OzAlum Podcast

Eps #14: G20 in the Spotlight: Transforming Education through Collaboration and Beneficial Partnerships among Key Stakeholders

November 03, 2022 Australia Global Alumni in Indonesia Season 1 Episode 14
OzAlum Podcast
Eps #14: G20 in the Spotlight: Transforming Education through Collaboration and Beneficial Partnerships among Key Stakeholders
Show Notes Transcript

The Indonesian G20 presidency has urged G20 nations to use digital technology to improve the quality of education and tackle the learning disruption caused by the COVID-19 pandemic. The Indonesian government vows to address Indonesia’s perennial education problems, such as the lack of equal access to digital technology and high-quality education. Efforts to evenly develop the sector across the archipelago have been less than ideal partly because of the size of the population and the geographical challenges of infrastructure building.

In this fourteenth episode, #OzAlum Dr Daniel Suryadarma, Research Economist at the Asian Development Bank Institute, and Feiny Sentosa, Deputy Director – Learning at the Innovation for Indonesia’s School Children (INOVASI), a DFAT-funded program, discuss why preparing human resources and education infrastructure is crucial in addressing the gaps in digital transformation. And how can the community, the private sector and the partnership programs collaborate and contribute to achieving education for all in Indonesia?

Listen to our OzAlum Podcast on Spotify, Apple Podcasts, Google Podcasts, YouTube, and the OzAlum website. Don't forget to leave a rating and review!

A full transcript of this episode is available on the OzAlum Podcast website: https://podcast.ozalum.com/

Dr. Daniel Suryadarma: Dari penelitian yang saya lakukan bersama rekan-rekan adalah seberapa banyak teknologi edukasi bisa meningkatkan kualitas pendidikan, bisa membantu dalam mengatasi turunnya pengetahuan dan keterampilan akademis, itu tergantung dari banyak faktor.

Feiny Sentosa: Isu yang kita hadapi adalah kualitasnya. Bagaimana guru memanfaatkan sumber-sumber digital yang tersedia untuk meningkatkan hasil pembelajaran siswa.

Desy Bachir: Halo semuanya dan selamat datang di OzAlum Podcast dimana kami membawakan anda beberapa cerita unik dari alumni kami yang menginspirasi, bersama saya, Desy Bachir.

OzAlum Podcast adalah akses kamu ke jejaring global alumni dan podcast ini dipersembahkan oleh tim Australia Global Alumni di Indonesia.

Di episode Podcast kali ini kita akan mengangkat prioritas sektor pendidikan di Presidensi G20 yang disampaikan oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Nadiem Makarim, yang menyatakan bahwa Indonesia akan memprioritaskan empat isu utama di Kelompok Kerja Pendidikan G20, EdWG, atau Education Working Group, yaitu pendidikan berkualitas untuk semua, penggunaan teknologi digital dalam pendidikan, solidaritas dan kemitraan, serta masa depan dunia kerja pasca COVID19.

Dengan kondisi geografis Indonesia yang tersebar dari Sabang sampai Merauke dan terdiri dengan banyaknya pulau, Indonesia memiliki tugas besar untuk memastikan kualitas pendidikan yang merata dari mulai level nasional sampai ke level daerah.

Berdasarkan hasil penelitian SMERU di Journal of Southeast Asian Economies Vol. 38/3 di Desember 2021, sayangnya kualitas pendidikan di Indonesia masih sangat beragam, dan masih terdapat perbedaan yang cukup signifikan di kualitas pendidikan antara beberapa wilayah di Indonesia, sehingga walaupun banyak daerah yang berhasil memberikan pendidikan berkualitas, masih ada siswa-siswi di daerah lainnya yang mendapatkan hasil pembelajaran yang sangat minimal.

Kurangnya akses yang merata untuk teknologi digital, dan diperparah juga oleh pandemi COVID-19 adalah salah satu penyebab timpangnya kualitas pendidikan di beberapa wilayah di Indonesia, khususnya di kawasan 3T.

Terobosan Merdeka Belajar yang dirancang oleh Kemendikbud Ristek menjadi basis pembahasan agenda prioritas transformasi digital dalam pendidikan, di mana platform ini ditujukan untuk memberdayakan dan mendukung sekolah untuk mengoptimalkan potensi mereka.

Sepenting apa transformasi digital di bidang pendidikan ini dan apa saja kendala yang dihadapi? Bagaimana kita bisa mengatasi kesenjangan akses, sarana, prasarana, dan juga infrastruktur sekolah untuk dapat mencapai transformasi digital ini? Apa yang dapat kita pelajari dari Australia, serta kerja sama apa saja yang sudah dilakukan selama ini untuk mendukung kemajuan pendidikan di Indonesia?

Kali ini saya ditemani dua tamu ahli inspirasional dari sektor swasta, dan institusi kerja sama Indonesia-Australia, dan Podcast kali ini kita akan membahas mengenai subyek-subyek penting seputar pendidikan di Indonesia yang tadi sempat dibahas.

Dengan landasan semangat gotong-royong yang diserukan dalam EdWG G20, di Podcast ini, kita juga akan menjawab undangan pemerintah untuk bersolidaritas dan bermitra secara strategis dalam rangka mendukung agenda pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia dan agenda transformasi digitalnya, serta bagaimana masyarakat di tingkat daerah dan nasional dapat berkontribusi membangun pemulihan pendidikan.

Untuk teman-teman, sebelum kita bicara lebih jauh, kita sapa dulu tamu-tamu kita. Di sini ada Ibu Feiny dan juga Pak Daniel. Mungkin boleh perkenalkan sedikit mengenai diri masing-masing supaya teman-teman pendengar bisa mendapatkan informasi lebih jelas. Bisa dimulai dari Ibu Feiny. Silahkan, Ibu. 

Feiny Sentosa: Nama saya Feiny Sentosa, saya Deputy Program Director untuk pembelajaran di INOVASI. INOVASI adalah program kemitraan pemerintah Indonesia dengan pemerintah Australia.

Saya mengambil program Dual Masters di Ohio University di bidang Southeast Asia Studies and Applied Linguistics. Singkatnya begitu, Des. 

Desy Bachir: Baik kalau begitu, Pak Daniel bisa memperkenalkan diri.

Dr. Daniel Suryadarma: Terima kasih, Desy. Nama saya Daniel Suryadarma, sekarang saya adalah Research Fellow di Asian Development Bank Institute di Tokyo. Saya lulusan dari Australian National University tahun 2010 dengan PhD di ilmu ekonomi.

Desy Bachir: Baik. Jadi kita sudah berkenalan dengan dua narasumber kita malam ini. Aku baru baca resumenya, kalau teman-teman bisa lihat juga perjalanan karir Pak Daniel dan Bu Feiny sangat menginspirasi.

Aku pengen tahu, karena fokusnya adalah edukasi, kalau boleh diceritakan dari masing-masing. Apa pencapaian atau kontribusi yang paling berkesan dalam sejarah karir ini untuk kontribusi sektor pendidikan di Indonesia. Bagaimana, Pak Daniel? 

Dr. Daniel Suryadarma: Saya mulai melakukan penelitian di isu pendidikan Indonesia sejak tahun 2003, jadi sudah 19 tahun. Awalnya saya meneliti murni, jadi saya pakai data sekunder, saya analisis, kemudian saya terbitkan di jurnal. 

Mungkin lima tahun belakangan saya mulai bekerja lebih dekat dengan pemerintah dan pengambil kebijakan baik di tingkat pusat maupun daerah. Jadi pada dasarnya kami melakukan dua hal. Yang pertama, kami mengevaluasi program-program pemerintah yang sudah berjalan dan yang kedua, kami menganalisis masalah-masalah tertentu dan merancang solusinya, kemudian kita evaluasi, sementara pemerintah mengimplementasi programnya.

Yang paling berkesan itu, kita pernah membantu salah satu pemerintah propinsi untuk memperbaiki sistem PPDB - Penerimaan Peserta Didik Baru di tingkat SMP untuk memastikan supaya anak-anak yang bisa masuk ke SMP Negeri itu adalah yang lebih dari latar belakang ke bawah karena yang selama ini yang masuk ke SMP Negeri adalah keluarga menengah ke atas. Jadi dengan bantuan kami, saya hitung-hitung, kurang lebih sekitar dua puluh ribu siswa miskin bisa masuk ke SMP Negeri. Jadi itu cukup bermanfaat untuk saya.

Desy Bachir: Kalau Ibu Feiny sendiri bagaimana? Apa yang paling berkesan sejauh ini untuk kontribusi di dunia pendidikan Indonesia?

Feiny Sentosa: Jadi perjalanan karir saya itu sebenarnya bisa dikatakan berawal dari sebuah mimpi. 

Waktu itu saya mengajar Bahasa Inggris kepada calon mahasiswa penerima ADS di Laos. ADS itu Australian Development Scholarships, bagi Milenial sekarang namanya Australia Awards. Ketika kembali ke Indonesia, saya mendapat kesempatan bekerja dengan guru-guru di SD. Itu titik masuk saya ke dalam sistem pendidikan Indonesia.

Setelah itu, beberapa kesempatan bekerja dengan organisasi kemitraan dengan pemerintah. Yang terakhir ini dengan INOVASI dari DFAT - Department of Foreign Affairs and Trade. Jadi INOVASI, pada prinsipnya, mendukung program-program transformasi pendidikan di pemerintah. Tapi kita sesuaikan dukungan kita dengan mandat dan kapasitas dari program.

Saya pikir, yang juga sama pentingnya, program seperti INOVASI ini mempunyai kesempatan untuk mengangkat isu-isu penting dari lapangan di mana kita bekerja. Misalnya, pentingnya penggunaan bahasa Ibu di kelas awal. Kelas awal itu kelas satu sampai kelas tiga.

Karena banyak anak-anak yang masuk di kelas satu masih tidak terbiasa dengan Bahasa Indonesia. Yang lain lagi, sama dengan mas Daniel, bekerja dengan lingkungan yang marginal. Kita juga memperkenalkan perspektif kesetaraan gender, disabilitas, dan inklusi sosial ke dalam buku teks dan buku bacaan anak-anak. 

Karena mengingat buku teks ini merupakan satu-satunya sumber materi bagi banyak guru-guru dan siswa. Jadi saya pikir itu merupakan kontribusi program kami dalam mendukung program-program pemerintah.

Desy Bachir: Sebenarnya hampir sama bagaimana memperluas akses menjadi yang paling berkesan untuk Ibu Feiny dan Pak Daniel, tapi bicara mengenai latar belakang pendidikan, masing-masing Ibu dan Bapak, memiliki latar belakang yang tinggi di bidangnya masing-masing.

Saya ingin tahu juga bagaimana peran pendidikan dalam mengubah hidup Bapak dan Ibu? Mungkin Ibu Feiny duluan kali ini.

Feiny Sentosa: Jadi bagi saya pendidikan itu memberikan opsi yang lebih banyak tentang apa yang bisa saya kerjakan dan saya lakukan. Kualifikasi bagi saya, apapun itu, mempunyai suatu nilai unik. Kebetulan bidang saya Applied Linguistics. 

Saya memulai karir sebagai guru Bahasa Indonesia walaupun bidang yang ditekuni sebenarnya Bahasa Inggris, tapi dengan kualifikasi ini, saya tidak terlalu sulit mendapatkan pekerjaan mengajar Bahasa Inggris di luar negeri.

Bagi saya pendidikan ini tidak dimaknai dalam arti yang sempit, tidak terbatas pada pendidikan resmi. Maksudnya kita sehari-hari bekerja, itu juga mendapatkan edukasi dari guru setiap kali kita ke lapangan. Saya belajar tentang bagaimana mengelola dan melaksanakan sebuah kemitraan.

Jadi, saya pikir, pengalaman kerja itu juga sama pentingnya dengan pendidikan resmi untuk jenjang karir. Di kantor juga, beberapa kolega yang termasuk sukses, menekuni bidang yang berbeda dengan ketika kuliah di S1, S2, dan S3.

Jadi bagi saya, mungkin peluang, keberuntungan, dan yang terakhir jejaring. Saya pikir jejaring itu penting apalagi untuk jaman sekarang ini.

Desy Bachir: Kalau edukasi tidak dibatasi formalitas. Saya sering bahas memang banyak hal tidak ada sekolahnya. Kalau Pak Daniel sendiri bagaimana?

Dr. Daniel Suryadarma: Kalau saya berefleksi, saya cukup beruntung karena orang tua saya juga pendidikannya tinggi. Jadi dengan sendirinya mereka juga sangat peduli dengan pendidikan. Jadi saya dimasukkan ke sekolah yang kualitasnya lebih bagus dari rata-rata di Indonesia. Kemudian selesai SMA saya dikirim ke luar negeri.

Tapi kalau bagi saya, manfaat utama waktu saya PhD di Australia, saya ada kesempatan untuk belajar lebih dalam di topik yang saya tertarik dan tentu kalau lulus dengan PhD maka lebih banyak kesempatan yang bisa diambil untuk melakukan penelitian yang lebih mendalam, bisa kerja di luar negeri, dan lain-lain. Mungkin kalau tidak pakai PhD saya tetap melakukan riset tapi bukan skala yang sekarang. Mungkin manfaat pendidikan bagi saya. 

Desy Bachir: Salah satu poin yang bisa digarisbawahi adalah kalau orang tua berpendidikan tinggi, memang cenderung anaknya meneruskan pendidikan tinggi juga.

Kalau kita bahas, kita mendekati G20 Summit dan satu negara ini sudah heboh dengan G20. Mungkin teman-teman yang sedang mendengarkan juga ingin tahu, kalau dalam konteks G20, apa isu yang sedang hangat diperbincangkan di sektor pendidikan? 

Untuk transformasi digital di dunia pendidikan sangat penting, tapi apakah kendala terbesar untuk mencapainya? Mungkin Ibu Feiny dulu?

Feiny Sentosa: Sebelum bicara masalah, mungkin banyak juga manfaatnya. Sebenarnya pandemi itu memicu percepatan dalam guru-guru mengadopsi digital. 

Mau tidak mau, bisa tidak bisa, isu yang kita hadapi adalah kualitasnya. Bagaimana guru memanfaatkan sumber-sumber digital yang tersedia untuk meningkatkan hasil pembelajaran siswa. Jadi kita tahu masih banyak kesenjangan akses antara mereka yang mempunyai gadget dan yang tidak mempunyai gadget, dan yang punya koneksi internet dan yang tidak punya. 

Antara Indonesia bagian barat dan Indonesia bagian timur, juga punya celah. Itulah ketersediaan akses dan sarana yang penting untuk diurus lebih dulu kalau kita ingin melakukan transformasi digital yang merata dan yang berhasil.

Desy Bachir: Jadi kendala terbesarnya lebih di akses, kemudian sarana, dan kesenjangan logistik. Kalau dari Pak Daniel sendiri bagaimana, Pak?

Dr. Daniel Suryadarma: Kalau menurut saya teknologi ini sesuatu yang sangat menarik, karena banyak orang berpikir bahwa teknologi itu bisa menyelesaikan semua masalah, bukan cuma pendidikan, tapi juga di sektor lain. 

Tapi kalau dari penelitian yang saya lakukan bersama rekan-rekan adalah seberapa banyak teknologi edukasi bisa meningkatkan kualitas pendidikan, bisa membantu dalam mengatasi turunnya pengetahuan dan keterampilan akademis, itu tergantung dari banyak faktor. 

Jadi ada tiga, yang pertama. Apa hambatan utama yang dihadapi oleh sebuah sistem pendidikan? Itu dulu yang harus kita jawab. Setelah itu baru kita bisa pikirkan, apakah ini adalah sesuatu yang teknologi bisa bantu atasi?

Kita harus jawab itu dulu. Kalau jawabannya iya, pertanyaan kedua adalah apakah sudah ada solusi teknologi yang siap dipakai untuk mengatasi hambatan ini? Jadi ini adalah pertanyaan yang besar karena teknologi biasanya diciptakan oleh sektor swasta, bukan pemerintah.

Sektor swasta tujuannya mendapatkan keuntungan. Jadi sektor swasta biasanya membuat solusi teknologi untuk orang-orang yang bisa membayar. Bukan untuk orang-orang yang paling membutuhkan. Yang membutuhkan adalah yang bukan sekolah bagus, yang tinggal di daerah terpencil, yang orang tuanya miskin. Mereka tidak bisa membayar teknologi dan teknologinya tidak dirancang untuk mereka.

Kemudian ada masalah lain adalah apakah guru dan kepala sekolah mau memakai solusi teknologi ini. Yang ketiga. Di luar sana banyak solusi teknologi yang dijual sebagai solusi paling bagus untuk meningkatkan kualitas pendidikan.

Tapi dari pemindaian literatur yang kita lakukan, ada dua hal. Yang pertama. Banyak dari solusi ini tidak berkelanjutan dan tidak bisa diperluas contohnya harganya sangat mahal. Bisa juga sistem ini hanya bisa berjalan di komputer-komputer yang cukup cepat internetnya. Jadi tidak bisa dilakukan juga.

Masalah lain, banyak yang belum dievaluasi secara ketat. Jadi kita sebenarnya tidak tahu apakah benar dampaknya positif dan seberapa besar. Jadi itu tiga hal yang utama. Kemudian soal infrastruktur, kita tahu di Indonesia akses infrastruktur sangat tidak merata, infrastruktur teknologi. 

Bahkan di Jakarta pun, cukup banyak SMP dan SMA Negeri yang tidak punya akses internet yang cukup cepat atau dapat diandalkan.

Feiny Sentosa: Boleh menambahkan? Tadi pak Daniel bilang bahwa akses internet juga berbayar bagi yang mampu. Saya ingin menggarisbawahi juga.

Saya pikir unsur manusianya itu penting untuk mempertimbangkan budaya kita dan cara guru-guru kita belajar. Jadi kita perlu mempertimbangkan faktor manusia, budaya, dan cara kita belajar. Bagaimana yang paling efektif.

Desy Bachir: Saya setuju kalau faktor manusia juga harus disiapkan karena tidak semua siap untuk menerima transformasi digital dan teknologi yang menyertai. 

Tapi kalau kita belajar dari Australia, adakah yang bisa kita pelajari untuk mengatasi kendala-kendala transformasi digital tersebut? Mungkin Pak Daniel ada masukan selama di Australia?

Dr. Daniel Suryadarma: Saya tidak tahu terlalu banyak mengenai sistem edukasi Australia untuk SD dan SMP, tapi kalau saya lihat sistem pendidikan di negara-negara yang lebih maju atau negara-negara yang kualitas pendidikannya lebih tinggi, bagi saya yang sama itu fundamentalnya.

Fundamental yang sama dari setiap negara yang sukses ini adalah guru yang berketerampilan tinggi, motivasinya tinggi, dan fokus ke hasil akhir murid-muridnya. Setelah itu sistemnya memberikan guru-guru ini otonomi untuk menentukan bagaimana cara mengajarkan konsep-konsep ini dengan baik ke anak-anaknya.

Bagi saya kunci utamanya itu. Kalau itu sudah tercapai, nanti guru-guru itu akan menentukan mereka memerlukan teknologi atau tidak, mereka butuh teknologi seperti apa, dan kapan mereka bisa pakai teknologi itu. 

Jadi saya mau beri contoh mengenai tantangan untuk memiliki guru-guru yang berketerampilan tinggi dan termotivasi ini. Misalkan bicara soal kemampuan dasar matematika dan membaca. Di Indonesia dan banyak negara-negara lain yang tingkat pembangunan ekonomi yang sama, sebagian besar siswa lulusan kelas 9 atau 12 tanpa memiliki kemampuan dasar matematika atau membaca. 

Sepuluh tahun terakhir, proporsi anak-anak SMP kelas 2 dan 3 yang tidak mempunyai kemampuan matematika dasar itu kurang lebih 60%. Padahal mengajarkan kemampuan matematika dasar itu adalah fungsi dasar dari sistem edukasi.

Sistem pendidikan itu harus bisa mengajarkan kemampuan dasar. Mengajarkan kemampuan dasar sebenarnya caranya sudah banyak tersedia di luar sana. Sistemnya pakai prosedur dan metode yang sudah terbukti berpuluh-puluh tahun, caranya tersedia di internet, dan lain-lain.

Jadi pertanyaannya adalah kalau sistem pendidikan tidak bisa mengajarkan kemampuan dasar ke siswanya meskipun sudah bersekolah tujuh sampai delapan tahun, berarti ada masalah yang sangat besar, yang saya tidak tahu dan tidak yakin bisa dijawab oleh teknologi.

Desy Bachir: Ok. Tapi kalau kita bicara tema Presidensi G20 kita, Pulih Bersama, Bangkit Perkasa, dan mendorong konsep gotong royong. Bagaimana peran sektor non-pemerintah dalam mendukung agenda ini dan terutama agenda transformasi digital?

Feiny Sentosa: Pendidikan sebenarnya merupakan tanggung jawab kita semua, bukan hanya tanggung jawab sekolah atau institusi pendidikan. Pemerintah, Kementerian juga menggandeng NGO yang melakukan kegiatan atau program-program pendidikan melalui kegiatan gotong royong.

INOVASI sendiri juga menggandeng mitra-mitra untuk melaksanakan program-program yang mendukung peningkatan pembelajaran terutama di literasi, numerasi, dan pendidikan karakter. Secara garis besar di INOVASI, kita menggandeng NGO atau yayasan-yayasan pendidikan, yayasan buku, biasanya yayasan-yayasan kecil yang mulai berkembang jadi kami sekaligus membantu membina atau meningkatkan kapasitas mereka dalam melakukan program-program pendidikan. 

Kita juga menggandeng LPTK - Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan. 

Mereka lembaga perguruan tinggi yang mencetak guru. Selain itu INOVASI juga menggandeng organisasi masyarakat Islam, karena kami menganggap organisasi ini mempunyai struktur sendiri dan berperan penting juga dalam meningkatkan mutu pendidikan anak-anak.

Yang terakhir, pertanyaan Desy terhadap perusahaan. Sebenarnya kita juga menggandeng perusahaan e-tech untuk layanan-layanan spesifik yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah melalui IT. Selain itu, saya ingin menyinggung dua hal lagi, yaitu keterlibatan masyarakat di dalam peningkatan mutu. Jadi INOVASI, terutama di daerah terpencil di Kalimantan Utara, di Kabupaten Malinau, 

Kita mendukung pemerintah dalam memberikan dukungan kepada Taman Bacaan Masyarakat (TBM) yang ditautkan dengan sekolah di sekitarnya sehingga anak-anak yang memerlukan dukungan tambahan akan didampingi di TBM ini. Yang terakhir, ini tidak kalah pentingnya juga, kita juga punya program relawan literasi.

Misalnya di Nusa Tenggara Barat yang sekarang sudah terdiri dari 1200 relawan. Mereka pergi ke rumah anak, selama pandemi membacakan buku. Sekarang kegiatan ini bisa dilakukan di TBM atau perpustakaan desa. Itu beberapa contoh pihak swasta dan masyarakat yang membantu bidang pendidikan.

Desy Bachir: Kalau dari Pak Daniel bagaimana berdasarkan pengalaman?

Dr. Daniel Suryadarma: Khusus untuk transformasi digital, bagi saya sebagai peneliti yang bekerja di lembaga internasional yang fokusnya di riset, obyektif utama saya untuk pemerintah, pertama fokus ke masalahnya dulu. Kemudian mereka perlu berpikir apakah teknologi memang solusi paling baik untuk masalah yang dihadapi.

Banyak masalah di pendidikan Indonesia tidak perlu solusi teknologi. Kalau pakai teknologi maka dampaknya tidak terlalu besar. Contoh spesifiknya, masalahnya adalah guru tidak datang ke sekolah, jadi tingkat absensi guru yang tinggi. Kemudian PEMDA punya solusi teknologi yaitu memakai mesin absensi sidik jari supaya guru-gurunya masuk setiap pagi dan keluar setiap siang dengan sidik jari. 

Yang terjadi adalah, guru-guru itu menemukan cara untuk meretas sistem sidik jari ini atau mereka datang pagi untuk absen sidik jari, mereka pulang, siang datang lagi ke sekolah, dan absen keluar. Jadi gurunya tetap tidak mengajar. Tapi ada juga teknologi yang berhasil. Contohnya, teknologi yang mengajarkan kemampuan dasar matematika.

Ada keuntungannya untuk guru mengajar kemampuan dasar matematika, ada dua. Yang pertama, peranti lunak isinya ribuan pertanyaan matematika. Jadi anak bisa berlatih sebanyak yang dia mau. Yang kedua, peranti lunak tidak punya emosi. Jadi kalau anaknya tidak bisa, misalkan tambah-tambahan salah terus.

Kalau yang mengajar manusia, guru, atau saya, sebagai orang tua, melihat anak saya mengerjakan kurang-kurangan saja tidak bisa, saya jadi kesal. Kalau komputer tidak bisa kesal. Tetap saja diberikan pertanyaan sampai anaknya bisa. 

Itu guna teknologi pada dasarnya, untuk mengajarkan kemampuan dasar. Tapi sekali lagi, teknologi ini bekerja kalau melengkapi guru yang peduli akan kemampuan belajar siswa. Yang kedua, pemerintah dan lembaga internasional itu perlu untuk masuk ke yang tadi saya bilang kegagalan pasar di mana, perusahaan swasta fokusnya ke segmen masyarakat yang bisa membayar produk mereka. Sementara yang perlu teknologi itu segmen masyarakat yang kemungkinan besar tidak bisa membayar produk mereka.

Disinilah peran pemerintah dan organisasi internasional bisa masuk dan bekerja sama dengan sektor swasta untuk mengembangkan solusi bagi sekolah negeri atau solusi bagi anak-anak berkemampuan ekonomi rendah. 

Jadi ini yang sedang saya lakukan di Indonesia dengan berbagai mitra dari Jawa Tengah dan Jakarta. Kita sedang bekerja untuk mengadaptasi suatu peranti lunak matematika yang sukses di luar negeri untuk digunakan di sekolah negeri di Indonesia

Desy Bachir: Kalau kita lanjut lagi, Bapak dan Ibu banyak berkecimpung dalam kerja sama kolaboratif bilateral antara Australia-Indonesia dalam mendorong kemajuan pendidikan di Indonesia.

Aku ingin tahu, apa saja kerja sama bidang pendidikan antara kedua negara dan bagaimana agar bisa mempererat atau meningkatkan kerja sama itu?

Feiny Sentosa: Saya mengambil contoh program INOVASI, karena ini memang program G2G, bantuan pemerintah Australia kepada pemerintah Indonesia. Prinsipnya sebenarnya, kita tidak membawa cetak biru dari Australia lalu diterapkan di Indonesia. Tapi kita menggunakan tenaga ahli pendidikan dari Australia untuk memberikan dukungan teknis dan belajar dari pengalaman mereka di Australia. 

Sebenarnya peran INOVASI lebih sebagai katalis antara Kementerian, antara KEMENDIKBUD dengan KEMENAG, mempertemukan mereka dalam misalnya mensosialisasikan program-program Kementerian yang biasanya diperkenalkan oleh KEMENDIKBUD. INOVASI juga memfasilitasi pertemuan atau diskusi antara lembaga-lembaga pendidikan di Australia.

Berbagi pengalamannya dengan Kementerian. Juga kita di dalam negeri, antara pusat dengan propinsi atau kabupaten, kita menjembatani diskusi-diskusi dan komunikasi antara pemangku kepentingan di pusat dan di daerah terkait kebijakan atau sistem tentang perubahan-perubahan yang dilakukan oleh Kementerian. Kita mempunyai tim-tim di propinsi, kita mempunyai mitra di sekolah.

Mereka bisa memberikan masukan terhadap bagaimana kebijakan dipahami oleh guru-guru. Masukan itu kita berikan kembali kepada pusat agar mereka mengetahui tantangan yang dihadapi oleh guru-guru di lapangan yang merupakan target terakhir dari kebijakan dan sistem.

Itu beberapa contoh dari bentuk-bentuk kerja sama dan peran INOVASI sebagai katalis.

Desy Bachir: Ok. Pertanyaan penutup. Dalam mendukung pemulihan ekonomi dunia yang lebih tangguh dan berkelanjutan pasca pandemi, apakah ada masukan pribadi, strategi, atau rekomendasi yang ingin disampaikan, supaya Indonesia bisa menggapai masa depan pendidikan yang berkualitas, inklusif, dan juga lebih berkelanjutan untuk semua? Mungkin dari Pak Daniel dulu.

Dr. Daniel Suryadarma: Iya. Terima kasih. Kalau dari saya rekomendasinya, balik lagi, pertama pemerintah harus fokus ke masalahnya dulu. Jadi cari tahu hambatan utamanya. Setelah itu baru cari solusi yang tepat. 

Jadi kita harus cari solusi itu yang pertama efektif. Kedua, bisa dibayar oleh pemerintah daerah. Jadi tidak bisa yang mahal-mahal. Yang ketiga, berkelanjutan. Berkelanjutan maksudnya kalau NGO, peneliti, atau programnya sudah pergi, pemerintah bisa melanjutkan kegiatan ini, solusi ini.

Yang terakhir, tentu dapat diperluas. Karena skala masalah, tantangan di Indonesia sangat besar. Di Indonesia ada tiga juta guru, ada hampir tujuh puluh juta siswa. Jadi kalau solusi itu cuma bisa berlaku untuk sebagian kecil guru atau siswa, maka tidak terlalu bermanfaat.

Desy Bachir: Kalau Ibu Feiny bagaimana, Bu? 

Feiny Sentosa: Saya pikir kita perlu mulai dari membangun fondasi yang kuat di jenjang pendidikan yang paling bawah, di kelas awal. Karena kalau Indonesia berharap dan diprediksi akan menjadi ekonomi terbesar keempat di tahun 2045, maka sistem pendidikan itu perlu menyiapkan tenaga kerja yang lebih terampil. Namun Indonesia masih ketinggalan menurut saya dari negara lain di bidang keterampilan dasar. 

Di mana keterampilan tenaga kerja dan keterampilan abad 21, seperti pemecahan masalah, bernalar. Itu semua berasal dari keterampilan dasar di literasi dan numerasi. Bayangkan jika tamatan sekolah tidak bisa membaca sebuah manual, itu literasi, atau menerapkan konsep matematika untuk memecahkan sebuah masalah, berarti dia belum siap untuk memasuki dunia kerja.

Kalau dari saya, sangat penting untuk menanamkan investasi di kelas dasar untuk mempersiapkan generasi siap kerja.

Desy Bachir: Oke. Pak Daniel dan Bu Feiny, apakah ada pesan yang ingin disampaikan untuk para alumni maupun masyarakat secara umumnya, baik di tingkat daerah maupun nasional, mengenai apa yang mereka bisa lakukan untuk membantu pemulihan pendidikan di Indonesia?

Feiny Sentosa: Secara perorangan dalam semangat gotong royong, gunakan setiap kesempatan untuk membantu kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan pendidikan yang ada di sekitar kita, sesuai peran kita, apakah sebagai orang tua, wali, kakak, atau tetangga. 

Saya pikir membacakan sebuah cerita kepada seorang anak, keponakan, atau anak tetangga, pasti anak yang diceritakan itu akan sangat senang. Karena ini terkait dengan literasi dasar. Saya pikir itu. Bacakan sebuah cerita kepada seorang anak.

Desy Bachir: Kalau Pak Daniel bagaimana, Pak?

Dr. Daniel Suryadarma: Kalau dari saya mirip. Untuk orang tua yang mendengarkan, setiap anak-anak pulang sekolah bisa ditanya pengalamannya apa. Tidak usah terlalu menghakimi atau menuntut. Suatu sentuhan kecil. Kemudian kalau mereka bilang perlu bantuan, tentu dibantu.

Dari studi yang kami lakukan, di Indonesia tingkat interaksi orang tua terhadap anaknya yang bersekolah itu rendah. Dan juga interaksi mereka dengan sekolah, guru, dan kepala sekolah juga cukup jarang. Meningkatan interaksi ini bisa lebih bermanfaat.

Tetapi kalau bicara dengan guru, jangan hanya saat menyampaikan keluhan tapi juga menyampaikan pujian kalau ada yang menurut kita bagus. Itu sesuatu yang kecil dan sehari-hari, tapi bisa bermanfaat dan bisa lebih praktis.

Desy Bachir: Mungkin sebagai catatan bahwa jangan cuma menyampaikan keluhan, tapi juga memuji. Siapa yang semangat menjadi guru kalau dihubungi orang tua cuma untuk menyampaikan keluhan. Begitu, pak? Semua orang perlu motivasi.

Ok. Terima kasih pak Daniel dan bu Feiny untuk percakapan kita hari ini dan juga terima kasih untuk teman-teman yang mendengarkan. 

Di episode selanjutnya masih ada lagi tamu-tamu yang menarik, tentunya dengan topik pembahasan yang juga tidak kalah menariknya. Dengerin terus OzAlum Podcast, di mana saya akan berbincang bersama alumni Australia lainnya mengenai pengalaman mereka yang menginspirasi dan juga tentunya menarik. Dan sekian untuk episode OzAlum podcast kali ini. 

Jika kamu suka podcast kami, dan kami harap kamu suka, beri kami penilaian dan ulasan yang bagus dan jika kamu ingin tetap terhubung dengan jaringan alumni kami dan tetap mengikuti acara alumni kami, silahkan berlangganan update mingguan Alumni Global Australia kami dan bergabung dengan Forum Alumni Australia-Indonesia di LinkedIn. Tautannya ada di deskripsi podcast. Sampai jumpa dalam waktu dekat.

Oke semuanya, saya Desy Bachir.

Feiny Sentosa: Saya Feiny. 

Dr. Daniel Suryadarma: Dan saya Daniel.

Desy Bachir: Sampai ketemu lagi! Bye!