OzAlum Podcast
OzAlum Podcast
Eps #11: Can Cultural Diplomacy Go Hand in Hand with the Cinema to Make the Understanding of Peoples, Cultures and Situations Easier?
Film plays a vital role in the formation of public opinion and can be a tool for cultural diplomacy. Beyond its simple financial collateral, a film can create distinct identities for our nations and regions, articulate voices of our various minority communities, and can impact both the way others see us and we see ourselves. Considering film’s global importance, what responsibility do you think the film industry has as a contributor to cultural diplomacy?
In this eleventh episode, OzAlum Aoura Lovenson Chandra, a Film Producer and Chief of Finance and Business of BASE Entertainment, and Hermina Manlea, a Film Enthusiast and Lecturer at Timor University, take us behind the scenes to talk about their hopes for Indonesia's future film industry and how it can be leveraged to build cultural understandings between Indonesia and Australia.
Listen to our OzAlum Podcast on Spotify, Apple Podcasts, Google Podcasts, YouTube, and the OzAlum website. Don't forget to leave a rating and review!
Stay connected with our alumni networks, stay up to date with our alumni events and subscribe to our Australia Global Alumni weekly updates here https://oz.link/update and join our Australia-Indonesia Alumni Forum on LinkedIn https://www.linkedin.com/groups/8490219/.
A full transcript of this episode is available on the OzAlum Podcast website: https://podcast.ozalum.com/
Aoura Lovenson Chandra: Kita perlu mengangkat dan film ini bisa menjadi kesempatan kita untuk memperkenalkan siapa kita itu sebagai orang Indonesia. Film bisa menggambarkan itu.
Hermina Manlea: Dengan berbagai suku, agama, ras kemudian banyaknya pulau yang penuh dengan budaya, tidak bisa saya bayangkan betapa banyaknya film yang bisa diproduksi dan menjadi karakter dari bangsa kita sendiri.
Desy Bachir: Halo semuanya dan selamat datang di podcast dimana kami membawakan anda beberapa cerita unik dari alumni kami yang menginspirasi, bersama saya Desy Bachir.
OzAlum Podcast adalah akses kamu ke jejaring global alumni dan podcast ini dipersembahkan oleh tim Australia Global Alumni di Indonesia.
Tema podcast kita kali ini adalah tentang film dan perfilman. Setuju tidak teman-teman dengan pendapat umum yang mengatakan bahwa ternyata film dinilai sebagai medium yang tepat untuk memperkenalkan budaya suatu negara ke negara lain. Tidak heran dalam waktu dua bulan terakhir ada beberapa negara yang memperkenalkan budaya mereka melalui film.
Contohnya Kedutaan Besar Australia yang pada bulan Februari kemarin kembali menyelenggarakan Festival Sinema Australia Indonesia (FSAI). Festival tahunan ini menayangkan beragam film ekslusif dan terbaik Australia serta Indonesia untuk masyarakat Indonesia selama sepekan melalui media streaming virtual.
Terdapat tujuh film karya sineas Australia-Indonesia yang ditampilkan di FSAI tersebut dua diantaranya karya film yang diproduseri oleh alumni Australia dari Indonesia seperti Mira Lesmana yang berjudul A Gift atau Kado, dan Kamila Andini yang berjudul Mountain Song, dan lima film lainnya yang diproduseri sineas Australia, seperti Barbara Stephen dan Danny Lachevre.
Pertanyaanya adalah bagaimana kita bisa memanfaatkan alat diplomasi budaya melalui film-film garapan sineas Indonesia untuk membangun hubungan yang lebih harmonis antara kedua negara. Tidak hanya itu, bagaimana kita bisa mengembangkan perfilman di Indonesia secara maksimal melalui dunia pendidikan.
Dikesempatan kali ini kita akan mendengarkan bagaimana pendapat dua alumni tamu kita yang hadir di podcast kali ini mengenai dunia perfilman dan peran film sebagai medium diplomasi dan literasi.
Sebenarnya kalau yang satu aku sudah kenal tapi mungkin teman-teman alumni disini belum kenal. Kalau yang satu katanya sudah berasa kenal karena selalu mendengarkan OzAlum Podcast tapi kita sambut saja Aoura dan Hermina. Halo semuanya.
Hermina Manlea: Halo mbak Desy, apa kabar?
Aoura Lovenson Chandra: Halo salam kenal semuanya.
Desy Bachir: Halo semuanya. Mungkin boleh memperkenalkan diri. Kita sesuai abjad saja dimulai dari Aoura. Silahkan memperkenalkan diri nanti sehabis itu Hermina.
Aoura Lovenson Chandra: Okey. Halo, nama saya Aoura Lovenson Chandra. Saya adalah alumni dari University of Technology Sydney (UTS) di jurusan Media Arts and Productions. Saat ini saya sebagai produser dan salah satu pendiri dari BASE Entertainment.
Jadi BASE Entertainment sendiri adalah sebuah studio film yang berbasis di Singapore dan Jakarta. Hingga saat ini kami sudah memproduksi sekitar 4 judul film layar lebar dan 2 judul serial yang didistribusikan via platform digital.
Di luar BASE Entertainment kira-kira saya sudah berhasil memproduseri sekitar 8 judul untuk film layar lebar dan beberapa judul untuk serial yang baik itu didistribusikan melalui platform digital secara gratis maupun lewat platform OTT. Kira-kira begitu Desy perkenalan saya.
Desy Bachir: Kalau Hermina? Silahkan memperkenalkan diri.
Hermina Manlea: Halo semua. Perkenalkan saya Hermina Manlea. Saya bekerja sebagai seorang dosen di Universitas Timor di daerah perbatasan antara Indonesia dan Timor Leste yaitu di Kota Kefamenanu, Kabupaten Timur Tengah Utara, Provinsi NTT, Indonesia.
Saya menamatkan Master of Environmental Science tahun 2016 di the University of Western Australia, Perth. Saya sekarang menjadi mahasiswa S3 di the University of Sydney, Australia.
Saya adalah seorang penggemar film yang bergerak di bidang pendidikan jadi sejauh ini sudah memproduseri 2 film yang puji Tuhan sudah memenangkan kompetisi nasional di Indonesia. Terima kasih mbak Desy.
Desy Bachir: Sebelum membahas lebih lanjut tema kita hari ini yaitu film dan perfilman. Tadi sudah diceritakan latar belakang. Boleh diceritakan lagi sibuk apa sekarang?
Hermina Manlea: Kalau sementara kuliah S3 sekarang, saya tidak mengajar. Jadi setelah kuliah baru kembali lagi untuk mengajar. Di tempat saya di Australia sekarang saya juga ikut kegiatan sukarela di gereja kemudian mau juga di tempat lain tapi masih mencari waktu karena baru tiba di Australia. Belum lama disini. Mudah-mudahan bisa ikut kegiatan sukarela karena saya suka kegiatan sukarelawan.
Desy Bachir: Begitu, okey. Kalau Aoura lagi memproduksi berapa ribu judul lagi ini sekarang?
Aoura Lovenson Chandra: Waduh, beberapa ribu. Tekanan. Jadi selain sibuk di perusahaan produksi atau studio film BASE Entertainment saya juga kebetulan menjalankan sebuah perusahaan manajemen talenta dan perusahaan investasi talenta yang namanya 1ID Entertainment.
Desy Bachir: Okey. Apa yang mendorong Aoura untuk menjadi produser film mungkin tadi susah sempat sebut beberapa karya tapi karya-karya yang paling berkesan apa?
Aoura Lovenson Chandra: Okey. Kalau ditanya kenapa jadi produser? Mungkin karena memang saya punya kecintaan terhadap produk-produk audio visual atau film. Mungkin saya salah satu yang beruntung yang bisa memiliki karir di bidang yang memang saya saya suka dan kebetulan juga saya punya kuliah atau latar belakang edukasi yang cukup sejalan.
Kebetulan sempat kuliah di Sydney itu dari tahun 2002 sampai tahun 2005 di UTS untuk sekolah membawahi sekolah perfilman dan setelah itu sekali lagi saya merasa beruntung waktu saya pulang ke Indonesia dan bisa dapat kesempatan untuk ikut dalam sebuah produksi film layar lebar saat itu.
Sejak itu rasanya sangat natural dan saya menikmati walaupun banyak orang merasakan dunia pembuat film, dunianya glamor, dunianya penuh dengan keseruan, kenyataannya jam kerja yang panjang, kadang-kadang bisa brutal dan sangat jauh dari kata glamor itu sebetulnya. Tapi memang betul punya kesan glamor.
Desy Bachir: Hasil akhirnya mungkin glamor tapi seperti yang kita tahu yang glamor kadang-kadang di belakangnya banyak kebrutalan yang terjadi. Kalau tadi Hermina waktu pertama kali menyebut dirinya sebagai penggemar film tapi habis itu disambung sudah memproduksi film pendek juga dan sudah mendapatkan beberapa penghargaan juga.
Hermina boleh diceritakan bagaimana dari seorang dosen, penggemar film kemudian menjadi pembuat film. Mungkin boleh diceritakan juga mengenai film tadi yang mendapatkan penghargaan tersebut.
Hermina Manlea: Baik. Terima kasih mbak Desy. Jadi sebagai penggemar film, saya pada dasarnya suka menonton film yang bertema sosial dan pendidikan. Film itu menjadi media bagi saya untuk belajar bahasa dan budaya asing. Juga menjadi media bagi saya menyampaikan pesan-pesan moral atau kemanusiaan kepada anak didik saya.
Pada tahun 2017 kalau kita mengingat kembali, Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi mengadakan festival film mahasiswa Indonesia. Saya waktu itu sebagai dosen tertarik untuk membawa mahasiswa saya mengikuti kompetisi bertema nasionalisme tersebut. Tujuannya untuk menunjukkan bagaimana pandangan, semangat dan jiwa nasionalisme dari orang-orang di daerah perbatasan. Film tersebut berjudul Unu. Tetapi cerita akhirnya berbeda karena kami akhirnya bisa memenangkan kompetisi bukan hanya satu tapi di dua kementerian. Jadi Festival Film Mahasiswa Indonesia di Kemenristekdikti dan juga Festival Video Edukasi di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Dua tahun kemudian, tahun 2019, kami kembali membuat film bertema perempuan yang menjaga alam dengan judul Salam dan kembali kami memenangkan Festival Film Mahasiswa Indonesia di Kemenristekdikti dan juga di Kemdikbud. Menang kali ini agak berbeda karena menang di 7 dari 10 nominasi yang ada dan menjadi juara umum diantara ratusan universitas se-Indonesia. Film ini sebenarnya sangat istimewa karena terinspirasi dari kisah hidup sosok seorang perempuan pulau Timor bernama Ibu Aleta Baun yang mendapatkan penghargaan Goldman Environment Prize. Penghargaan di bidang lingkungan sedunia dan juga bertemu langsung dengan presiden Barack Obama karena kegigihannya yang berani mati demi menjaga kelestarian alam tanah Mollo yang merupakan jantungnya pulau Timor. Itulah yang menjadi inspirasi saya ketika mau membuat film atau memproduksi film.
Desy Bachir: Begitu. Kalau aku lihat disini, Hermina sekarang lagi PhD di the University of Sydney. Tahun 2015 menyelesaikan master di the Univesity of Western Australia lalu kembali ke NTT menjadi dosen dan tidak lama membuat salah satu dari film pendek itu. Apakah ada nilai-nilai atau budaya Australia yang mengawali atau menginspirasi awal pembuatan film waktu itu?
Hermina Manlea: Pasti. Ada nilai-nilai budaya Australia yang saya bawa pulang yaitu kegiatan sukarela atau menjadi sukarelawan. Jadi sebagai edukator atau pendidik, selama studi di Australia saya selalu terlibat dalam berbagai kegiatan sukarela seperti sukarela untuk menjadi guru olahraga bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus dan juga kegiatan sukarela di kampus untuk mahasiswa baru.
Hal ini menginspirasi saya untuk mengumpulkan talenta-talenta seni yang ada di kampus tempat saya mengabdi dan menghasilkan karya dengan sokongan dana yang seadanya.
Sebenarnya saya hanya ingin menyampaikan bahwa kita jangan pernah takut untuk membuat perubahan walaupun dengan modal seadanya. Tidak perlu dengan hal-hal besar, kita bisa memulai dengan misalnya menjadi sukarelawan di lingkungan kita.
Ini sedikit bocoran, dengan menang di kompetisi film nasional, saya bisa secara material membawa masuk beasiswa para pelaku film dalam hal ini mahasiswa di kampus dan secara moril, itu bisa memberi penguatan kepada anak muda Indonesia tentang pentingnya mencintai bangsa dan berkontribusi yang terbaik demi keutuhan dann kemajuan bangsa Indonesia.
Desy Bachir: Jadi investasi internalnya luar biasa. Bukan hanya secara material tapi juga secara moril. Luar biasa sekali.
Aoura Lovenson Chandra: Itu seperti sebuah efek yang bisa dicapai oleh sebuah karya. Sebuah film terutama. Itu mengapa film sebagai bentuk seni punya sebuah kemampuan untuk menggerakkan orang mendorong orang dan pada akhirnya bisa membuat perubahan. Saya pikir pembuat film seperti kak Hermina ini yang sangat menginspirasi.
Desy Bachir: Iya kalau misalnya dilihat, orang bilang film itu hanya menghibur. Tidak juga. Film itu mengubah kehidupan untuk banyak orang bukan hanya yang ikut di dalamnya tapi juga seperti tadi memberi beasiswa dan lain-lain walaupun mungkin mereka tidak terlibat dalam proses produksinya. Kalau Aoura ada tidak terinspirasi dari Australia yang membentuk kecintaan terhadap film?
Aoura Lovenson Chandra: Itu Iya. Mungkin bikin saya makin cinta sama film sebenarnya, di Australia. Satu hal yang saya tidak dapatkan dan yang saya mulai mengerti saat saya berada di Australia adalah keberagaman tentang idenitas. Maksudnya Australia sebuah negara barat yang berada lebih dekat ke Asia.
Sangat menyenangkan untuk menemukan banyak orang dengan berbagai latar belakang dan yang punya sejarah berbeda dan saya pikir itu sesuatu yang saya pelajari dan merasa setiap manusia itu punya cerita yang menarik sebenarnya.
Saya baru meyadari bahwa betapa menyenangkannya keberagaman itu saat saya di Australia sebenarnya. Sebagai pembuat film, itu yang membuat saya, mendorong saya jadi percaya bahwa cerita yang didorong oleh karakter itu adalah cerita yang paling berhasil di mana pun itu secara universal.
Desy Bachir: Saya pikir dalam beberapa episode OzAlum podcast ini banyak sekali yang menyebutkan keberagaman dan inklusi sebagai hal yang paling berkesan selama sekolah di Australia.
Kalau misalnya bicara masalah personal di masa sekarang, Aoura selain sebagai produser film berkecimpung di bidang media. Sebenarnya untuk peran dari pengusaha yang berkecimpung di media terhadap kontribusinya untuk promosi perfilman Indonesia yang lebih jauh lagi mungkin sebagai alat diplomasi budaya itu seperti apa? Mungkin untuk teman-teman yang mendengarkan berpikir bagaimana caranya saya bisa bantu juga promosi perfilman dan promosi budaya kalau bekerja di bidang media.
Aoura Lovenson Chandra: Iya. Mungkin ini sebetulnya saya menyebut ini sebuah panggilan. Di awal, sejujurnya saya ingin berada di sisi kreatif dari pembuatan film. Yang mana lebih ke penyutradaraan dan penulisan. Sampai sekarang masih. Mau menjelajah ke arah kreativitas tapi saya rasa yang kurang, perlu di bantu dan perlu banyak inovasi dalam industri perfilman Indonesia itu adalah kurangnya pemangku kepentingan yang punya spesialisasi masing-masing.
Misalnya kalau di sebuah industri yang sudah maju seperti di USA, Australia, Cina atau Korea, setelah sebuah perusahaan film menyelesaikan sebuah produksi filmnya, itu biasanya mereka bermitra dengan distributor. Distributor ini fokusnya bagaimana "berjualan film", bagaimana mendistribusikan agar film atau proyek yang bersangkutan itu bisa dikonsumsi oleh masyarakat luas.
Sedangkan yang terjadi di Indonesia sejak saya pulang. Jadi film pertama saya itu di 2005, benar-benar habis pulang, sampai sekarang sayangnya, hampir 20 tahun kemudian, prakteknya adalah produser yang mendistribusikan filmnya sendiri.
Jadi kita sudah pusing bikinnya, kita harus memikirkan pusing jualannya dan saya selalu bilang ke teman-teman produser bahwa bikin film dan jualan film itu adalah hal yang berbeda. Jadi banyak sekali produser film itu yang sudah staminanya habis. Itu bukan suatu pekerjaan untuk satu orang saja. Itu yang saya rasa sangat kurang.
Jadi sejak film ketiga kira-kira, saya mulai berpikir, saya pikir saya harus berkontribusi lebih, saya bisa berkontribusi lebih kalau kita bisa bekerja sama dengan produser yang bisa menangani sisi produksinya sementara saya bisa menangani sisi distribusi, promosi atau "berjualan" filmnya. Karena pada akhirnya, film adalah sebuah karya seni yang punya nilai ekonomi juga dan memang kondisi yang saya bangun adalah sebuah kondisi komersial dan itulah kenapa akhirnya saya jadi berfokus pada promosi dan distribusi.
Disitu saya banyak sekali mendapat kesempatan untuk bekerja dengan teman-teman dari media, teman-teman pemangku kepentingan lainnya yang membuat saya merasa ini banyak sekali ruang dibutuhkan kreativitas untuk kita menyampaikan film kita dengan baik. Sungguh, saya jatuh cinta dengan bagian dari proses pembuatan film itu.
Desy Bachir: Jadi ternyata berkecimpung di dunia media adalah kontribusi Aoura juga?
Aoura Lovenson Chandra: Betul.
Desy Bachir: Kita sempat bahas sedikit mengenai bagaimana film yang diceritakan itu juga sangat mendukung untuk edukasi, dunia pendidikan. Mungkin bisa diceritakan lebih, apa lagi kontribusi dari film kak Hermina sendiri, yang dapat berkontribusi di dunia pendidikan di Indonesia? Mungkin boleh diceritakan.
Hermina Manlea: Terima kasih kak Desy. Jadi bercermin dari dua film yang telah kami buat, film ini bisa menjadi media edukasi khususnya bagi generasi muda kita karena sebagai edukator itu kita masih kesulitan untuk mencari referensi film-film yang bertema pendidikan, sosial yang bisa disuguhkan ke anak-anak muda kita.
Kedua film yang kami produksi itu berhasil memberi pesan moral kepada penonton dalam hal ini anak-anak muda Indonesia tentang pentingnya mencintai Indonesia dari hal-hal yang sederhana, seperti menggunakan produk-produk local khususnya dalam film Salam, film yang bertema lingkungan itu, film ini memberi kekuatan secara khusus kepada perempuan Indonesia untuk menjadi fondasi dalam memelihara lingkungan dan alam.
Dampak langsungnya dari pembuatan film ini adalah anak-anak muda yang terlibat dalam pembuatan film itu bisa belajar mengenai kolaborasi, kerjasama dalam tim, mereka bisa memiliki konsentrasi, motivasi dan juga kepercayaan diri yang lebih baik.
Saya bisa mengambil salah satu contoh film internasional yang bertema pendidikan dan juga memberi pengaruh yang besar yaitu ada satu judul film "Kiss the Ground". Itu adalah film dokumenter mengenai pertanian regenertif. Ini tema yang sangat berat di bidang ilmu pengetahuan tapi dikemas secara ringan melalui film.
Film ini menjelaskan mengenai praktek pertanian dan peternakan untuk pemulihan dan perbaikan perubahan iklim dengan cara membangun kembali bahan organik tanah dan juga memperbaiki biodiversitas tanah.
Film ini sepengetahuan saya memenangkan 25 penghargaan pada tahun 2020 dan mampu menjadi media edukasi pertanian bagi anak-anak. Kemudian menjadi inspirasi bagi orang tua, para guru, pemilik bisnis, masyarakat luas dan secara khusus adalah generasi muda untuk terlibat dalam perbaikan lingkungan dan kumunitasnya. Hanya satu film tapi mampu mempengaruhi jutaan orang. Inilah keinginan saya bahwa film itu harus menembus berbagai lapis kehidupan dan memberi manfaat.
Desy Bachir: Iya. Aku mendengarkan deskripsi film tadi sepertinya susah tapi mungkin kalau sudah nonton, dibungkus dengan penyampaian yang lebih baik jadi alat edukasi yang luar biasa.
Teman-teman alumni disini kita punya dua alumni yang sangat luar biasa yang bukan hanya banyak berkontribusi terhadap industri tapi juga banyak memenangkan penghargaan. Aoura adalah penerima 2010 Australian Alumni Award dan Hermina adalah pemenang 2018 Outstanding Young Alumni Award. Ini mungkin boleh diceritakan mengenai penghargaan yang diterima oleh masing-masing? Silahkan.
Hermina Manlea: Saya bisa duluan. Jadi untuk mendapatkan Penghargaan Outstanding Young Alumni saya harus secara rendah hati meyampaikan bahwa kita itu dinominasi oleh alumni Australia lainnya yang melihat kontribusi kita. Jadi untuk saya mereka melihat kontribusi saya di bidang pendidikan.
Selain bisa dinominasikan oleh teman-teman alumni Australia untuk bisa mendapatkan Outstanding Young Alumni Award, kita juga bisa menominasikan diri sendiri. Saya sangat bersyukur bisa dipercaya dan diberi penghargaan tersebut dan membagi cerita saya untuk begitu banyak alumni yang hadir pada saat itu. Kurang lebih 900 orang. Semoga kisah hidup saya yang sudah saya bagikan bisa menginspirasi teman-teman alumni lain untuk berkarya membangun komunitasnya masing-masing.
Desy Bachir: Iya. Karena sebenarnya penghargaan itu bukan untuk kita tapi sebenarnya untuk orang lain, untuk menjadi inspirasi melakukan hal yang sama. Kalau Aoura bagaimana?
Aoura Lovenson Chandra: 2010 itu 12 tahun yang lalu, Desy. Pada saat itu juga saya sedang, satu, setelah produksi satu film layar lebar yang kedua itu saya juga sedang aktif membangun sebuah majalah pada saat itu. Majalah gratis dan majalah itu kita sebarkan ke SMA-SMA di kota-kota besar di Indonesia. Saat itu kita banyak sekali bekerja sama dengan kedutaan Australia untuk mempromosikan pendidikan di Australia, tentunya dan saya tahu dengan program ini saat banyak berdiskusi dengan teman-teman dari, saat itu ada sebuah organisasi yang membantu, mungkin itu bagian dari kedutaan Australia di Indonesia dan saya diminta untuk mendaftar, jadi saya mendaftar tanpa saya kira-kira ternyata saya diberikan penghargaan. Begitu.
Tentunya ini sebuah pengalaman yang membuat rendah hati. Sebenarnya saat itu saya juga dapat banyak teman. Ini adalah platform bagus untuk berjejaring menurut saya. Saya pikir pentingnya adanya komunitas yang saya selalu tekankan. Begitu.
Desy Bachir: Iya. Saya pikir benang merahnya adalah bagaimana supaya kita bisa lebih banyak memberikan dampak lagi ke komunitas yang kita ikuti.
Karena Aoura dan Hermina adalah bagian dari komunitas film dan perfilman, menurut pengamatan teman-teman, tren atau tantangan terbesar apa yang sedang dihadapi oleh dunia perfilman Indonesia saat ini? Mungkin ini akan menarik karena perspektifnya akan berbeda. Mungkin kak Hermina bisa duluan. Apa tren, tantangan yang di matanya kak Hermina untuk perfilman Indonesia saat ini?
Hermina Manlea: Saya sebenarnya tidak mau menjadi kritikus film disini apalagi untuk dunia profesional karena saya hanya seorang penggemar film tapi mungkin saya bisa memberikan sedikit suara. Jadi sepengetahuan saya, film-film Indonesia mungkin kebanyakan belum berani mengekplorasi budaya dan alam Indonesia yang begitu kaya.
Desy Bachir: Jadi kalau menurut kak Hermina adalah masih kurangnya eksplorasi ataupun penonjolan mengenai alam dan budaya Indonesia dalam perfilman saat ini. Kira-kira demikian. Kalau dari kak Aoura bagaimana? Apa tren dan tantangan terbesar yang sedang dihadapi oleh dunia perfilman Indonesia saat ini?
Aoura Lovenson Chandra: Iya. Ini sebenarnya tantangan dan kesempatan dalam waktu yang bersamaan. Karena setiap ada tantangan saya melihat sebagai kesempatan bahwa di Indonesia itu masih sangat kurang dari sisi talenta. Mulai dari penulis, sutradara, penata kamera, penata artistik, semua.
Bisa dibilang talenta yang ada di Indonesia itu masih relatif kurang. Ada yang bagus? Ada sekali. Apakah cukup? Tidak cukup. Dan itu semua menjadi kesempatan juga untuk teman-teman semua yang mau masuk ke Industri.
Bahwa permintaannya sangat tinggi. Apalagi dengan adanya berbagai platform OTT atau seperti beberapa yang kita tahu yang harus berlangganan untuk nonton. Itu namanya OTT. Klasik masalah sumber daya manusia ini tapi sayangnya itu adalah salah satu tantangan dan sebetulnya kesempatan untuk industri di Indonesia.
Desy Bachir: Okey. Tadi kita sudah dengar tantangan terbesar ada dari isu yang diangkat, satu dari kak Hermina. Kalau dari Aoura lebih ke talenta. Tapi kalau kita bicara dari sudut pandang kak Hermina dan kak Aoura sebagai sineas, apa kontribusi nyata yang bisa ditunjukan oleh sineas Indonesia untuk membangun hubungan dengan dunia internasional lebih baik melalui karya-karya?
Hermina Manlea: Kalau dari konsep diplomasi budaya itu menyangkut pertukaran ide, informasi, seni dan budaya lainnya diantara berbagai bangsa atau juga warga negaranya untuk memperkuat pemahaman akan satu sama lain.
Menurut saya, film-film Indonesia itu sebaiknya menunjukkan karakter dan nilai-nilai yang dipegang masyarakat Indonesia yang mungkin tidak dimiliki oleh bangsa lain. Film-film Indonesia itu harus menjadi cerminan kepribadian bangsa kita. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang sudah sangat mengakar dan kuat itu kita wajib merepresentasikannya dalam film-film yang dibuat.
Sebagai contoh misalnya saya baru tiba disini kemudian ditanya oleh teman-teman saya yang merupakan warga negara lain. Mereka bertanya bagaimana budaya misalnya perkawinan orang Indonesia? Untuk menjelaskannya secara detail mungkin saya bisa tetapi akan lebih bagus pendekatannya kalau saya ada film yang bisa menjelaskan tentang hal tersebut.
Jadi dengan keaneka ragaman budaya Indonesia saya rasa pertanyaan seperti ini bisa dijawab dengan ratusan bahkan ribuan film yang bisa diproduksi. Contoh pertanyaan lain misalnya seperti apakah rupa orang Indonesia? Dengan berbagai suku, agama, ras kemudian banyaknya pulau yang penuh dengan budaya tidak bisa saya bayangkan betapa banyaknya film yang bisa diproduksi dan menjadi karakter dari bangsa kita sendiri.
Jadi dengan kita memproduksi film-film yang berciri khas bangsa kita sendir, para sineas muda Indonesia itu bisa lebih bangga dan percaya diri di kancah Internasional karena membawa nilai-nilai yang khas dan unik.
Saran saya, mungkin para sineas muda itu bisa mulai cerdas ketika membuat film. Riset budaya yang mendalam itu harus diutamakan dalam pembuatan film terutama berani dalam mengangkat ciri khas dan karakteristik bangsa.
Desy Bachir: Iya. Terima kasih kak Hermina. Mudah-mudahan juga menjadi inspirasi untuk yang mendengarkan. Siapa tahu ada calon sineas atau sineas-sineas. Kalau dari Aoura bagaimana? Apa yang bisa ditunjukkan oleh sineas Indonesia untuk membangun bangsa, membangun hubungan dengan dunia Internasional melalui karya-karya?
Aoura Lovenson Chandra: Mungkin saya ingat ada satu peribahasa Indonesia, tak kenal maka tak sayang dan bagaimana kita bisa kenal dengan sebuah budaya, komunitas, masyarakat di luar sana kalau kita tidak punya kesempatan untuk bertemu.
Film ini punya sebuah kemampuan atau kapasitas untuk melakukan itu. Kita berasa pernah Australia, Amerika, Afrika setelah kita menonton beberapa film dari sana. Kita mengerti kegelisahan mereka, tata krama, cara berhubungan dengan satu sama lain antara keluarga misalnya atau persahabatan. Itu semua dari sebuah karya film. Jadi sebagai sebuah diplomasi kebudayaan, film ini punya pisau bermata dua.
Di satu sisi sangat bisa menjadi medium untuk memperkenalkan diri kita, identitas kita, di satu sisi juga bisa menjadi sebuah propaganda oleh sebuah pihak dan menurut saya jika digunakan dengan baik, itu bisa menjadi sebuah alat yang sangat lintas batas, lintas generasi dan menciptakan sebuah ikatan antara satu dengan yang lainnya. Apalagi sebagai fungsi diplomasi kebudayaan, itu mungkin bisa dibilang menjadi salah satu medium yang sangat kuat dan kita sebagai sineas Indonesia punya kegelisahan itu.
Saya melihatnya ini bukan merupakan sebuah kewajiban, kalau boleh jujur karena saya percaya bahwa film itu juga punya fungsi hiburan. Saya pikir setiap film punya tujuan masing-masing. Iya tapi kita perlu mengangkat dan film ini bisa menjadi kesempatan kita untuk memperkenalkan siapa kita sebagai orang Indonesia. Itu film bisa menggambarkan.
Desy Bachir: Iya. Sangat menarik dan aku pribadi sebagai konsumen film itu juga merasakan hal-hal yang tadi dibicarakan. Betapa film bisa menjadi banyak hal. Bukan hanya sebagai jembatan tapi juga bisa menjadi kendaraan yang berdampak untuk banyak hal di luar dari industri hiburan itu sendiri. Tadi sudah dibahas, ada pendidikan dan sebagainya. Jadi sangat menarik sekali obrolan kita kali ini. Mudah-mudahan teman-teman pendengar OzAlum podcast juga merasakan hal yang sama.
Di episode selanjutnya, masih akan ada interview eksklusif dengan tamu-tamu lain yang juga pasti menarik.
Dengerin terus OzAlum Podcast, di mana saya akan berbincang terus tentang pengalaman alumni Australia yang menginspirasi dan memiliki cerita menarik lainnya.
Sekian untuk episode kali ini di podcast OzAlum. Jika kamu suka podcast kami, beri kami penilaian dan ulasan yang bagus dan jika kamu ingin tetap terhubung dengan jaringan alumni kami dan tetap mengikuti acara alumni kami, silahkan berlangganan update mingguan Alumni Global Australia kami dan bergabung dengan Forum Alumni Australia-Indonesia di LinkedIn. Tautannya ada di deskripsi podcast dan sampai jumpa di bulan April.
Oke, sekian untuk kali ini. Saya Desy Bachir.
Hermina Manlea: Saya Hermina.
Aoura Lovenson Chandra: Saya Aoura Lavenson.
Sampai Ketemu. Bye