OzAlum Podcast

Eps #15: Shedding Light on the Invisible: The Disabilities We Can't See

December 01, 2022 Australia Global Alumni in Indonesia Season 1 Episode 15
OzAlum Podcast
Eps #15: Shedding Light on the Invisible: The Disabilities We Can't See
Show Notes Transcript

If you see someone using a wheelchair, wearing a hearing aid, or using other types of assistive devices, you are likely aware that the person has a disability. But not all disabilities are obvious to the eye – just because you can’t see it doesn’t mean it’s not there. Any physical, mental, or neurological impairment that goes largely unnoticed is known as an invisible or hidden disability. The reality of individuals with these disabilities can be difficult for others to recognise, and they often face specific challenges and discrimination in their communities and workplaces. However, the more we learn about a broad spectrum of hidden disabilities, the better we can understand what people with invisible disability go through on a daily basis.

To celebrate the International Day for People with Disability, our fifteenth podcast episode dives into the hidden disability. Our Guest Host #OzAlum Lia Marpaung, Gender Equality & Disability Adviser at Australia Awards in Indonesia, chats with fellow #OzAlum Gema Gumelar, Chief Executive of Kasih Rumala Group Foundation, Dr Dante Rigmalia, Chairperson of the National Commission for Disability Committee, and Nina Hendarwati, Partnership Coordinator at INKLUSI, a DFAT–funded program. They explore what we can do to promote accessibility, equality, and inclusivity and break down the barriers for people with invisible disabilities. And what can we learn from Australia to build an inclusive community and ensure that ‘’No one is left behind’’?

Listen to our OzAlum Podcast on Spotify, Apple Podcasts, Google Podcasts, YouTube, and the OzAlum website. Don't forget to leave a rating and review!

A full transcript of this episode is available on the OzAlum Podcast website: https://podcast.ozalum.com/ 

Dante Rigmalia: Penyandang disabilitas ini sangat beragam dengan derajat kedisabilitasannya yang sangat berbeda, termasuk adanya disabilitas yang tidak terlihat ini.

Nina Hendarwati: Kita harus menyadari bahwa setiap orang itu lahir dengan kenormalannya.

Gema Gumelar: Ketika akan membuat sebuah kebijakan, pastikan selalu ada orang dengan disabilitas mental dari hulu ke hilirnya.

Lia Marpaung: Halo dan selamat datang di OzAlum Podcast dimana kami membawakan anda beberapa cerita unik dari alumni kami yang menginspirasi, bersama saya, Lia Marpaung, GEDSI (Gender Equality & Disability) Adviser untuk Australia Award di Indonesia. OzAlum Podcast adalah akses kamu ke jejaring global alumni. Podcast ini dipersembahkan oleh tim Australia Global Alumni di Indonesia. 

Di episode podcast kali ini, kita akan mengangkat topik mengenai disabilitas. Podcast kali ini juga diluncurkan guna memperingati Hari Penyandang Disabilitas Internasional yang jatuh pada tanggal 3 Desember dan tahun ini mengusung tema Tidak Semua Disabilitas Kasat Mata. 

Maka dari itu, topik podcast kita hari ini adalah untuk membahas ragam disabilitas yang tidak biasa kita lihat atau tidak kasat mata, terutama apa saja yang masuk kategori disabilitas tidak kasat mata, dan bagaimana aksi kolaboratif yang dapat kita lakukan bersama untuk meningkatkan pengetahuan kita tentang jenis disabilitas ini, serta bagaimana mempromosikan aksesibilitas, budaya inklusi, dan membuka peluang akan kesetaraan bagi para penyandang disabilitas terkait.

Selain itu di akhir sesi, podcast ini juga akan mengeksplorasi bagaimana Indonesia dan Australia dapat bekerjasama dalam mempromosikan inklusi secara lebih luas. Penyandang disabilitas merupakan 15% dari populasi dunia dan merupakan minoritas terbesar dan paling tidak beruntung di dunia. Di Indonesia, berdasarkan data Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) 2020 mencatat bahwa 22,97 juta penduduk Indonesia adalah penyandang disabilitas, atau lebih dari 9% dari total penduduk Indonesia. 

Ketika berbicara mengenai difabel atau disabilitas, fakta mengungkapkan bahwa penyandang disabilitas dan keluarganya lebih cenderung menjadi miskin dan tetap miskin karena mengalami stigma dan diskriminasi, seringkali mereka dipandang sebelah mata oleh masyarakat, dan mengalami berbagai hambatan untuk dapat mengakses pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, dan juga aksesibilitas. Masih banyak ruang dan layanan yang belum benar-benar aksesibel dan dapat dijangkau oleh teman-teman difabel. 

Disabilitas tidak kasat mata adalah kondisi fisik, mental, atau neurologis yang tidak terlihat dari luar yang membatasi gerakan, indera, atau aktivitas seseorang. Beberapa yang tidak terlihat dapat menyebabkan keterbatasan dalam aktivitas sehari-hari, berpotensi menimbulkan kesalahpahaman, persepsi dan penilaian yang salah, serta mengakibatkan peluang yang terlewatkan.

Beberapa contoh disabilitas tidak terlihat, selain gangguan mental seperti gangguan kecemasan, depresi, bipolar, dan juga termasuk gangguan fungsi kognitif dan perbedaan cara belajar, seperti misalnya spektrum autisme, Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD), dan disleksia.

Ketika berbicara tentang inklusi, pola pikir dan pemahaman kita juga perlu bergeser dari sekedar menyediakan huruf Braille, kursi roda, dan lantai landai ke akses yang bersifat universal dan dapat digunakan oleh semua. Kita tahu bahwa di Indonesia, masih ada banyak hambatan dalam mengakses layanan dasar yang dihadapi oleh penyandang disabilitas tak terlihat untuk dapat berpartisipasi penuh dalam masyarakat.

Pemisahan di pasar tenaga kerja menjadi sangat menantang bagi penyandang disabilitas dari kelompok ini. Di beberapa tempat kerja, masih ada ketidaktahuan tentang bagaimana cara mengakomodasi orang dengan diagnostik ini. Akomodasi yang layak perlu dipromosikan lebih luas untuk memastikan mereka merasa aman dan nyaman untuk membuka status mereka dan dapat bekerja dengan lingkungan yang inklusif dan dapat diakses.

Oke, pendengar Oz. Sebelum ngobrol lebih jauh, saya ingin menyapa ketiga tamu saya. Selamat datang untuk teman-teman sekalian. Salam inklusi. Pertama-tama, saya ingin menyapa salah seorang tokoh penting dalam memajukan inklusi disabilitas di Indonesia. Selamat datang Ibu Dante Rigmalia.

Dante Rigmalia: Halo. Selamat datang juga semuanya. Saya Dante Rigmalia, Ketua Komisi Nasional Disabilitas. Saya penyandang disabilitas ganda. Jadi disabilitas tuli derajat sedang, atau biasa disebut Sulit Mendengar, menggunakan alat bantu dengar di telinga kiri dan kanan dan saya juga menyandang disleksia. Sebuah kondisi hambatan neurologis yang mengakibatkan saya kesulitan untuk mengingat banyak hal dan memori yang berjalan tidak baik, baik memori jangka pendek dan memori jangka panjang, seperti yang beberapa hal disebutkan oleh Mbak Lia tadi.

Lia Marpaung: Terima kasih Ibu Dante. Senang sekali ada Ibu Dante bersama kita. Ibu Dante juga saat ini menjadi salah seorang penerima beasiswa dari Australia Awards dan akan segera menjadi OzAlum juga ya, Ibu?

Dante Rigmalia: Iya. Amin!

Lia Marpaung: Oke, selanjutnya saya ingin menyapa tamu saya yang kedua. Beliau juga adalah alumni Australia dan seseorang yang cukup populer. Dia adalah seorang advokat dalam isu kesehatan jiwa atau kesehatan mental. Selamat datang Bapak Gema Gumelar.

Gema Gumelar: Halo, Mbak Lia. Betul yang dibilang Mbak Lia, saya juga alumni beasiswa Australia Awards dari tahun 2018. Saya mendapat beasiswa Fellowship di Flinders University di Australia Selatan. Saya mengambil jurusan Community Mental Health, di departemen psikiatri di sana.

Lalu tahun 2020, saya menerima beasiswa lagi untuk studi kuliah pendek di The University of Sydney. Kurang lebih begitu, Mbak Lia. Terima kasih.

Lia Marpaung: Bagian dari keluarga besar Australia, Mas Gema Gumelar. Terima kasih banyak, Mas.

Selanjutnya saya ingin memperkenalkan Ibu Nina Hendarwati. Beliau ini adalah perwakilan dari kemitraan Indonesia-Australia. Khususnya untuk program INKLUSI yang nanti akan kita dengar dari Mbak Nina, apa itu program INKLUSI.

Selamat datang, Mbak Nina. Silakan memperkenalkan diri secara singkat kepada pendengar Oz.

Nina Hendarwati: Oke. Perkenalkan nama saya Nina Hendarwati. Kami punya program bernama Program INKLUSI. Ini adalah program yang didanai oleh DFAT (Department of Foreign Affairs and Trade Australia). Di sana, saya sebagai Partnership Coordinator yang bertanggung jawab untuk program yang memberi layanan dasar untuk penyandang disabilitas.

Lia Marpaung: Terima kasih, Mbak Nina. Teman-teman sekalian, tadi Ibu Dante sudah menjelaskan secara singkat jenis disabilitas yang Ibu miliki. 

Bolehkah Ibu berbagi pengalaman atau cerita kepada kami, bagaimana pengalaman Ibu dalam keseharian selama ini dalam mengakses hak-hak yang fundamental. Seperti ketika Ibu harus mengakses layanan pendidikan, layanan kesehatan, atau pun layanan sosial lainnya, termasuk dalam mengakses informasi publik. Silahkan, Ibu Dante.

Dante Rigmalia: Baik. Dua kondisi disabilitas saya itu memang sangat menyulitkan untuk saya bisa mengakses banyak hal, terutama yang terasa itu dalam mengakses pendidikan sehingga beberapa kali saya berhenti sekolah, tetapi pemerintah mempunyai rencana cadangan dengan, misalnya ketika saya SMA, saya mengikuti Paket Persamaan.

Kemudian ketika S2 saya yang pertama tidak selesai, saya diijinkan untuk bisa mengikuti S2 yang kedua. Kesulitan itu terjadi karena saya sulit mengingat dan menghafal banyak hal, kemudian menerima informasi yang disajikan seringkali keliru mempersepsi apa yang dilihat. Itu sangat berdampak pada proses belajar saya dan proses untuk bisa berinteraksi dengan lingkungan.

Saya mendapat stigma dari lingkungan dan sering kali saya dianggap sombong, tidak bisa berinteraksi, tidak memiliki kepekaan dan hal-hal yang sifatnya hubungan sosial. Karena memang sebagai penyandang disleksia, saya kesulitan untuk bisa mengidentifikasi apa yang terjadi di lingkungan. Belum ditambah dengan kesulitan saya untuk mendengar, dengan alat bantu dengar yang terhalang oleh hijab saya, orang tidak tahu kalau masalah itu disebabkan oleh kesulitan pendengaran saya.

Yang terjadi pada diri saya adalah stigma bahwa saya tidak fokus, malas, nakal, tidak mau mengerjakan tugas, padahal semua itu terjadi ketika berproses di sekolah karena kedisabilitasan yang saya miliki. Stigma negatif yang diberikan lingkungan itu seringkali juga lebih berat dari disabilitas yang saya miliki. Secara psikologis menjadi tekanan tersendiri. Ada satu masa di mana saya benar-benar menarik diri dari lingkungan karena saya merasa lingkungan tidak bisa menerima apa yang saya miliki.

Lia Marpaung: Karena orang salah paham dan memiliki persepsi yang salah, jadi kepribadian kita juga dicap buruk. Mas Gema, selain seorang alumni dari Australia, anda juga seorang pejuang isu kesehatan mental. Anda mengadvokasikan isu ini kepada masyarakat. 

Bagaimana menurut Mas Gema perbedaan masyarakat, khususnya di Indonesia, akan isu kesehatan mental jika dibandingan dengan masyarakat di Australia pada umumnya, juga bisakah Mas Gema menjelaskan secara singkat apa perbedaan disabilitas mental dibandingkan ragam disabilitas yang lain?

Gema Gumelar: Oke. Bukannya mau menjelekkan salah satu negara, tapi kalau harus membandingkan, kita memang masih jauh ketinggalan soal pemahaman kesehatan mental atau kesehatan jiwa dibandingkan dengan Australia.

Kenapa saya bisa mengatakan ini? Pertama, selain karena saya sudah banyak memiliki pengalaman di lapangan, dan saya juga mencoba membuat penilaian ketika saya studi di Australia, baik ketika di Adelaide maupun di Sydney, mulai dari aksesibilitas, fasilitas dan akomodasi, sistem pendukung, bahkan rasio tenaga kesehatan saja jauh sekali.

Jadi bisa dibilang di Indonesia banyak celah. Selama studi di Australia, saya dapat banyak wawasan dan saya mencoba membawa contoh-contoh baik dan sistem-sistem yang sudah berjalan optimal di Australia ke Indonesia. Keterlibatan orang dengan disabilitas mental atau yang kita sebut Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) sangat terlibat dengan sistem ini di Australia.

Di Indonesia, masih sangat jauh keterlibatannya. Kalau ditanya apa perbedaannya antara disabilitas mental dan ragam disabilitas lainnya, yang biasa teman-teman lihat kalau disabilitas fisik menggunakan alat, seperti tongkat, atau yang disabilitasnya terlihat dengan mata telanjang, hampir semua jenis disabilitas mental atau gangguan jiwa tidak mudah untuk dilihat oleh mata telanjang. 

Teman-teman pasti akan langsung menyimpulkan seseorang memiliki gangguan jiwa kalau gejalanya sudah ekstrim, misalnya yang telanjang di pinggir jalan, pasti akan disebut "Orang Gila", padahal kita sudah tidak menggunakan terminologi itu. Kita menggunakan sebutan ODGJ atau disabilitas mental.

Ini data yang dikeluarkan WHO (World Health Organization) bahwa setiap 40 detik, ada satu orang yang meninggal karena melakukan tindakan bunuh diri. Cakupan saya di provinsi Jawa Barat, untuk kasus gangguan jiwa saja diproyeksikan dari data Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) tahun 2018, total kurang lebih kisarannya, sekitar 70.000 jiwa. Mungkin pasca pandemi naik lagi. Dari situ saja kita bisa menyimpulkan bahwa angkanya banyak. Tapi sayangnya angka ini tidak terlihat secara kasat mata, bahkan Ibu Dante yang juga merasakan stigma dan persepsi yang salah.

Lia Marpaung: Mbak Nina, nanti Ibu Dante dan Mas Gema bisa menambahkan, saya pertama ingin tanya Mbak Nina mengenai program INKLUSI-nya, Kira-kira apa saja peran yang sudah dilakukan khususnya dalam mendukung inklusivitas terutama bagi teman-teman dengan kategori disabilitas tak terlihat?

Nina Hendarwati: Sebelum saya menjelaskan apa program INKLUSI sendiri dan apa yang sudah pernah dicapai, saya ingin menyampaikan pemahaman atau ketidaktahuan mengenai disabilitas ini memang jadi PR besar untuk kita semua. Empati belum tentu ada apabila kita belum ada pengetahuan tentang disabilitas. 

Jadi ini pengalaman saya awal masuk INKLUSI juga masih ragu karena pemahaman saya mengenai disabilitas saya anggap saya tidak kapabel untuk itu. Tetapi begitu saya masuk dan mengenali, INKLUSI bekerja dengan beberapa lembaga mitra salah satunya adalah dengan SIGAB (Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel). Jadi kami saat ini masih fokus kepada teman-teman yang ragam disabilitasnya cukup dikenali. Tapi ini pun cukup banyak kejutannya, Mbak Lia. 

Untuk teman-teman yang dikenali ragam disabilitasnya, penerimaan di lingkungannya memang belum mendukung. Kami masih sering bertemu peserta pelatihan yang bilang, "ini narasumbernya seperti tuyul". Sejauh itu pemahaman stigma dan stereotip yang diberikan masyarakat. Saat ini INKLUSI lebih mendorong bagaimana kami memberi layanan dasar kepada teman-teman yang menjadi PYD (Partners for Youth with Disabilities) dengan ragam apapun, termasuk yang tak terlihat. 

Kemudian INKLUSI sedang mendorong bagaimana pemerintah mengimplementasi regulasi yang menyatakan 1% dan 2% pegawai di perusahaan menerima teman-teman disabilitas di tempat kerja. Bagaimana INKLUSI mendorong unit layanan disabilitas yang memang sudah ada dan menjadi regulasi yang sudah ditetapkan, tetapi kenyataan di lapangan, bahkan di perkotaan, menjadi PR yang cukup banyak. Sehingga menurut saya, pemahaman mengenai disabilitas menjadi sangat urgen kemudian bagaimana stereotip ini kita kikis, juga kita menyadari bahwa setiap orang lahir dengan kenormalannya. Itu yang saya selalu ingat dari kata-kata Pak Suharto dari SIGAB. Terima kasih.

Lia Marpaung: Terima kasih, Mbak Nina. Saya senang mendengar Mbak Nina sudah menyentuh tentang pentingnya kita membantu pemerintah memonitor regulasi inklusi disabilitas atau implementasi dari UU No. 8 Tahun 2016. Ibu Dante, saya ingin kembali kepada Ibu dengan pertanyaan yang sama.

Kira-kira yang sudah dilakukan oleh Ibu Dante sebagai pribadi maupun melalui organisasi, untuk mendukung inklusivitas terutama bagi teman-teman dengan disabilitas tak terlihat.

Dante Rigmalia: Perjalanan yang cukup panjang untuk saya bisa menjadi Komisioner dan Ketua Komisi Nasional Disabilitas. Perjuangannya dibandingkan dengan yang non-disabilitas, semangat berjuang yang harus saya miliki beberapa kali lipat untuk berada di sini. Namun dengan Presiden melantik empat Komisioner penyandang disabilitas adalah suatu kekuatan yang baik dan sebuah kepercayaan negara kepada penyandang disabilitas bahwa kami bisa dan juga mampu. 

Selain itu, ketika penyandang disabilitas ditempatkan pada sebuah tempat yang strategis untuk bisa mendorong kebijakan dan melakukan tugas fungsi pemantauan, evaluasi, dan advokasi terhadap upaya penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak bagi penyandang disabilitas, kekuatannya menjadi lebih berbeda karena sering kali teman-teman berbicara untuk disabilitas, tentu kami harus dilibatkan. 

Yang kami lakukan adalah terus menyuarakan kepada semua pihak bahwa penyandang disabilitas itu sangat beragam dengan derajat kedisabilitasannya yang sangat berbeda termasuk dengan adanya disabilitas tak terlihat ini. Sehingga yang harus dilakukan adalah bagaimana kita harus memiliki sensitivitas terhadap semua. 

Jangan hanya melihat secara kasat mata ketika seseorang tidak terlihat menggunakan kursi roda, tidak menggunakan kruk, dan dia membutuhkan bantuan, kita semua harus sensitif dalam memberikan dukungan dan layanan, bahkan melakukan identifikasi dan penilaian, agar bisa menempatkan dan memberikan hak-haknya seperti pada umumnya sehingga tidak terhambat. 

Seringkali disabilitas menjadi terhambat karena lingkungan yang menghambatnya. Ketika kesempatan diberikan, dibuka seluas-luasnya kepada penyandang disabilitas, kami akan belajar dan menjadi lebih baik dan mencapai titik optimal.

Lia Marpaung: Baik. Jadi kita perlu mengasah sensitivitas kita dan juga pentingnya kita sebagai masyarakat dan bagian dari lingkungan memastikan kita membuka kesempatan bagi penyandang disabilitas. Terima kasih, Ibu Dante. 

Mas Gema, ada yang ingin anda tambahkan? 

Gema Gumelar: Sebetulnya dengan adanya Komisi Nasional Disabilitas, kemarin saya sempat ngobrol dengan tim apakah ada perwakilan teman-teman disabilitas mental di jabatan atas?

Karena balik lagi, Tidak Ada Kita Tanpa Kita. Lebih baik langsung dengan orang yang langsung mengalami. Seperti Ibu Dante yang mengalami disleksia dan menjelaskan hambatannya langsung di advokasikan oleh beliau sendiri. Harapannya seperti itu.

Ketika Ibu Dante masuk, karena tahu selain disabilitas pendengaran, beliau juga mengalami disleksia. Sebetulnya spektrum disabilitas mental banyak, lebih dari ratusan diagnosis gangguan jiwa. Jadi belum semua terungkap, bahkan stigma bisa muncul di antara kalangan teman-teman sesama disabilitas. 

Kalau kami sedang berkumpul dengan teman-teman disabilitas, teman-teman penyandang disabilitas mental pun kerap diejek, "mana disabilitasnya?". "Kami kehilangan kaki dan tangan. Kamu kehilangan apa?". 

Mau tidak mau, kita harus tidak mengenal lelah mengedukasi orang sekitar. Itu yang dilakukan.

Lia Marpaung: Mas Gema mengingatkan kita tentang salah satu prinsip untuk memastikan inklusi disabilitas, Tidak Ada Kita Tanpa Kita.

Pertanyaan berikutnya saya lemparkan lagi ke Ibu Dante atau Mbak Nina. Apakah suara penyandang disabilitas, khususnya disabilitas tak terlihat, sudah cukup terwakilkan dalam proses kesetaraan dalam mengakses layanan publik di Indonesia? Apa tantangan yang mereka hadapi?

Dante Rigmalia: Mas Gema, support kami. Walaupun penyandang disabilitas mental tidak ada di KND, tetapi kami memayungi dan mengupayakan penghormatan dan perlindungan pemenuhan hak seluruh penyandang disabilitas. Semoga kami bisa menjadi representatif untuk memperjuangkan itu.

Terkait dengan pertanyaan Mbak Lia, penyandang disabilitas belum mendapatkan hak sebagaimana non-disabilitas. Itu sebabnya Komisi Nasional Disabilitas hadir. KND hadir sebagai upaya negara untuk mempercepat pelaksanaan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak bagi penyandang disabilitas.

Saya melihat pemahaman mengapa kita harus memenuhi hak-hak penyandang disabilitas yang dimana masih lemah. Kita masih melihat pendekatan untuk penyandang disabilitas berbasis belas kasihan. Belum berbasis hak yang seharusnya diberikan. Kita sedang mengupayakan bahwa pemberian hak bagi penyandang disabilitas adalah sebuah kewajiban bagi kita dan hak mereka sebagaimana non-disabilitas.

Pendekatan kita terhadap penyandang disabilitas berbasis belas kasihan itu yang mengakibatkan stigma negatif masih kuat di tengah masyarakat. Stigma ini menjadi penghambat bagi penyandang disabilitas untuk memperoleh kesetaraan dalam mengakses layanan publik di Indonesia. 

Kehadiran Komisi Nasional Disabilitas punya dua pendekatan. Yang pertama adalah dari atas ke bawah. Kami memastikan segala regulasi, kebijakan, dan penganggaran berpihak kepada penyandang disabilitas. Sehingga kami mendekati Kementerian lembaga kemudian pemerintah daerah. Kami berdiskusi dengan Kominfo (Kementerian Komunikasi dan Informatika) tentang layanan publik untuk disabilitas.

Layanan perbankan yang ramah disabilitas itu seperti apa? Kami berdiskusi dengan OJK (Otoritas Jasa Keuangan), BI (Bank Indonesia), Kementerian Pendidikan, dan lain sebagainya untuk memastikan hak-hak penyandang disabilitas bisa dipenuhi. Karena sering kali penyandang disabilitas tidak mendapatkan haknya karena mereka tidak tahu ada layanan apa yang diperuntukkan bagi mereka. 

Pemerintah yang menyediakan layanan tidak menyadari bahwa penyandang disabilitas tidak punya gadget, dimana yang memiliki hanya sekitar 30%, dan mereka pun belum tentu bisa menggunakan akses Wi-Fi atau internet. Kami sedang mengupayakan agar layanan informasi komunikasi bisa dipastikan sampai kepada penyandang disabilitas.

Lia Marpaung: Edukasi publik masih menjadi PR untuk memastikan pemahaman masyarakat. Baik, ada yang mau Mbak Nina tambahkan? Silahkan.

Nina Hendarwati: Saya ingin menambahkan bahwa sebenarnya kita punya PR besar mengenai data sendiri. Data ini menjadi PR bagi semua pemangku kepentingan yang memang memiliki keprihatinan kepada teman-teman disabilitas, apalagi untuk yang tidak prihatin. Seolah-olah tidak ada data, jadi ini sebuah PR dan program INKLUSI menggunakan pendekatan GEDSI (Kesetaraan Gender, Disabilitas, dan Inklusi Sosial). 

Kita punya dua strategi, yang pertama ingin membiasakan GEDSI, jadi seluruh mitra INKLUSI, ada delapan mitra, hampir semua memiliki target kelompok teman-teman disabilitas. Kemudian kita ingin memastikan teman-teman disabilitas juga menggunakan pendekatan titik temu, jadi bagaimanapun ragam disabilitas bisa menjadi bagian dari situ. Misalnya, ada contoh penyandang disabilitas yang menikah muda. Ada persoalan dia akan menghadapi dunia yang sangat baru. Belum mengatasi kedisabilitasannya, dia juga memasuki pernikahan yang cukup dini, sehingga itu menjadi potensi teman-teman akan menghadapi persoalan yang lain.

Jadi titik temu itu bagi kami menjadi penting, supaya kami tidak mengkotak-kotakkan ini khusus ke ragam disabilitas apa. Tidak sama sekali. Itu yang menjadi pendekatan kami. Sekali lagi, saya sepakat dengan Mas Gema, ternyata pendataan pun perlu juga dilakukan oleh teman-teman yang disabilitas, karena empati pada waktu wawancara sangat berbeda dengan para aktivis. 

Misalnya saya, mungkin saya tidak punya sensitivitas yang sangat bagus, tapi teman-teman disabilitas pada waktu mendata, mereka cukup menerima. Saya kira itu pengalaman yang bisa saya beri dari program INKLUSI. Terima kasih.

Lia Marpaung: Saya ingin kembali ke Mas Gema. Berdasarkan pengalaman Mas Gema sebagai seorang advokat, khususnya untuk isu disabilitas psikososial atau isu-isu kesehatan jiwa, apa kira-kira rekomendasi yang bisa diberikan kepada pemerintah dalam mengedukasi publik untuk meningkatkan kesadaran demi menjamin inklusivitas bagi para penyandang disabilitas di tanah air, khususnya untuk mereka dengan ragam disabilitas yang tak terlihat?

Gema Gumelar: Satu yang paling mendasar kembali ke prinsip saya tadi, jangan lupa melibatkan orang dengan disabilitas mental. Karena kalau langsung dari mereka diikutsertakan dalam pembuatan kebijakan, mereka sendiri yang akan menyuarakan. Mereka yang akan tahu apabila obat yang tidak ditanggung BPJS atau asuransi, kebutuhan di lapangan terkait rehabilitasi, dan sebagainya. 

Jadi apa rekomendasi yang diperlukan? Pemerintah ketika akan membuat sebuah kebijakan, melakukan riset sebuah kebijakan, dan akan mengimplementasikan dari hulu ke hilirnya, pastikan selalu ada orang dengan disabilitas mental dan sudah dilibatkan selalu selama saya studi di Australia. Dalam pembuatan kebijakan, bahkan pembuatan gedung saja di Australia, melibatkan orang-orang dengan disabilitas untuk mencoba 

Lia Marpaung: Ibu Dante, tadi Ibu sudah bicara banyak tentang Komisi Nasional Disabilitas. Mungkin banyak teman-teman pendengar Oz dan alumni Australia lain yang mendengarkan podcast kita pada sore hari ini, mungkin belum terlalu paham tentang ruang lingkup dari KND itu sendiri, khususnya keterlibatan KND dalam proses perumusan kebijakan dan memastikan kebijakan yang ada di Indonesia ini tentunya kebijakan yang inklusif juga.

Lalu saya juga ingin bertanya kepada Ibu Dante atau pengalaman teman-teman KND, apakah saat ini sudah ada kerjasama dengan pemerintah maupun organisasi lainnya di Australia?

Dante Rigmalia: KND memiliki tugas untuk memastikan upaya penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas itu bisa dilaksanakan oleh semua pihak baik pemerintah maupun pihak swasta dan masyarakat, seluruh komponen bangsa ini. Sehingga apa yang dilakukan oleh KND adalah dua pendekatan yang kami sampaikan di awal. 

Yang pertama pendekatan dari atas ke bawah, kemudian untuk perumusan kebijakan kami mendorong, seperti yang tadi saya sampaikan, bagaimana Kementerian Komunikasi dan Informasi sekarang sedang menyusun peraturan Menteri dan hingga saat ini sedang mengembangkan penyusunan naskah akademik. Kemudian dengan BI, OJK, dan sektor utama Kementerian Sosial sedang menyusun petunjuk teknis operasional jasa layanan perbankan yang ramah disabilitas.

Kemudian dengan Kemendikbud Ristek menjadi peninjau untuk buku bagi para guru yang memiliki murid penyandang disabilitas sehingga mereka memiliki pemahaman yang baik. Kemudian kami menjadi Steering Committee di BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) untuk program MOST (Management of Social Transformation) UNESCO. Kami masuk ke dalam kajian-kajian BRIN dan riset ini menjadi satu fondasi dan dasar untuk perumusan kebijakan sehingga apa yang kami sampaikan kepada Presiden

Kami bertanggung jawab langsung kepada Presiden dan memberikan rekomendasi tentang langkah yang harus diambil untuk semua pemangku kepentingan berdasarkan kajian-kajian juga. Kemudian kami dengan pihak Australia, terutama dengan AIPJ2 (Australia Indonesia Partnership for Justice), kami sedang menyebarkan instrumen-instrumen untuk mengevaluasi.

Kami melakukan pemantauan dengan cara sosialisasi dan edukasi. Sering kali Kementerian lembaga Pemerintah Daerah belum disosialisasikan tentang UU No. 8 Tahun 2016, meskipun Undang-Undang itu sudah ada sejak tahun 2016 sehingga kami mendorong Pemerintah Daerah untuk memiliki PERDA atau merevisi PERDA yang dibentuk sebelum tahun 2016.

Lia Marpaung: Saya ingin kembali ke Mas Gema. Apakah Mas Gema punya masukan bagaimana agar kita bisa mempunyai satu strategi yang efektif kedepannya, agar masyarakat luas bisa semakin menyadari akan keberadaan teman-teman penyandang disabilitas yang tidak terlihat ini? Silakan Mas Gema.

Gema Gumelar: Untuk kebijakan sendiri, khususnya disabilitas mental, kita bersyukur sudah punya dua Undang-Undang. Selain UU No. 8 Tahun 2016, kita juga punya UU No. 18 Tahun 2014 tentang kesehatan jiwa. Jadi teman-teman penyandang disabilitas mental punya dua kebijakan dan di dalamnya sudah mencakup seluruh upayanya. 

Jadi mulai promosi, pencegahan, kuratif, dan rehabilitatif nya. Tapi selain itu strategi apa kira-kira yang lebih efektif? Kita mengikuti kondisi jaman sekarang. Salah satunya dengan mengoptimalkan penggunaan teknologi. 

Lia Marpaung: Mbak Nina, saya ingin bertanya apakah ada praktek baik dari Australia yang menurut Mbak Nina bagus kalau bisa diterapkan di Indonesia untuk memastikan inklusivitas bagi penyandang disabilitas?

Nina Hendarwati: Saya kira praktek baik dari Australia memang banyak dan kita harus selektif untuk disesuaikan dengan situasi di Indonesia. Misalnya bagaimana pemerintah Australia itu selalu menyarankan bahwa tidak ada yang ditinggalkan. Jadi meskipun kasusnya hanya satu, tetap harus ditangani. 

Dan pembelajaran terbaiknya adalah bagaimana kita menangani persoalan-persoalan ini dengan cara seperti kita memakan kue lapis, tidak diambil satu-satu tapi digigit bersama-sama. 

Lia Marpaung: Mas Gema, ada pesan untuk teman-teman alumni Australia dan masyarakat di tingkat daerah maupun tingkat pusat supaya kita bisa bersama-sama membantu untuk meningkatkan kesadaran terhadap inklusivitas atau membangun budaya inklusi di Indonesia?

Gema Gumelar: Jadi teman-teman, daripada energinya digunakan untuk mencaci orang sebagai netizen, lebih baik energi itu digunakan untuk hal-hal yang lebih positif.

Salah satunya dengan memviralkan teman-teman penyandang disabilitas untuk memenuhi kebutuhannya dan perlindungannya juga, termasuk memviralkan KND. Terima kasih, Mbak Lia. 

Lia Marpaung: Ibu Dante, ada pesan untuk teman-teman alumni Australia dan masyarakat untuk kita bisa bersama-sama membantu untuk meningkatkan kesadaran terhadap inklusivitas atau membangun budaya inklusi di Indonesia?

Dante Rigmalia: Harapan kami penyandang disabilitas untuk diberikan kesempatan dan akomodasi yang layak berupa penyesuaian yang akan menjadikan kami penyandang disabilitas memungkinkan untuk bisa menikmati hasil pembangunan dan berkontribusi dalam pembangunan. Demikian, Mbak Lia.

Lia Marpaung: Terima kasih, Ibu Dante. Mbak Nina, apakah punya pesan untuk teman-teman pendengar Oz yang mendengarkan podcast kita pada sore hari ini?

Nina Hendarwati: Saya kira yang paling penting adalah semakin banyak orang berempati berarti disabilitas yang menjadi umum sedang terjadi. 

Butuh yang namanya afirmasi. Kita tidak bisa langsung menganggap orang dengan disabilitas sebagai orang yang mampu. Sama seperti ketika orang berbicara tentang kesetaraan gender, seolah karena laki-laki dan perempuan setara, maka kemampuannya pun sama.

Jadi respon gender dan tindakan afirmatif menjadi penting, karena kita menyadari bahwa ada hambatan-hambatan yang harus kita bantu untuk dipenuhi. 

Lia Marpaung: Terima kasih, Mbak Nina. Saya ingin merangkum beberapa poin penting yang telah disampaikan oleh para narasumber kita. 

Satu, pentingnya untuk meningkatkan pemahaman kita akan isu-isu GEDSI (Gender Disability and Social Inclusion) dan juga memiliki pemahaman tentang titik temu itu. Kemudian juga, penting untuk selalu membuka kesempatan dan melibatkan partisipasi teman-teman penyandang disabilitas yang tak terlihat. 

Tidak terlihat bukan berarti tidak ada masalah. Dan kemudian, kita juga diingatkan bahwa kita bisa memulai dengan yang sudah ada dalam diri yang menjadi kekuatan kita. Tadi kita diingatkan bahwa kita punya media sosial dan kita bisa menggunakannya untuk mempromosikan isu-isu tentang disabilitas tidak kasat mata dan tentang inklusi itu sendiri. 

Akhirnya waktu juga yang memisahkan kita. Saya ingin menyampaikan terima kasih kepada para pembicara tamu untuk bergabung di podcast kami dan teman-teman yang mendengarkan. 

Di episode selanjutnya akan ada wawancara eksklusif dengan tamu kita yang lain. Dengerin terus OzAlum Podcast, di mana kami akan mengobrol seru tentang pengalaman alumni Australia yang menginspirasi dan memiliki cerita menarik lainnya. Dan sekian untuk episode OzAlum podcast kali ini.

Jika kamu suka podcast kami, beri kami penilaian dan ulasan. Jika kamu ingin tetap terhubung dengan jaringan alumni kami dan tetap mengikuti acara alumni kami, silahkan berlangganan update mingguan Alumni Global Australia kami dan bergabung dengan Forum Alumni Australia-Indonesia di LinkedIn. Tautannya ada di deskripsi podcast. 

Sampai jumpa dalam waktu dekat. Saya Lia Marpaung. Selamat merayakan Hari Disabilitas Internasional. Salam inklusi!