OzAlum Podcast
OzAlum Podcast
Eps #12: What Does It Take to be a Leader and Change Maker for the Modern-Day Kartini?
If Indonesia’s feminist icon Kartini was alive today, what would she make of women’s progress? Women politicians are leading nations, and women scientists are exploring the frontiers of outer space. But not all women have the same opportunity to become change makers. Many constantly struggle to overcome inequality and discrimination due to limited access, physical condition, socioeconomic status, geography and culture that they face in everyday lives.
In this twelfth episode, OzAlum and modern-day Kartini Astrid Saraswati Vasile, CEO and Co-Founder of VASILE Build and GV Constructions (WA) and Suraiya Kamaruzzaman, human rights activist and lecturer at Syiah Kuala University, discuss what it takes to be a woman leader and make a difference in the community. They ask, how can we collaborate to eliminate multi-layered discrimination against women?
Listen to our OzAlum Podcast on Spotify, Apple Podcasts, Google Podcasts, YouTube, and the OzAlum website. Don't forget to leave a rating and review!
A full transcript of this episode is available on the OzAlum Podcast website: https://podcast.ozalum.com/
Suraiya Kamaruzzaman: Pengalaman dari Kartini juga menggambarkan bahwa Kartini tidak sendirian. Ini yang harus kita lakukan juga, terutama untuk memperjuangkan hak-hak perempuan, hak-hak kelompok minoritas. Itu kerja yang memang tidak bisa dikerjakan sendiri.
Astrid Saraswati Vasile: Cobalah lihat berbagai industri. Di industri manapun perempuan itu sama semuanya, sama mampunya. Kita semua bisa melakukan sebaik pria. Malah mungkin lebih baik.
Desy Bachir: Halo semuanya dan selamat datang di podcast dimana kami membawakan anda beberapa cerita unik dari alumni kami yang menginspirasi, bersama saya Desy Bachir.
OzAlum Podcast adalah akses kamu ke jejaring global alumni dan podcast ini dipersembahkan oleh tim Australia Global Alumni di Indonesia.
Teman-teman pendengar, tepatnya pada tanggal 21 April tiap tahunnya Indonesia memperingati Hari Kartini. Hari lahir seorang Perempuan Jawa yang dikenal dengan gagasan mulia untuk memperjuangkan hak perempuan.
Perjuangannya, pemikirannya telah memberikan insipirasi bagi banyak perempuan Indonesia untuk berani membuat perubahan besar di masyarakat maupun di negara melalui pendidikan, pengalaman dan kepemimpinannya. Di podcast episode kali ini, kami ingin menggali makna perjuangan Kartini dari perspektif kedua alumni narasumber.
Di era modern ini kalau kita perhatikan banyak sekali perempuan berpengaruh yang menjadi pembuat perubahan baik itu dalam profesi dan masyarakat di lingkup nasional, regional maupun global. Dengan kemajemukan suku dan ras, kita juga melihat tidak hanya perempuan Jawa saja yang mampu menjadi pembuat perubahan namun juga mereka yang lahir dan besar di propinsi lain di Indonesia.
Kalau teman-teman mengikuti OzAlum podcast mungkin pernah mendengarkan cerita inspiratif dari beberapa Kartini modern Indonesia lulusan Australia dalam podcast-podcast sebelumnya. Beberapa diantaranya adalah Ibu Cucu Saidah, pejuang kesetaraan bagi kaum disabilitas, Hermina Manlea, seorang agen perubahan dalam dunia pendidikan melalui karya filmnya, Butet Manurung dan Lily Yulianti Farid keduanya adalah pioner dalam pelestarian kultur dan budaya masyarakat adat di Indonesia dan masih banyak lagi.
Hari ini kita kedatangan kedua narasumber yang juga tidak kalah tangguh dan berprestasi dengan Kartini-kartini modern lainya. Mereka adalah perempuan-perempuan yang mampu mendobrak stigma di masyarakat maupun profesi terkait dengan kepemimpinan perempuan dan juga upaya memberdayakan perempuan-perempuan marginal di daerah. Kita simak lebih lanjut bagaimana kiprah dan perjuangan mereka yang mudah-mudahan bisa menjadi inspirasi juga untuk kita semua.
Oke. Mungkin kita sapa dulu kedua tamu alumni kita kali ini. Halo mbak Astrid dan juga halo mbak Aya.
Suraiya Kamaruzzaman: Hi.
Astrid Saraswati Vasile: Halo mbak Desy.
Desy Bachir: Halo. Mungkin sebelum kita mulai berbincang kita berkenalan dahulu. Mungkin bisa dimulai dari mbak Astrid dulu. Mungkin bisa perkenalkan untuk teman-teman pendengar kita. Silahkan, mbak.
Astrid Saraswati Vasile: Saya juga orang Jawa tapi lahir dan besar di Bandung. Ke Jakarta tahun 1979. Karir saya beragam, macam-macam, dari Industri IT, komputer, komunikasi dan di penerbangan. Juga pernah menetap di Singapura 2 tahun, di New Zealand 6 tahun, di Perth tahun1998.
Di tahun 2006 saya mengambil pendidikan diploma pembangunan dan konstruksi di North Metropolitan TAFE WA di Griffith. Sampai kemudian 24 tahun dan sekarang saya disini, mbak Desy.
Desy Bachir: Begitu. Berarti sudah melanglang buana sekali kalau aku dengar-dengar. Melanglang Indonesia, melanglang buana juga, mbak Astrid dan sampai sekarang akhirnya ada disini. Oke. Terima kasih mbak Astrid untuk perkenalannya. Untuk mbak Aya, mungkin boleh juga memperkenalkan untuk teman-teman pendengar.
Suraiya Kamaruzzaman: Baik. Hi. Perkenalkan saya Suraiya Kamaruzaman. Saya lahir dan besar di Aceh. Menyelesaikan sekolah dari kecil sampai kuliah masih di Aceh juga lalu sempat mengambil S2 di Hongkong University selama 2 tahun, lalu balik lagi dan sekolah lagi di Aceh.
Saya mengajar di fakultas teknik jurusan kimia di Universitas Syiah Kuala tapi juga aktif di beberapa organisasi perempuan. Saat ini menjadi presidium Balai Syura Ureung Inong Aceh, sebuah jaringan organisasi perempuan yang beranggotakan hampir 200 organisasi di 23 kabupaten kota di Aceh dan juga aktif di Kepala Pusat Reset Perubahan Iklim Universitas Syiah Kuala dan juga Sekertaris Pusat Riset Hak Asasi Manusia Universitas Syiah Kuala.
Juga aktif di organisasi pencegahan terorisme FKPT Aceh sebagai ketua bidang pemberdayaan perempuannya dan menjadi anggota di Majelis Pendidikan Aceh Besar dengan SK Bupati selama 15 tahun. Ada beberapa organisasi lain juga jadi cukup beragam. Isu HAM, gender, perempuan, lingkungan.
Desy Bachir: Banyak sekali kalau aku dengar. Tidak kurang-kurang sepertinya kesibukannya baik mbak Astrid maupun mbak Aya tapi tadi aku sepertinya belum mendengar waktu di Australia itu mengambil apa? Apa tadi sudah sempat disampaikan? Karena banyak sekali kegiatannya.
Suraiya Kamaruzzaman: Saya itu ikut Leadership Course for Multi-faith Women Leaders from Indonesia. Itu di bulan Juli 2019 di Deakin University.
Desy Bachir: Tadi sudah sempat cerita mengenai kesibukan hari-harinya yang banyak itu. Tapi kalau aku lihat-lihat sebenarnya ada persamaan antara mbak Astrid dan mbak Aya yaitu dimana awal mula pendidikan berbeda dengan profesi yang kini digeluti. Sebenarnya apa yang membuat atau mendorong mbak Astrid dan mbak Aya untuk terjun dan mendalami profesi yang sekarang? Mungkin aku mulai dari mbak Astrid dulu.
Astrid Saraswati Vasile: Terima kasih mbak Desy. Saya tidak pernah bercita-cita untuk mengelola perusahaan konstruksi, ceritanya, awal mulanya. Jadi suatu saat di tahun 1998, kami, membangun usaha, suami dan saya, saya membangun usaha dihadapkan dengan masalah dengan mitra bisnis yang punya lisensi pembangunan dan kapital, mereka cabut dari perusahaan.
Kita hanya tahu ini usaha konstruksi yang satu-satunya jadi sumber pemasukan. Pilihannya mati, menyatakan bankrut, atau cari orang lain yang punya lisensi. Tapi pada saat itu membayar orang yang punya lisensi mahal sekali. 200.000 per tahun. Terlalu berat untuk kami yang lagi ditinggal mitra bisnis.
Di Australia, untuk tetap menjalankan usaha konstruksi ini harus ada pekerja tetap ahli bagunan yang terdaftar. Saya lahir lahir dari keluarga Jawa melihat orang tua yang bekerja keras. Saya lihat ibu saya selalu berjuang, kerja dari muda sampai akhir hayatnya untuk kehidupan, mencari nafkah. Jadi saya pikir saya berjuang juga.
Untuk mendapatkan tiket ahli bangunan terdaftar ini saya harus sekolah, mencari pengalaman 7 tahun dahulu, dari sana saya belajar pembangunan dan konstruksi penuh waktu 4 tahun, sambil kerja. Tapi akhirnya sekarang saya berpindah dan menyenangi industri ini. Begitu, mbak Desy.
Desy Bachir: Begitu. Oke. Jadi ternyata dimulai dari kepepet.
Astrid Saraswati Vasile: Kepepet sekali.
Desy Bachir: Kalau mbak Aya sendiri bagaimana? Apa yang membuat terjun di profesi saat ini?
Suraiya Kamaruzzaman: Saya ini lahir dan besar di sebuah kampung kecil di Aceh Besar dimana sebagian besar masyarakatnya itu petani. Ibu dan bapak saya buruh dan di siang hari kami semuanya petani. Lalu saya dari kecil melihat bahwa di sawah itu perempuan semua sangat sedikit ada laki-laki. Laki-laki lebih banyak di warung kopi.
Lalu saya melihat lagi di SMP kelas 3 saya pindah ke kota karena mau mengejar sekolah SMA yang lebih bagus kualitasnya. Lalu teman SMP saya di kampung satu persatu menikah dan dengan laki-laki yang barang kali hanya dikenal hanya sekali lewat depan rumah atau dua kali dan usianya jauh lebih tua.
Awalnya saya pikir mereka senang-senang saja karena kalau digodain malu-malu, senyum-senyum. Sampai ada satu orang yang bilang bahwa saya beruntung bisa sekolah dan itu betul-betul menyentuh saya. Kenapa? Karena ibu saya itu tahun 1949/1950 itu sekolahnya ke Padang dan itu karena kakek ibu saya, itu ulama besar yang mempercayai anak perempuan juga punya hak untuk sekolah.
Jaman itu saja ibu saya sudah ke Padang tapi teman-teman saya satu-satu bertunangan dan saya saat itu berjanji dalam diri sendiri, suatu saat saya harus membagi keberuntungan itu untuk perempuan lain. Keberuntungan bahwa saya pernah belajar.
Karena itu kemudian saya coba bergabung dalam berbagai organisasi yang ada dan bahkan sempat menjadi ketua himpunan perempuan pertama untuk teknik kimia di seluruh Indonesia tapi tetap susah merubah kebijakan-kebijakan yang ada dimana kalau urusannya perempuan itu kalau seminar, terima tamu, menjadi MC, mengangkat kue, yang seperti itu.
Jadi akhirnya kemudian bertemu dengan beberapa kawan dan berdiskusi kalau begitu kita saja bikin organisasi perempuan sendiri. Lalu kita lakukan apa yang kita bisa. Dari situlah lahir Flower Aceh. Waktu itu saya semester 3 kuliah dan bergabung dengan beberapa kawan dari berbagai fakultas lain di Universitas Syiah Kuala dan kami mulai ke Desa. Mencoba berbicara dengan ibu-ibu. Mereka punya persoalan apa? Jadi karena komitmen dan janji tadi akhirnya saya jadi banyak bekerja intuk isu perempuan.
Desy Bachir: Ya begitulah kalau isu-isu seperti ini membuat kita-kita, perempuan-perempuan menjadi lebih bagaimana. Agak dekat dengan kita kalau yang seperti ini. Aku tertarik juga tadi dengar cerita mbak Astrid sebagai ahli pembangunan terdaftar. Katanya mbak Astrid adalah satu-satunya perempuan Indonesia yang terdaftar sebagai ahli pembangunan terdaftar di Australia? Benar? Luar bisa.
Astrid Saraswati Vasile: Benar sepertinya. Belum terdengar yang lain. Tapi tidak tahu. Yang saya tahu baru satu.
Desy Bachir: Ya Luar biasa. Ini tidak hanya satu-satunya perempuan Indonesia tapi ternyata dan 11.000 di kategori yang sama, katagori lisensi ini hanya 15 perempuan ya?
Astrid Saraswati Vasile: Iya.
Desy Bachir: Kenapa? Apa yang menjadikan sedikit sekali perempuan yang mendapatkan lisensi ini menurut mbak Astrid?
Astrid Saraswati Vasile: Mungkin imanjinasi perempuan, orang-orang mungkin melihat kehidupan seorang yang bekerja di konstruksi bangunan itu tidak glamor sama sekali. Padahal di Australia pembangunan dan konstruksi itu adalah peringkat kedua terbesar setelah pertambangan.
Kenapa sedikit yang jadi ahli bangunan? Mungkin karena pemahamannya kurang. Mereka tidak tahu hasilnya bagus juga. Ada yang mengira bahwa jadi pekerja bangunan itu harus punya otot atau harus kuat.
Desy Bachir: Memang mengangkat batu sendiri? Tidak begitu juga.
Astrid Saraswati Vasile: Memang budayanya terkesan keras. Pekerjaan yang sangat laki-laki. Selain sekolahnya lama, 2-4 tahun, harus ada pengalaman 7 tahun. Kadang-kadang perempuan malas 7 tahun. Tidak menarik buat perempuan mungkin dan juga mungkin ada satu lagi. Para pemilik perusahaan, baik di Australia, kadang-kadang tidak memfasilitasi kebutuhan perempuan.
Misalnya contoh kecil saja mbak Desy, mbak Aya, dan teman-teman. Contoh kecil, seragam, kita masuk ke area pembangunan itu kita harus ada pakaian pengaman dari topi, baju, pakai sepatu bot baja. Kita perempuan tidak bisa pakai baju laki-laki meski ukurannya dikecil-kecilkan, diperempuankan.
Juga di area pembangunan itu toiletnya campur. Kecuali perusahaan-perusahaan besar saat ini sekarang sudah punya. Ada toilet perempuan. Dari pimpinan perusahaan, dari manajemen itu tidak memfasilitasi bahwa perempuan itu juga perlu kebutuhannya.
Desy Bachir: Begitu. Jadi sebenarnya ada dua hal. Dimulai dari pola pikir bahwa memang ini bukan bidangnya perempuan tapi juga karena industri itu kadang-kadang tidak mendukung perempuan karena kurang perempuan isinya. Tapi mudah-mudahan dengan mendengarkan ini teman-teman jadi terinspirasi juga bahwa bisa untuk masuk ke bidang yang sepertinya lebih banyak laki-lakinya.
Kalau misalnya seperti kak Aya, sekarang jadi aktivis perempuan tapi masih mengajar juga, kalau di bidang teknik kimia sendiri ada halangan juga tidak untuk perempuan masuk ke bidang ini?
Suraiya Kamaruzzaman: Waktu saya kuliah dulu jumlah perempuannya itu masih sangat sedikit. 1/5 atau 1/6 dari 120 satu angkatan. Bahkan kalau tehnik mesin kadang-kadang dari 120 itu hanya 1. Maksimal pernah ada 6.
Jadi dulu itu tantangannya besar kalau sekarang jumlah mahasiswa teknik kimia perempuan dan laki-laki agak berimbang. Tapi juga masih ada jurusan-jurusan yang perempuannya minim. Pertambangan itu masih banyak laki-laki. Teknik industri lebih banyak perempuan. Jadi orang masih melihat pekerjaan ini hanya bisa dilakukan oleh laki-laki, pekerjaan ini oleh perempuan padahal sama saja. Ketika kita sudah mempelajari sesuatu, kita bisa masuk di ranah mana saja. Ini masih tantangan.
Saya ingat waktu saya jadi ketua himpunan, itu belum penah ada perempuan jadi ketua himpunan di teknik. Itu karena ranahnya laki-laki, pemimpin dianggapnya dan ketika saya terpilih jadi ketua himpunan itu pertama kali kita bikin pemilihan langsung. Sebelumnya dipilih oleh ketua jurusan atau dekan dan salah satu universitas bilang begini. "Kami ini kalau ada kandidat perempuan, kami libas duluan." Terus saya bilang, kalian harus belajar sejarah perempuan Aceh. Aceh itu sudah pernah dipimpin oleh ratu selama 59 tahun. Masa sekarang menjadi ketua himpunan saja tidak bisa? Kira-kira begitulah. Tapi memang tantangannya berat karena itu dianggap ranahnya laki-laki bukan perempuan. Begitu.
Desy Bachir: Iya memang masih banyak unsur-unsur seperti itu. Ini menyambung hal itu, kak Aya aktivis perempuan tadi. Sudah dimulai dari SMA pemikiran-pemikiran itu. Sebenarnya langkah-langkah apa saja yang sudah ditempuh. Sekarang sedang banyak progres-progres mengenai kekerasan dan lain-lain. Tapi untuk memperjuangkan hak perempuan melalui bantuan terhadap penyintas kekerasan dan menjalankan kampanye dan lobi di tingkat nasional, regional, internasional, ada apa saja yang sudah dilakukan dan mungkin untuk teman-teman yang mendengarkan sebagai masyarakat itu apa saja yang bisa dilakukan untuk membantu ini?
Suraiya Kamaruzzaman: Iya. Kalau saya membaginya dalam dua periode yang berbeda. Ketika konflik jelas akan berbeda dengan sekarang. Kalau sekarang strateginya lebih banyak membangun kerjasama dengan pemerintah, berkolaborasi dan saling menguatkan. Kita bersatu, bersama-sama membuat advokasi undang-undang pemerintahan Aceh yang merupakan turunan dari MU Perdamaian. Dalam itu kami secara spesifik, kelompok perempuan memasukkan isu-isu perempuan.
Perubahan yang terlihat adalah misalnya ada kebijakan-kebijakan yang lebih pro kepada perempuan walaupun tetap ada kebijakan-kebijakan yang masih diskriminatif. Kemudian peningkatan anggaran untuk pelayanan korban terutama di tingkat provinsi. Dan kemudian jumlah perempuan yang terlibat dalam perencanaan dan pengambilan kebijakan bertambah, terutama ketika membuat qanun atau perda dulu jarang dilibatkan sekarang jadi tim ahli, membuat rancangan atau tim advokasi. Jadi hal-hal seperti itu yang nampak perubahannya.
Masih banyak persoalan yang kita hadapi tapi juga ada cerita-cerita baik dan pengalaman-pengalaman baik termasuk ketika misalnya kemarin waktu advokasi undang-undang pencegahan tindak pidana kekerasan seksual, itu kita di Aceh juga ikut bergerak. Kita bekerja sama dengan teman-teman nasional. Bekerja sama dengan pemerintah dan akhirnya sampai disahkan di tingkat daerah. Sekarang tugas kita adalah memantau dan memastikan implementasinya. Jadi yang seperti itu, mbak.
Desy Bachir: Iya. Saya pikir sebagai perempuan kita melihat masih banyak kekurangan tapi sepertinya melihat ke arah yang lebih baik. Ini kisah-kisah di Indonesia. Aku mau ke mbak Astrid lagi yang sudah 23 tahun di Australia, benar?
Astrid Saraswati Vasile: Iya.
Desy Bachir: Kalau misalnya kita boleh bandingkan walaupun sudah 23 tahun tinggal di Australia tapi masih ingat di Indonesia seperti apa. Apa tantangan terbesarnya? Apa pencapaian terbesarnya? Dan kalau misalnya kita bandingkan di Indonesia maupun di Australia, apa kira-kira yang bisa diterapkan di Indonesia berkaca dari suksesnya pengalaman mbak Astrid merintis bidang konstruksi di Australia?
Astrid Saraswati Vasile: Menurut aku tidak ada kata sukses. Yang ada pelan-pelan asal tercapai. Sama juga seperti kata ibu Suraiya, faktor budaya. Perbedaan budaya benar ada disini. Ranah pembangunan itu ranahnya laki-laki.
Pencapaiannya bukan karena penghargaannya tapi bisa membuka lapangan kerja. Apa yang bisa diterapkan di Industri konstruksi Indonesia berkaca dari Australia? Karena yang saya tahu hanya Australia. Perempuan itu dikasih kesempatan. Karena perempuan itu belajar dan berpikir berbeda dengan yang lain.
Perempuan itu bisa multi-talenta seperti oktopus. Yang satu pegang ini, satu mengurus anak, begitu. Dia bisa membawa keterampilan dan penanganan di industri ini dan menambah suksesnya bisnis dan saya tahu karena saya mengalamani sendiri. Kenapa kerjaan saya jadi banyak? Kenapa masalahmu menjadi masalahku? Tapi karena naluri kita, kebiasaan kita untuk membantu jadi kadang-kadang kita tidak melihat untungnya apa untuk kita. Tapi kita jalani saja dulu.
Desy Bachir: Oke. Sepertinya tadi kita sempat bahas juga bahwa mbak Astrid masih banyak sangkutannya dengan Indonesia. Karena ternyata, teman-teman semua, walaupun berdomisili di Australia dan sudah 23 tahun, mbak Astrid ini sangat aktif berperan sebagai agen perubahan antara kedua negara, Indonesia - Australia.
Jadi beliau menjabat beberapa peran penting, Vice President Indonesian Diaspora Business Council di dunia, sebagai Regional Director IDBC Australia chapter, kemudian tahun 2016 diangkat oleh Foreign Affair minister Australia sebagai salah satu anggota dewan Australia – Indonesia Institute sampai berahir masa bhakti di tahun 2020 lalu dan juga adalah Founder & Executive Chair Australia-Indonesia Businesswomen's Network (AIBN).
Itu tadi dibilang kalau perempuan tidak kurang-kurang sibuknya di tengah-tengah semua kesibukan yang tadi sudah dibahas. Kalau dibahas, bagaimana pendekatan mbak Astrid sebagai pemimpin yang kebetulan bergender perempuan, dalam membawa perubahan dalam organisasi-organisasi ini?
Astrid Saraswati Vasile: Mungkin saya bisa seperti ini juga karena akar budaya saya, Akar budaya Indonesia itu selalu menghargai hubungan. Jadi saya percaya dengan memberi kembali. Karena kecintaan saya dengan Indonesia, saya membantu mengelola, menjembatani para teman-teman dari Indonesia dan diaspora Indonesia yang ingin terkoneksi satu sama lain. Saya percaya dengan bersatu bersama dan sangat perlu untuk memberi kembali.
Jadi ternyata memang akar sebagai perempuan, akar Indonesia juga yang banyak membantu dalam keseharian, tidak hanya bekerja juga berorganisasi dan menjadi pemimpin baik di bisnis maupun di organisasi yang diikuti. Begitu mbak Astrid, kira-kira.
Desy Bachir: Bicara soal organisasi, keaktifan, disini kalau aku baca, ini sebenarnya mbak Astrid dan kak Aya ini sempat tidur tidak? Kalau melihat banyak kesibukannya. Kak Aya saja memulai Flower Aceh baru berumur 21 tahun. Lalu menjabat sebagai Sekretaris Pusat Riset HAM USK, Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan FKPT yang adalah Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme Aceh, itu mendengarnya saja sudah bagaimana, Ketua Komisi Pemasyarakatan HAM dan Advokasi dan juga ICMI (Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia) di Aceh selama 2 periode.
Pasti banyak tantangannya tapi apa yang terberatnya? Dan kalau misalnya kita tarik balik ke pengalaman Kak Aya mengikuti pendidikan di Australia, apa pengaruhnya terhadap perjuangan ini? Perjuangan untuk menjadi pembuat perubahan dalam memperjuangkan kesetaraan hak asasi manusia.
Suraiya Kamaruzzaman: Kalau ditanya tantangan, seperti yang dibilang tadi saya bekerja dalam 2 periode yang berbeda. Tentu saja ketika konflik itu tantangan yang paling besar adalah keamanan. Kalau sekarang tantangannya beda lagi.
Tantangannya apa? Pertama Aceh ini punya kekhasan sebagai Daerah Istimewa dan juga satu-satunya daerah yang menerapkan syariat Islam. Jadi yang paling berat adalah ketika misalnya contoh sederhana advokasi qanun jinayat. Jinayat dalam Islam itu fiqih. Tapi orang memahaminya itu adalah fiqih, tidak bisa dikutak katik. Padahal itu Perda. Ketika dia qanun jinayat itu jadi peraturan daerah. Hasil produk manusia yang kalau menurut kita ternyata menimbulkan ketidakadilan kepada perempuan dan anak korban, tentu saja kita perlu advokasi. Buat yang tidak paham, menganggap kita anti syariat. Ketika kita dianggap anti syariat, itu lebih berat tantangannya dibandingkan ketika konflik.
Karena ketika konflik, ketika kita berjuang untuk mendorong perdamaian, banyak orang mendukung. Tapi ketika kita dituduh anti syariat tidak usah jauh-jauh, tetanggan, keluarga, dimulai dari situ dulu sudah anti sama kita.
Itu satu, yang kedua tantangan budaya. Budaya patriarki itu kuat sekali disana dan juga dibalut dengan tafsir ajaran agama. Saya ingat misalnya ada perempuan yang jadi calon kandidat walikota lalu kemudian kampanyenya adalah menggunakan ayat Arrijalu Qowwamuna yang tafsirnya dianggap bahwa perempuan tidak bisa menjadi pemimpin. Jadi tantangan-tantangan seperti itu masih kami hadapi dan tidak mudah juga meresponnya ketika dikaitkan dengan tafsir ajaran agama.
Kita punya beberapa ulama perempuan dan ulama laki-laki yang punya perspektif yang begitu terbuka dan jaringan KUPI secara nasional, Kongres Ulama Perempuan Indonesia yang juga selalu mendukung. Jadi kemudian saya akan meminta dukungan kepada teman-teman ulama perempuan di jaringan KUPI untuk membantu tolong lihat ayat ini tafsir sesungguhnya seperti apa dan itu menjadi bahan kajian dan diskusi kami.
Jadi bersyukur bahwa kami punya teman-teman yang cukup banyak di tingkat nasional yang selalu bersedia untuk menjadi kawan diskusi dan berbagi termasuk ulama-ulama perempuan dan ulama-ulama laki-laki yang bergabung di jaringan KUPI, Kongres Ulama Perempuan Indonesia itu.
Tadi ada pertanyaan, sewaktu belajar di Australia, apa yang berpengaruh terhadap perjuangan ini? Sebenarnya besar sekali karena begini. Saya lahir dan besar di Aceh dan tentu saja saya mayoritas dalam segala situasi. Jadi saya banyak sekali mendapat kemudahan karena saya perempuan Aceh, muslim, tinggal di Aceh.
Tinggal di Australia selama beberapa minggu itu membantu saya untuk melihat bagaimana masyarakat di sana berbagi kepada yang berbeda dalam segala apapun. Latar belakang agama, etnis. Jadi ini menjadi proses belajar yang sangat baik buat saya. Jadi ketika saya di sana minoritas tapi saya tidak diperlakukan sebagai minoritas.
Jadi saya bisa memahami bagaimana ketika ada mahasiswa non-muslim kuliah di Aceh, tidak ada paksaan untuk pakai jilbab, dia bebas tidak pakai jilbab tapi dalam kondis sosial tertentu tekanan sosial membuat dia harus pakai, misalnya. Itu membuat saya menjadi lebih berempati dan kemudian membuka ruang-ruang dialog supaya hal ini tidak terjadi, misalnya.
Dua tahun terakhir ini saya mengajar PPKN. Dulu saya tidak mengajar. Jadi pengalaman di Australia juga memperkaya saya sendiri untuk memasukkan nilai-nilai keberagaman, mencegah diskriminasi, mengurangi intoleransi dan membuat saya juga banyak membuat dialog dengan mahasiswa-mahasiswa terkait isu-isu ini. Hal-hal seperti itu, mbak.
Desy Bachir: Iya. Jadi ternyata memang mayoritas itu harus sekali-sekali merasakan jadi minoritas. Aku juga setuju bahwa yang namanya mayoritas itu kalau sudah menjadi minoritas pasti memaknai perbedaan itu dengan berbeda, sebagai yang sudah pernah merasakan juga.
Bicara soal memaknai kesetaraan, gender, perbedaan, sebagai pemimpin-pemimpin perempuan yang luar biasa bagaimana mbak Astrid dan kak Aya ini sebenarnya memaknai peringatan hari Kartini?
Karena pasti makna hari Kartini juga berbeda untuk setiap orang. Apalagi di Indonesia dan banyak negara lain di dunia juga tidak semua perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi pemimpin. Macam-macam, bisa karena budaya, keterbatasan akses, kondisi ekonomi geografi, kultur maupun sosial tapi dengan segala hal ini, bagaimana mbak Astrid dan kak Aya memaknai peringatan hari Kartini?
Dan apakah ada pesan yang ingin disampaikan buat teman-teman yang lagi mendengarkan? Bagaimana agar perempuan-perempuan Indonesia bisa menjadi pembuat perubahan dimulai dari lingkungan yang kecil seperti keluarga sampai ke tingkat negara maupun internasional? Mungkin mbak Astrid bisa memulai terlebih dahulu. Silahkan mbak.
Astrid Saraswati Vasile: Yang saya lihat untuk perempuan adalah tantang dirimu sendiri, raihlah tujuan yang kira-kira bisa ditangani. Jangan yang mudah-mudah, carinya yang susah. Lalu tetap penuh rasa ingin tahu, belajar lebih banyak. Juga jangan takut dengan kompetisi. Mungkin ada orang lain di luar sana yang coba mencapai tujuan yang sama dengan kita. Tapi ini tidak berarti bahwa kita harus menyerah. Jadi jangan menyerah.
Kita butuh konsisten. Dorong perempuan lain untuk memperluas impian dan tujuan mereka. Dorong diri sendiri untuk menjadi pemimpin. Saran saya untuk semua orang, Cobalah lihat berbagai industri. Di industri manapun perempuan itu sama semuanya, sama mampunya. Kita semua bisa melakukan sebaik pria. Malah mungkin lebih baik. Jadi itulah, mbak Desy.
Desy Bachir: Okey. Terima kasih mbak Astrid. Kalau misalnya kak Aya sendiri, bagaimana kak Aya memaknai peringatan hari Kartini dan terkait dengan ini semua adalah usaha kolaborasi, apa pesan yang ingin disampaikan kepada teman-teman pendengar? Bagaimana supaya kita bisa mendukung perempuan-perempuan Indonesia untuk menjadi pembuat perubahan di mulai dari lingkungan yang sekecil keluarga sekalipun?
Suraiya Kamaruzzaman: Belajar dari Kartini, sebenarnya dalam kondisi yang kalau dilihat pada Kartini, usia 13 tahun tiba-tiba berhenti tidak boleh lagi keluar rumah tapi tidak menghentikan untuk berpikir kritis. Saya pikir ini yang menjadi dasar yang paling penting buat kita sekarang.
Tingkat kekritisan yang pernah dimiliki Kartini itu harus tetap kita rawat dan kita jaga sehingga kita bisa menyaring informasi apapun yang ada tidak terjebak dengan hoaks. Benar-benar mendapat informasi yang benar. Dari proses itulah kemudian kita bergerak.
Kemudian pengalaman dari Kartini juga menggambarkan bahwa Kartini tidak sendirian. Melalui ustadnya, misalnya, mengusulkan supaya dibuat tafsir Al Quran dalam bahasa Jawa supaya banyak yang bisa paham. Atau menulis surat tulisan ide-ide pikirannya, dilemparkan ke luar sehingga kemudian ada orang lain yang mendapatkan buah pikirnya dan itu menjadi sebuah ide baru dan ini yang juga harus kita lakukan. Terutama kalau untuk memperjuangkan hak-hak perempuan, hak-hak kelompok minoritas, itu kerja yang memang tidak bisa dikerjakan sendiri.
Kita itu perlu berkolaborasi bukan hanya dengan sesama teman yang punya mimpi yang sama tapi juga yang punya mimpi yang berbeda, di tempat yang berbeda juga. Kalau kita lelah jangan pernah berhenti. Mundur sejenak, tarik nafas, kita ambil energi baru, lalu maju lagi. Jadi ini, konsistensi, kontinuitas itu menjadi sangat penting.
Kolaborasi menjadi sebuah strategi yang sangat penting. Saya selalu bilang, mengutip dari Gerakan Mari Berbagi, jaringan itu harta karun yang seharusnya itu menjadi sebuah kekuatan apalagi untuk kerja-kerja untuk melakukan perubahan. Melakukan perubahan tidak bisa dikerjakan sendirian. Mungkin itu proses belajar saya dari Kartini. Mungkin itu catatan saya mbak. Terima kasih.
Desy Bachir: Okey. Terima kasih sekali kak Aya, mbak Astrid. Hari ini aku juga banyak sekali mendapatkan pencerahan, hal baru kemudian mungkin semangat baru karena setiap kali berbicara dengan yang semangat kita pasti jadi ikutan semangat juga dan mudah-mudahan ini juga menular ke teman-teman pendengar untuk jadi makin semangat seperti kak Aya dan mbak Astrid.
Teman-teman semua, terima kasih untuk mendengarkan dan terima kasih buat kak Aya dan mbak Astrid untuk bergabung dengan podcast kami hari ini. Di episode selanjutnya masih akan ada interview eksklusif dengan tamu kita yang lainya, yang tentunya sama menariknya.
Dengerin terus OzAlum Podcast, di mana aku akan berbincang tentang pengalaman alumni Australia yang menginspirasi dan memiliki cerita menarik lainnya.
Untuk teman-teman alumni, kalau mempunyai ide atau inisiatif yang dapat membuat dampak positif terhadap profesi atau komunitas kamu, saatnya untuk mewujudkannya melalui Alumni Grant Scheme (AGS). AGS menawarkan dana hibah hingga AUD 15.000 untuk proyek inovatif yang berkontribusi terhadap profesi, organisasi, maupun komunitas kamu. Proyek yang berkaitan dengan upaya pemulihan COVID-19 sangat dianjurkan dan AGS terbuka untuk semua warga negara Indonesia yang telah lulus dari perguruan tinggi Australia, termasuk yang kuliah dengan biaya sendiri.
Skema ini juga terbuka bagi alumni yang pernah mengikuti program dan studi jangka pendek di Australia. Perhimpunan Alumni juga bisa mendaftar dan kami mendorong perempuan dan penyandang disabilitas untuk mendaftar AGS. Ayo daftarkan aplikasi kamu secara daring sebelum 19 Juni 2022, jam 23.45 WIB. Info lebih lanjut, kunjungi oz.link/ags.
Terima kasih semuanya untuk mendengarkan podcast ini dan sekian untuk episode kali ini di podcast OzAlum. Jika kamu suka podcast kami, beri kami penilaian dan ulasan yang bagus dan jika kamu ingin tetap terhubung dengan jaringan alumni kami dan tetap mengikuti acara alumni kami, silahkan berlangganan update mingguan Alumni Global Australia kami dan bergabung dengan Forum Alumni Australia-Indonesia di LinkedIn. Tautannya ada di deskripsi podcast.
Sampai jumpa dalam waktu dekat. Oke, semua. Saya Desy Bachir.
Astrid Saraswati Vasile: Saya Astrid Vasile.
Suraiya Kamaruzzaman: Saya Suraiya Kamaruzaman.
Terima kasih dan sampai jumpa. Bye