ilmiah dimana kita itu saling berbagi ke rambu-rambu untuk urusan integritas, etik dan sebagainya. Kerjasama tim itu adalah sesuatu yang sangat-sangat diperkenalkan pada kami.

Mulainya dari gegar budaya dulu tapi adaptasi, penyesuaian dan lainnya itu merupakan sesuatu yang kita pelajari dan itu saya kira yang membentuk kita semua waktu di sana. Menurut saya, saya dibentuk untuk menjadi seorang peneliti saat berada di Australia.

Budaya itu dan ekosistem itulah yang sebenarnya saya bawa ke Indonesia. Jadi waktu saya pulang itu tidak ada suatu lembaga penelitian yang bentul-betul sepenuhnya meneliti, tidak ada yang lain, seperti di Australia. Kita mencoba untuk menular luaskan itu. Jadi itu sebenarnya yang sangat-sangat penting untuk saya dan tidak pernah saya lupakan.

Desy Bachir: Luar biasa sekali Prof Hera. Kalau Pak Aas bagaimana?

Dr Ahmad Agus Setiawan: Baik. Terima kasih. Jadi memang saya cukup beruntung. Saya memiliki supervisor, almarhum Prof Chem Nayar di Curtin University itu peneliti, profesor, sekaligus juga berkemcimpung di industri. Jadi profesor Nayar waktu itu memulai anak perusahaannya saat saya masuk.

Saya 2004 akhir datang ke Curtin University. 2005 itu ikut bantu-bantu, kemudian ikut proyek yang nyata. Jadi bukan hanya sisi teoritis saja, kamu melakukan terotitis, penelitian awal, eksperimen awal, kamu dapat hasil, lapor ke profesor, kemudian dibawa ke prototipe dan lapangan.

Tahun 2006, di pertengahan perjalanan ada pembukaan pendaftaran proposal untuk proyek Teknik dari Daimler bekerja sama dengan UNESCO waktu itu namanya Mondialogo Engineering Award 2007. Saat itu bekerja sama dengan mahasiswa Universitas Gadjah Mada, kemudian mengajak teman-teman di Curtin University, kita mengajukan poyek dan alhamdulillah dalam seleksinya kita menang. Kita adalah 10 pemenang terbaik, yang kemudian diberi dana untuk menjalankan proyeknya. 

Menurut saya sebuah kekuatan yang sangat menarik karena di kampus Curtin University saya diberikan kebebasan, saya bisa main-main di lab maupun di industri yang membuka wawasan aplikasi-aplikasi dan sebagainya. Dan ternyata apa yang kita siapkan di lab itu memang aplikasi untuk kemanusiaan dan bisa dikembangkan apalagi di Indonesia.

Desy Bachir: Ini sebenarnya kalau aku baca profilnya, sangat mengagumkan dan menginspirasi tapi apa yang memutuskan untuk menggeluti bidang ini pertama kali? Dan kalau misalnya aku tanya dari sekian lama menggeluti bidang tersebut, apa kontibusi yang dirasakan paling berarti, yang dibuat oleh Prof Hera, Mas Aas, Mbak Faye terhadap sektor yang digeluti?

Prof Dr Herawati Sudoyo: Oke. Sebenarnya saya tidak bisa menjawab karena menurut saya semuanya itu rata saja tapi siapa yang menyangka bahwa apa yang kita lakukan itu ternyata sekarang ini menjadi sangat-sangat bermakna. Tidak hanya dari sudut sosial politik tetapi juga merupakan suatu pendekatan kedokteran yang terkini.

Tapi kalau dari sudut publik mungkin yang paling spektakuler dan dikenal itu adalah pada waktu kami membantu sejawat Polri mengungkap siapa pelaku bom bunuh diri di depan Kedutaan Besar Australia. Itu fenomenal. Kenapa? Kita mengerjakan dalam waktu yang pendek. Karena metode maupun marka yang kita pakai itu sudah kita kembangkan di Monash University dan dipakai untuk forensik DNA. Tanpa itu, tidak bisa karena bom membuat jaringan-jaringan hancur. Tidak ada yang bisa digunakan kecuali DNA yang kami gunakan itu.

Desy Bachir: Tapi Prof, aku baca-baca juga Prof Hera juga sangat aktif pastinya dalam era Covid-19 ini. Mengindentifikasi penggunaan plasma. Itu bagaimana? Boleh diceritakan untuk ini?

Prof Dr Herawati Sudoyo: Betul. Jadi sebenarnya apa yang harus kita punya? Yang kita harus punya adalah pengetahuan yang bisa digunakan untuk apapun juga dan merespon sesuatu yang cepat.

Jadi bagaimana caranya pertama kali? Kita waktu itu yang pertama sebenarnya mengembangkan test untuk Covid-19. Kemudian juga pengurutan keseluruhan gemon yang semua orang tahu bisa melihat varian-varian itu, itu rutin kita lakukan. Itu kita melakukan hal itu sudah sehari-hari. Tapi kalau lembaga yang lain, yang tidak melakukan pelatihan rutin, dia harus mengembangkan sesuatu yang baru, beli alat baru, dan sebagainya.

Begitu saya kira. Jadi semuanya, mulai dari deteksi, prefensi, maksudnya itu adalah pembuatan vaksin, perawatan penyakit, semuanya karena pengetahuan yang ada makanya kita bisa masuk.

Saya kira itu yang harusnya kita lakukan, karena pandemi bukan ini saja. Saya kira G20 ini untuk mempersiapkan kita mengembalikan ekonomi, tapi juga mempersiapkan seandainya pandemi terjadi lagi.

Desy Bachir: Aku juga ingin tanya pengalaman yang lain. Mungkin Faye? Silahkan.

Faye Wongso: Kalau aku dulu berawal dari kegemasan. Jadi kenapa dulu mengambil Master of Peace and Conflict Studies karena dulu beredarnya di bantuan kemanusiaan dan juga di tempat-tempat yang terdampak oleh bencana alam atau konflik. Jadi melihat bagaimana ada ketimpangan juga dengan kita anak Jakarta dengan segala fasilitasnya dibandingkan daerah atau negara lain. Lalu juga melihat betapa ketimpangan ini terjadi untuk Indonesia. Kenapa Indonesia yang katanya keren sekali, punya potensi, negara yang ter-, tapi kita hampir tidak ada keberadaan di dunia global.

Ternyata waktu tahun 2008, 2009 itu ada statistik yang mengejutkan buat saya pribadi bahwa negara-negara yang berdaya, level wirausahanya tinggi. Jadi antara 7-8%, misalnya Singapore. Amerika begitu juga, yang levelnya 14,5% dan juga Australia cukup tinggi. Indonesia itu 0.8%, Desy. Jadi tidak sampai 1% karena kalau kita ke daerah-daerah, semua anak mau jadi PNS. Bagus banyak yang mau membangun negara lewat bekerja untuk pemerintah tapi yang bayar gaji PNS uang pajak, yang bayar pajak ga ada karena bisnisnya kurang.

Jadi itu berawal dari visi bagaimana saya yang orang biasa dengan daya yang terbatas bisa berbuat sesuatu. Saya mulai dengan Coworking karena saya pikir harus ada bisnis model yang membuat dengan daya yang sedikit ini, bagaimana kita bisa membuat wirausahawan atau anak-anak yang membuat sesuatu ini bisa lebih gampang sukses. Karena ternyata, 0.8% bukan berarti tidak ada yang coba tapi pada gagal semua. Jadi Coworking ini berawal dari sana lalu bergerak ke arah apa yang bisa menggerakkan pusat wirausaha ini di seluruh Indonesia.

Jadi memang kontribusi terbesar menurut saya adalah kesempatan untuk belajar dan bekerja sama dengan mitra-mitra strategis di banyak titik di Indonesia. Tanpa platform digital dan keterpaksaan, sepertinya itu tidak mungkin terjadi.

Desy Bachir: Jadi diawali dengan kegemasan.  Terima kasih, Faye. Kalau Mas Aas sendiri bagaimana?

Dr Ahmad Agus Setiawan: Baik, mbak. Jadi ketertarikan saya tentang energi  terbarukan itu sejak S1. S1 saya itu di teknik elektro UGM. Kemudian saya berkesempatan jadi dosen di teknik nuklir dan teknik fisika yang memang fokusnya energi terbarukan.

Tahun 2000 saya mendapat kesempatan untuk studi lanjut di Swedia, bidangnya Sustainable Energy Engineering. Karena ketika kita sebagai mahasiswa teknik di tahun 90an atau mungkin sebelumnya, itu semua pasti larinya ke industi tambang, perusahaan minyak, dan sebagainya.

Dan kita juga tahu bahwa saat itu bahan bakar berbasis fosil sangat kuat. Tapi 2004 itu Indonesia bukan lagi anggota OPEC. Kita jadi negara pengimpor untuk petrolium, untuk minyak. Ini yang kadang-kadang kita sebagai bangsa kita sering dikasih tahu negara kita itu kaya raya. Ini repot untuk membalik informasi itu. Bukan berarti menularkan pesimisme tapi malah optimisme untuk ayo kita cari apa yang kita punya di Indonesia, sumber daya, sumber daya alam juga harus dikejar dan terutama ketika kita melihat kepulauan kita. Ini yang jadi menarik. 

Kemudian kita berpikir bagaimana memberikan energi, akses yang sama. Masih banyak yang harus kita perhatikan, kita perjuangkan untuk itu. Tantangan-tantangan seperti itu yang semakin menarik. Begitu, Mbak.

Desy Bachir: Iya. Menarik sekali memang tapi kalau misalnya dilihat banyak benang merah, kesamaan dari 3 sektor ini dan mungkin itu juga sebabnya kenapa tiga sektor di mana bapak ibu terlibat ini sekarang dijadikan sebagai sektor prioritas.

Aku ingin tahu juga pendepat pribadi dari masing-masing. Menurut Mas Aas, Prof Hera, Mbak Faye juga, kenapa tiga sektor yang digeluti ini adalah sektor prioritas dalam G20 kali ini? Dan perubahan signifikan apa yang bisa kita antisipasi kedepannya dari sektor-sektor ini? Mungkin Mas Aas boleh duluan.

Dr Ahmad Agus Setiawan: Baik, Mbak. Energi terbarukan sebenarnya sudah diperjuangkan oleh senior-senior kita jauh-jauh hari. Hanya karena momentum saja tidak dapat, mbak. 

Jadi tahun 70an, setelah krisis dulu.Tapi krisisnya karena politik pada waktu itu. Ada embargo dan sebagainya sempat naik energi terbarukan tapi begitu masalah minyaknya beres, persediaan bagus, ancur lagi. Iya, dilupakan.

Ketika di 2000 sekalian ini, yang kekinian sekarang, 2020 dan seterusnya ini. Ini bersatu 2 isu besar ini yaitu isu emisi, perubahan iklim, bersatu dengan energi-energi yang harus bersih, energi terbarukan. Baru terangkat naik dan ikut. 

Jadi ini adalah sesuatu yang mau tidak mau dan ada 3 isu kalau di sistem energi untuk di adopsi di G20 ini. Beberapa tema topiknya adalah mengamankan aksesibilitas energi, karena kita punya 17.000 pulau jadi penting untuk punya aksesibilitas itu. Teknologi energi yang pintar dan bersih yang di perbesar skalanya. Jadi bukan kecil-kecilan, satu rumah tapi kalau bisa sampai tingkat mikro, tingkat cerdas dan sebagainya. Kemudian juga memanjukan pembiayaan energi. Jadi keuangannya juga menjadi penting dan penentunya.

Dan ketika semua masyarakat biasa sudah bisa melihat lebih murah, itu semua orang akan bergerak ke arah sana. Itu poinnya mbak.

Desy Bachir: Oke. Kalau Prof Hera, bagaimana?

Prof Dr Herawati Sudoyo: Sekarang kita itu melihat dulu, kita itu lupa bahwa kemarin itu ada SARS kemudian ada Avian flu. Itu kecil, tidak banyak jumlahnya tapi ekonomi kita berantakan sekali dan terus kemudian karena lupa jadi tidak ada satu pun di dunia ini yang siap dengan Covid-19 ini. Semuanya itu terburu-buru sekali dalam melakukan manajemen atau penanganan penyakit ini. Jadi karena itu maka kesehatan global itu penting.

Kemarin-kemarin itu tidak ada yang namanya kolaborasi. Kita itu benar-benar kompetisi tidak hanya di dalam tapi juga di luar. Dan baru sekarang ini sebenarnya, belum pernah kita itu sebagai peneliti melihat bagaimana terbukanya data-data. Berbagi informasi itu baru terjadi sekarang karena semua merasa bahwa mereka tidak mungkin bisa melawan ini sendirian.

Untuk G20 Presidensi ini, bagaimana semuanya itu mendapat perhatian, mendapat kesempatan, mendapat semua fasilitas untuk pemulihan itu kurang lebih sama. Lalu bagaimana kita memberikan informasi pada publik yang benar. Bagaimana kita bisa memberikan pemahaman, kesadaran dan pemahaman. Ilmu pengetahuan dan teknologi itu tidak akan jadi apa-apa kalau tidak digunakan oleh pemangku kebijakan.

Yang kedua, Infrastuktur. Infrastruktur kita yang dulu, yang sudah dibangun untuk pandemi sebelumnya, tidak pernah dibangun kembali. Sekarang bagaimana kedepannya nanti? Jadi semua yang sudah kita coba bangun, kita perlu bukti-bukti ilmiah untuk mebuat kebijakan tadi, itu bisa terus berkelanjutan.

Yang perlu adalah keberlanjutan dan kesehatan tidak bisa dilepaskan dari determinan sosial ekonomi. Saya kira itu. 

Desy Bachir: Iya. Kalau misalnya dari Faye sendiri?

Faye Wongso: Kalau transformasi digital sendiri sebenarnya mungkin sektor yang tidak bisa terisolasi. Dia itu horizontal jadi bisa masuk ke banyak sektor yang lain. Dan kenapa ini jadi isu yang penting di G20? Tentunya ada pengaruhnya juga dengan pandemi kemarin yang tadi sudah diilustrasikan bahwa ini seperti berkah terselubung, ada transformasi digital yang orang jadi harus terpaksa menerapkannya. 

Namun ini baru dikeluarkan bulan April kemarin oleh Kemenko, bahwa ekonomi digital di Indonesia itu tertinggi di Asia Tenggara. Nilai ekonominya d tahun 2021 tercatat sekitar USD 70 milyar dan diprediksikan tahun 2025 itu akan menjadi berlipat ganda menjadi USD 146 - 150 milyar. Jadi potensi ekonominya sangat besar sehingga beramai-ramai, semua harus begini.  Sudah merasakan uangnya masuk.

Yang saya juga mau tekankan dari transformasi digital adalah orang atau pengembangan manusia dan juga bakat. Jadi dari Harvard Business Review juga kemarin dibilang bahwa 70% secara keseluruhan dan global inisiatif untuk transformasi digital itu gagal karena yang difokuskan adalah peralatan digital. Jadi dari berbagai pilar, peralatan digital itu hanya salah satu pilarnya, Desy.

Jadi yang 4 ini itu ada proses organisasi, kesiapan sumber daya manusia, pendidikan, dan sebagainya. Jadi ketika kita hanya menghantam dengan perangkat digital sebenarnya tidak akan berkelanjutan. 

Yang paling penting ketika kita membahas G20 ini adalah bagaimana tiga sektor G20 bisa membuat sesuatu yang berkelanjutan.

Desy Bachir: Menarik bahwa semua itu punya pendapat yang sama. Saya pikir setiap sektor, kebetulan di sini hanya tiga tapi semua sektor itu terhubung, masing-masing saling berhubungan dan pastinya yang banyak ternyata bukan hanya energi yang harus berkelanjutan tapi semua inisiatif ini juga harus berkelanjutan.

Kalau misalnya kita lihat, sebenarnya tema besar G20 ini dilatar belakangi oleh visi Indonesia mengedepankan kemitraan, mungkin kemitraan antar sektor, inklusifitas banyak sekali dibahas terutama untuk akses untuk mendorong pemulihan ekonomi dunia yang berkelanjutan paska pandemi Covid-19.

Pesan apa yang ingin disampaikan untuk para alumni Australia dan masyarakat pada umumnya?

Apa yang bisa dilakukan untuk membantu pemulihan perekonomian di Indonesia dan global melalui tiga sektor ini?

Prof Dr Herawati Sudoyo: Tadi Faye bilang berkah terselubung. Kutipan ini cocok sekali. "Jangan pernah sia-siakan pelajaran dari krisis." Jadi justru kita menggunakan itu. Kita sudah tahu apa yang terjadi. Kita harus menguatkan kolaborasi dengan berbagai pemangku kepentingan yang bermanfaat.

Kalau dari sudut kesehatan jelas harus ada transformasi kesehatan. Kesehatan itu paling susah untuk bertransformasi karena kita sudah nyaman dengan apa yang sudah ada. Misalnya telemedisin sudah dari dulu tapi tidak ada sesuatu yang memaksa kita untuk berubah. Kalau kita mau bertahan, kita harus berubah dan ternyata kita lihat semua orang bisa kalau ada krisis.

Desy Bachir: Iya. Kalau misalnya Mas Aas, pesan apa yang ingin disampaikan?

Dr Ahmad Agus Setiawan: Baik. Kita itu sedang di momentum yang tidak ada taranya. Indonesia itu sebagai negara kepulauan ini sangat rentan terhadap serangan perubahan iklim yang sesungguhnya benar-benar terjadi dan nyata. Hujan kita itu sudah tidak bisa kita prediksi lagi. Sepanjang tahun ini kita mendapatkan hujan terus tapi apakah kita sudah siap jika terjadi sebaliknya?

Maka pemikiran ke depan adalah kita harus melakukan konservasi pada bumi ini, pada gaya hidup kita juga harus melakukan perubahan, dan sebagainya. Maka diperkenalkan transisi energi yang harapannya kita harus bersiap jika masa bulan madu dengan bahan bakar berbasis fosil itu mungkin sudah usai. Maka investasi terbaik adalah waktu-waktu ini, Momentum terbaik. Terima kasih, Mbak.

Desy Bachir: Iya ibaratnya pacaran, kita sudah cari gantinya sebelum kita diputuskan sama bahan bakar berbasis fosil. Kira-kira begitu.

Kalau Faye sendiri bagaimana? Pesan apa yang ingin disampaikan ke teman-teman alumni dan mungkin pendengar podcast OzAlum ini?

Faye Wongso:  Pada satu titik dalam hidup saya, aku juga hanya rakyat biasa. Waktu itu hanya pekerja NGO, seseorang yang baru lulus lalu lihat bisa bikin apa. Jadi teman-teman selalu bisa berbuat sesuatu yang nyata. Apakah bentuknya dari penelitian, gerakan, bekerja atau membuat sesuatu solusi atau usaha.

Jadi kita mau punya visi apa, mau lihat Indonesia seperti apa? Kehidupan saya yang seperti apa? Dunia seperti apa? Jadi apa yang bisa kita lakukan secara nyata mengenai itu? Jadi masalahnya adalah menurut saya gerakan kewarganegaraan yang aktif. Apa yang bisa saya kerjakan secara aktif, saat ini, dengan daya yang saya punya, kemampuan yang saya punya, waktu yang saya punya, bukan nanti-nanti lagi. Saya bisa bikin apa sekarang dengan apa yang sudah dimulai.

Apalagi untuk generasi sekarang bicara lagi tentang transformasi digital. Kemungkinannya, kesempatannya, jejaringnya tidak terbatas dan kebanyakan generasi muda sekarang itu peningkatan kapasitasnya mereka memilih untuk horizontal bukan vertikal lagi. Jadi ingin mencoba banyak hal. Coba tapi mungkin penting juga untuk lihat ketika kita itu mencoba ini cukup lama, ini bisa jadi apa.

Desy Bachir: Iya. Saya pikir tiga tamu kita disini adalah bukti kalau sebenarnya mau mencoba sesuatu untuk waktu yang cukup lama, bahkan lama sekali. Itu bisa menjadi sesuatu dan mari tidak menyia-nyiakan usaha ini. Karena mungkin buat teman-teman bingung, saya bisa apa?

Mungkin bisa lihat pintu apa yang sudah terbuka sebenarnya yang mungkin sudah dibukakan sama Mas Aas, Prof Hera, Mbak Faye, yang bisa dilakukan. Karena saya percaya semua orang punya daya. 

Buat teman-teman yang ikut mendorong perubahan dan membantu membangun koneksi atar warga yang langgeng dengan Australia, kalian dapat mendaftar Beasiswa G20 “Pulih Bersama, Bangkit Perkasa”.

Melalui studi dan penelitian, penerima beasiswa dapat mengembangkan keterampilan dan pengetahuan dengan memilih program Master atau PhD di Australia, yang sesuai dengan tiga area prioritas G20. Detail beasiswa G20 ini dapat dilihat di www.australiaawardsindonesia.org dan pendaftaran dibuka mulai pertengahan Juli ini sampai pertengahan Agustus 2022.

Untuk lebih jelasnya bisa dicek ke website Australia Awards in Indonesia, Australia – Indonesia Alumni Forum di LinkedIn, Alumni updates, dan juga media sosial Australian Embassy.

Buat Prof Hera, Mas Aas, Mbak Faye, terima kasih banyak untuk waktunya. Sangat menyenangkan sekali obrolan kita kali ini. Aku juga belajar banyak dari semuanya dan teman-teman semua, terima kasih juga sudah mendengarkan kali ini.

Di episode selanjutnya masih ada lagi interview  dengan tamu-tamu lain, alumni Australia, yang tentunya punya cerita yang tidak kalah menarik dan inspiratif. Dengerin terus OzAlum Podcast, di mana saya akan berbincang tentang pengalaman alumni Australia lainnya dan sekian untuk episode OzAlum podcast kali ini.

Jika kamu suka podcast kami, beri kami penilaian dan ulasan yang bagus dan jika kamu ingin tetap terhubung dengan jaringan alumni kami dan tetap mengikuti acara alumni kami, silahkan berlangganan update mingguan Alumni Global Australia kami dan bergabung dengan Forum Alumni Australia-Indonesia di LinkedIn. Tautannya ada di deskripsi podcast.  Sampai jumpa dalam waktu dekat.

Oke. Kita pamit dulu. Saya Desy Bachir. 

Dr Ahmad Agus Setiawan: Saya Aas. 

Prof Dr Herawati Sudoyo: Saya Hera. 

Faye Wongso: Saya Faye. 

Sampai jumpa. Bye.