OzAlum Podcast

Eps #16: International Women’s Day: Reflection and Milestone on the Path to Gender Equality in Indonesia

March 09, 2023 Australia Global Alumni in Indonesia Season 1 Episode 16
OzAlum Podcast
Eps #16: International Women’s Day: Reflection and Milestone on the Path to Gender Equality in Indonesia
Show Notes Transcript

For over a century, International Women's Day has been celebrated to recognise women's achievements and promote gender equality worldwide. Despite progress, biases and discrimination against women still persist. In Indonesia, women's roles are perpetuated by long-held restrictive gender norms that limit them from taking advantage of their rights and opportunities in education, health, economic sphere, and participation in political and public life. 

In this sixteenth episode, our Guest Host #OzAlum Lia Marpaung, Gender Equality, Disability & Social Inclusion Adviser at Australia Awards in Indonesia, chats with fellow #OzAlum Sri Wiyanti Eddyono, Chair of Taskforce for Preventing and Handling Sexual Violence at Gadjah Mada University, and Ita F Nadia, Head of Ruang Arsip dan Sejarah (RUAS) Perempuan Indonesia. They talk about the progress in addressing gender inequality in our community and university life. And what can we do to embrace equity, promote women's fair treatment, and create a genuinely inclusive world?

Listen to our OzAlum Podcast on Spotify, Apple Podcasts, Google Podcasts, YouTube, and the OzAlum website. Don't forget to leave a rating and review!

A full transcript of this episode is available on the OzAlum Podcast website: https://podcast.ozalum.com/ 

Ita F. Nadia: Jadi pada tahun 1931, beberapa orang perempuan Indonesia berangkat ke Kongres Perempuan Asia di Lahore, Pakistan. Mereka adalah perempuan Asia, merayakan pertama kali tentang International Women's Day.

Sri Wiyanti Eddyono: Istilah gender itu semakin familiar. Isu kekerasan terhadap perempuan semakin mulai banyak dikenal, diketahui, dan itu bisa dilihat dari semakin meningkatnya laporan-laporan kekerasan berbasis gender

Lia Marpaung: Halo dan selamat datang di OzAlum Podcast dimana kami membawakan anda beberapa cerita unik dari pembicara tamu dan alumni kami yang menginspirasi, bersama saya, Lia Marpaung, GEDSI (Gender Equality & Disability) Adviser untuk Australia Award di Indonesia. OzAlum Podcast adalah akses kamu ke jejaring global alumni. Podcast ini dipersembahkan oleh tim Australia Global Alumni di Indonesia. 

Di episode podcast kali ini, kita akan mengangkat topik terkait International Women's Day atau IWD yang setiap tahunnya diperingati pada tanggal 8 Maret. Yang akan kita kupas kali ini adalah mengenai esensi dari IWD dan juga bagaimana konteks budaya di Indonesia terkait peran perempuan dalam mencapai kesetaraan gender guna mencapai pembangunan yang inklusif dan berkesinambungan.

IWD sendiri dimulai pada tahun 1908 ketika 15 ribu perempuan melakukan aksi demo di New York, Amerika Serikat, guna menyuarakan hak mereka tentang peningkatan standar upah dan pemangkasan jam kerja. Di tahun 1910, Clara Zetkin menginisiasi ide penetapan IWD yang sebaiknya dirayakan setiap negara guna menyuarakan pendapat dan hak para perempuan. Rangkaian diskusi dan juga advokasi dilakukan oleh sekelompok organisasi perempuan, hingga akhirnya IWD diresmikan pertama kali secara serempak di beberapa negara. Sekitar tahun 1913 dan 1914 setelah satu proses diskusi yang panjang, akhirnya IWD disepakati untuk diperingati setiap tanggal 8 Maret.

Di Indonesia, saat ini perayaan IWD juga bukanlah hal yang asing. Setiap tahunnya berbagai organisasi perempuan dan masyarakat sipil juga pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Komnas Perempuan juga turut memperingati dengan mengadakan berbagai rangkaian acara baik forum diskusi maupun kegiatan yang bersifat advokasi untuk memperjuangkan kesetaraan kaum perempuan. Dalam konteks sejarah, budaya patriarki yang telah tertanam cukup lama di negeri kita mengakibatkan perempuan harus berjuang untuk kebebasan haknya, baik dalam kehidupan pribadi maupun profesional.

Perjalanan panjang perempuan dan termasuk juga para aktivis perempuan tentu tidak semudah menjentikkan jari. Butuh perjuangan dan usaha yang besar untuk membuahkan sebuah pengharapan besar bagi kaum perempuan, terutama dengan keterkaitannya pada budaya Indonesia.

Oke, pendengar Oz. Sebelum kita ngobrol lebih jauh, saya ingin menyapa kedua tamu kita. Selamat datang Ibu Fatia Nadia atau saya biasa memanggilnya Mbak Ita. Silahkan Mbak Ita untuk bisa memperkenalkan diri secara singkat kepada para pendengar Oz.

Ita F. Nadia: Terima kasih. Nama saya Ita Fatia Nadia. Saat ini saya sebagai Ketua RUAS. RUAS adalah Ruang Arsip dan Sejarah Perempuan Indonesia yang berada di kota Yogyakarta.

Lia Marpaung: Di kota Yogyakarta, ya? Oke, untuk pembicara tamu saya yang kedua, dia adalah salah seorang dari alumni Australia Awards. Saya ingin menyapa Ibu Sri Wiyanti Eddyono, atau saya biasa memanggilnya Mbak Ii. Selamat datang, Mbak Ii.

Sri Wiyanti Eddyono: Halo Mbak Lia, apa kabar? Mbak Ita juga dan rekan-rekan sekalian, nama saya Sri Wiyanti Eddyono. Saya adalah dosen di Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada (UGM). Saya sekarang menjabat sebagai Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum UGM, dan juga Ketua Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di UGM.

Lia Marpaung: Terima kasih sebelumnya untuk kedua pembicara tamu kita yang sudah hadir. Saya ingin bertanya kepada Mbak Ita dan juga kepada mbak Ii. Bisakah secara singkat untuk bisa menceritakan latar belakang organisasi masing-masing? Silahkan Mbak Ita lebih dahulu.

Ita F. Nadia: Baik. Terima kasih Lia. RUAS adalah sebuah pusat arsip dan penelitian tentang sejarah gerakan perempuan yang didirikan oleh sejumlah perempuan yang berlatar belakang studi sejarah. 

Kami merasa perlu untuk menyediakan sebuah pusat arsip dan studi sejarah gerakan perempuan, karena kami melihat di dalam penulisan sejarah Indonesia, gerakan perempuan hampir tidak ada ditulis di dalam sejarah-sejarah yang formal, baik itu dari tingkat sekolah sampai ke Universitas, dan kami ingin menghadirkan sebuah sejarah gerakan perempuan yang adil setara dan bisa menjadi inspirasi bagi mereka yang ingin belajar atau bagi mereka yang ingin mengetahui tentang sejarah gerakan perempuan Indonesia. Itulah RUAS.

Lia Marpaung: Oke, terima kasih Mbak Ita. Pendengar Oz, kalau kamu mengunjungi Yogyakarta, silahkan kontak Mbak Ita untuk janji ketemu dan belajar tentang sejarah gerakan perempuan di Indonesia.

Mbak Ii, bolehkah menjelaskan secara singkat tentang organisasi Mbak Ii, dan juga peran Mbak Ii dalam organisasi tersebut.

Sri Wiyanti Eddyono: Baik, Mbak. Terima kasih. Ketika saya menjabat sebagai pengelola, istilah kita di sini, kami membentuk yang namanya Law, Gender and Society Center. Jadi, pusat kajian untuk mengangkat berbagai isu-isu yang ada terkait dengan hukum dan gender, dan salah satu misi yang paling penting adalah mendorong agar adanya perspektif keadilan gender bahkan di tingkat internal kampus.

Salah satu keberhasilannya adalah kami sudah memiliki Peraturan Rektor nomor 1 tahun 2020 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual dan sudah diperbaharui pula pada tahun 2023 dan dengan demikian telah ada Satgas. Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Universitas Gadjah Mada dan saya adalah ketua Satgasnya. Kemarin kita sudah melakukan pelatihan untuk 3 kelompok responden pertama. Jadi bagaimana kalau ada kasus kekerasan seksual itu, apa yang harus mereka tangani? 

Karena kalau mereka tidak tahu dan kita semua tidak tahu cara menangani kasus, inginnya membantu malah salah arah atau bahkan tidak membantu dan menyalah-nyalahkan korban dan menjadikan kasusnya tidak bisa diproses secara lebih baik. Satgas ini baru berdiri 5 bulan, tapi sudah lumayan banyak kasus yang dilaporkan dan banyak pihak yang membantu kita dan bahkan sekarang sudah ada sistem yang sangat baik dalam proses penanganan kasus.

Lia Marpaung: Oke, Mbak Ita dan Mbak Ii. Tema International Women's Day secara Global tahun ini adalah Embrace Equity. Bagaimana menurut Mbak Ita dan juga Mbak Ii mengartikan tema ini terutama dalam konteks budaya dan situasi di Indonesia.

Ita F. Nadia: Saya agak ragu untuk mengatakan bahwa dalam tema International Women's Day tahun ini, Embrace Equity. Karena untuk kami yang di Indonesia, posisi kami itu tidak begitu baik karena posisi perempuan di Indonesia ini menurut Forum Ekonomi Dunia itu ada di posisi 92 dari 146 negara dan yang paling mengkhawatirkan menurut BPS (Badan Pusat Statistik) angka kematian ibu itu 24 per 1000 orang. Artinya, kita mengalami satu kenaikan di dalam angka kematian ibu di Indonesia. Itu di tahun 2021. 

Kemudian masalah Stunting, kita juga mengalami kenaikan yaitu 21.6%. Stunting itu gizi buruk. Artinya ada problem tentang kesehatan ibu. Kembali kepada identifikasi dari Forum Ekonomi Dunia dan juga dari UNDP (United Nations Development Programme),

ada empat kategori yang menurut mereka bahwa Indonesia masih mengalami proses yang sebetulnya jalan di tempat. Empat itu adalah pemberdayaan perempuan dan pemberdayaan politik, itu mengalami stagnasi bisa dilihat dalam laporan UNDP. Kemudian yang kedua adalah partisipasi perempuan di ranah publik itu juga ada mengalami kemunduran.

Kemudian pendidikan perempuan. Ketika sampai SMA itu cukup tinggi, tetapi ketika masuk ke jenjang akademik ke Universitas menurut UNDP dan BPS itu jalan di tempat. Kemudian kesehatan, kemundurannya luar biasa. Artinya posisi perempuan tidak begitu baik untuk melakukan Embrace Equity. Menurut saya, tidak cukup kita melakukan Embrace Equity untuk International Women's Day saat ini. Kita harus memikirkan kembali posisi gender di Indonesia di dalam posisi yang tidak cukup baik. Ya begitu.

Lia Marpaung: Kalau menurut Mbak Ii sendiri bagaimana tema global IWD tahun ini?

Sri Wiyanti Eddyono: Selalu ada positif dan tantangan kalau saya melihatnya. Jadi kalau positifnya tentu saja orang semakin paham tentang gender walaupun kadang-kadang perspektifnya beda-beda. Itu yang pertama, istilah gender itu semakin familiar. 

Yang kedua sebetulnya adalah isu kekerasan terhadap perempuan semakin mulai banyak dikenal dan diketahui dan itu bisa dilihat dari semakin meningkatnya laporan-laporan kekerasan berbasis gender, baik di wilayah publik dan domestik. Saya kira tidak bisa kita abaikan bahwa memang dari segi kebijakan di Indonesia ini hampir dikatakan lengkap. Kita punya kebijakan kekerasan dalam rumah tangga, kebijakan anti kekerasan seksual, kebijakan anti perdagangan perempuan.

Jadi di satu sisi memang kebijakan di Indonesia makin komplit, tapi di sisi yang lain, penegakan hukum masih menjadi problem yang terus-menerus. Kemudian ketidakadilan gender itu masih terus terjadi dan Indonesia ada di posisi 4 paling bawah kesetaraan gendernya di negara Asia.

Lia Marpaung: Mbak Ita, bisakah Mbak berbagi cerita singkat mengenai sejarah International Women's Day, terutama perkembangannya di Indonesia. Kami juga tahu bahwa gerakan perempuan di Indonesia itu berbeda. Apa yang berbeda, apa yang unik? Juga mungkin, apa yang menjadi tantangan bagi kemajuan gender di Indonesia ini?

Ita F. Nadia: Terima kasih, Lia. Jadi saya ingin menggarisbawahi beberapa hal dari International Women's Day berdasarkan dari sejarah. Ini berdasarkan studi saya.

Jadi pada tahun 1931 ada beberapa orang perempuan Indonesia berangkat ke Kongres Perempuan Asia di Lahore, Pakistan. Mereka adalah perempuan Asia merayakan pertama kali International Women's Day setelah berparade di New York. 

Hal kedua yang penting menjadi tonggak dari International Women's Day untuk gerakan perempuan Indonesia adalah pada tahun 1947, Indonesia mengirim empat perempuan untuk menghadiri Konferensi Wanita Internasional di New Delhi pada tanggal 9 Desember. Kemudian pada tahun 1949 ada konferensi besar, yaitu konferensi di kota Beijing, RRC, yang dihadiri oleh ribuan perempuan tidak hanya dari Asia, tetapi juga dari Amerika Serikat, Afrika, Indonesia juga hadir di sana. Itu tonggak-tonggak bagaimana perempuan Indonesia memperingati International Women's Day. 

Di dalam Indonesia sendiri ada peringatan International Women's Day yang cukup besar. Itu di tanggal 8 Maret 1960 di Jakarta yang diselenggarakan oleh Kowani (Kongres Wanita Indonesia). Kowani ketika itu adalah payung organisasi perempuan di Indonesia yang independen, mandiri, dan dihadiri oleh ribuan perempuan. Perayaan International Women's Day dari tahun 1965 sampai tahun 1990-an itu hampir tidak ada. Tidak pernah dirayakan.

Perayaan International Women's Day mulai dilakukan kembali oleh gerakan perempuan, oleh masyarakat, juga oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan itu setelah reformasi. Komnas Perempuan adalah satu pencapaian bersejarah dari gerakan perempuan Indonesia ketika reformasi, yaitu satu institusi hasil dari perjuangan gerakan perempuan yang bergerak untuk hak-hak perempuan, khususnya tentang penghapusan segala bentuk kekerasan dan Komnas Perempuan berdiri bulan Oktober tahun 1998.

Jadi setelah reformasi, Presiden Gus Dur menjadi presiden dan Ibu Sinta Nuriyah sebagai ibu negara, beliau membuat satu perayaan International Women's Day di Istana Negara. Itu tonggak bagaimana perjalanan sejarah perayaan International Women's Day dan itu bergulir terus sampai sekarang dan mulailah kemudian teman-teman dari gerakan perempuan menjadi bagian dari gerakan di asia maupun di internasional.

Lia Marpaung: Terima kasih, Mbak Ita. Mbak Ii, saya ingin tanya sama Mbak. Tadi Mbak Ii sempat menyebut tentang instrumen kebijakan kita sudah lengkap, tapi penegakan hukum. Apakah menurut Mbak Ii, ini juga salah satu tantangan yang signifikan?

Sri Wiyanti Eddyono: Benar. Saya kira ini tantangan yang sangat serius. Tapi mungkin sebelum saya menjawab itu, Mbak Lia, saya ingin menambahkan juga. Jadi gerakan perempuan sebetulnya menggunakan momentum-momentum keterbukaan. Terutama di awal tahun 2000-an, di situ gerakan perempuan untuk kebijakan kesetaraan gender. Jadi kebijakan-kebijakan hukum yang berkeadilan itu sangat kuat.

Saya mengidentifikasi setidaknya lebih dari lima kebijakan yang sangat baik yang dihasilkan. Yang kedua, sebetulnya Indonesia menyumbang kontribusi dalam pemikiran tentang gender dan Islam. Adanya Kongres Ulama Perempuan Indonesia yang pertama pada tahun 2019 dan yang kedua kemarin di Rembang, sebetulnya sangat baik. Bahkan ada yang menyatakan feminisme Islam di dalam gerakan perempuan itu sangat kuat. Ini sebetulnya menarik karena kalau di berbagai negara, feminisme itu seperti jauh dari agama. Tapi di Indonesia, salah satu keunikannya adalah gerakan perempuan itu tidak anti agama, tidak anti laki-laki. Jadi kita berinteraksi dengan berbagai faktor, berbagai pihak, dan itu juga muncul dari gerakan sipil dan gerakan pemerintah.

Yang satu lagi adalah gerakan advokasi anti kekerasan seksual. Salah satu agenda reformasi yang sangat penting adalah untuk mendorong adanya perlindungan perempuan korban kekerasan seksual. Di mana-mana. Di tempat kerja, di publik, di domestik, dan bahkan di kampus dan di tempat-tempat pendidikan lainnya. Saya kira gerakan ini masih menguat terlepas dari adanya ketimpangan gender yang sangat tinggi, tapi bahwa gerakan perempuan di Indonesia ada sisi yang menurut saya harus kita perhatikan situasi kesetaraan gender yang masih terus menjadi isu persisten.

Jadi memang tantangan penegakan hukum pun kemudian mengikuti secara kebijakannya kuat, gerakannya juga mendorong kebijakan itu sangat kuat, dan mulai ada kesadaran-kesadaran baru untuk korban untuk melaporkan di mana-mana. Tapi ada kegamangan di aparat penegak hukum. Walaupun sudah ada aturannya, belum tentu dilaksanakan. ini kenapa ya? itu tadi bahwa sistem patriarki yang sangat kuat itu menjadi salah satu cara pandang atau dasar yang ada di dalam aparat penegak hukum, sehingga kadang-kadang menggunakan hukum itu bukan untuk melindungi ini tapi menggunakan hukum untuk kepentingan yang lain.

Kalau kita menggunakan pendekatan hukum berperspektif gender dalam menganalisis problem dari hukum ini, kan satu sisi ada substansi hukumnya. Tapi kalau substansi hukumnya sudah baik maka kemudian di mana lagi struktur hukumnya? Struktur hukum ini adalah aparat penegak hukum, pemerintah, yang melaksanakan hukum itu, baru yang ketiga adalah kultur hukumnya. Menurut saya baik struktur hukum ini sangat berat sekali tantangannya. Ini juga menjadi hambatan. Bagaimana cara pandang kalau ada anak yang mengalami kekerasan seksual apalagi di sekolah atau di kampus. 

Kadang-kadang orang tuanya bukan kemudian, "Ayo kita tangani dan kita lapor". Mereka malah bilang, "Udah, jangan diungkit-ungkit", "Udahlah, kamu nggak usah sekolah di sana aja. Dipindahkan". Orang tua kan bagian dari representasi masyarakat yang kadang-kadang menyalahkan korban. Mereka merasa bahwa hal-hal tersebut sesuatu yang tidak perlu diungkap dan ini karena adanya budaya patriarki yang masih kuat dan masih bersandar, dan kadang-kadang budaya patriarki ini masih direproduksi. Direproduksi melalui media sosial.

Ini tantangan kita dan saya kira budaya media yang sangat maskulin ini dan sangat mengobjektifikasi perempuan sebetulnya menjadi tantangan yang luar biasa, karena kita tidak bisa bergerak dari media sosial. 

Lia Marpaung: Saya teringat tadi di awal, Mbak Ii ketika memperkenalkan diri di UGM ada Fakultas Hukum tapi juga berbicara tentang Law, Gender and Society. Saya ingin bertanya kepada Mbak Ii, ini terkait konteks pendidikan tinggi atau universitas. 

Menurut Mbak Ii, bagaimana pentingnya memastikan mempromosikan kesetaraan gender dan memastikan perlindungan perempuan dari kekerasan terutama dalam konteks universitas. Kita lagi-lagi baca di media, sekarang tinggi angka kekerasan yang terjadi terhadap mahasiswa perempuan di universitas.

Sri Wiyanti Eddyono: Saya setuju betul bahwa kita harus memberikan perhatian pada dunia pendidikan, termasuk dunia kampus. Karena dunia pendidikan itu bidang yang sangat penting kalau kita mau menghilangkan disparitas gender dan mendorong keadilan gender, karena harapan kita kampus jadi tempat orang-orang pintar yang kemudian bisa berkontribusi kepada negara di masa mendatang. Sudah banyak penelitian-penelitian yang menunjukkan sungguh bahwa dampak dari adanya kekerasan seksual kepada mahasiswi. Itu berpengaruh dalam mereka bisa menyelesaikan kuliahnya. 

Yang menjadi penting lagi bahwa dunia kampus itu adalah cerminan dari dunia masyarakat. Jadi kalau di kampus ada kasus kekerasan seksual dan mereka, orang-orang pintar ini, tidak bisa menyelesaikannya secara baik maka apa jadinya pendidikan tinggi kita di masa mendatang.

Cuma menarik dari pengalaman saya menangani kasus kekerasan seksual di kampus, jadi sebetulnya kampus itu dan anggota-anggota masyarakatnya mereproduksi nilai-nilai patriarki yang ada di dalam masyarakat. Itu tergambar dari kasus-kasus kekerasannya. Yang paling banyak adalah kekerasan dalam masa pacaran antara sesama mahasiswa dan mahasiswi. Jadi mereka sudah mereproduksi nilai-nilai yang tidak setara sejak dari pacaran. Pacaran-pacaran yang tidak sehat dan yang penuh dengan kekerasan itu terjadi dan kadang-kadang ancaman-ancaman untuk pasangannya mengikuti apa yang dia mau. 

Yang kedua, memang tidak hanya kekerasan dalam masa pacaran, tapi kekerasan karena yang satu punya posisi yang lebih tinggi, dalam konteks kapasitas kuasa, kapasitas dosen, pembimbing. Itu masih terjadi dan biasanya memang tidak mudah untuk mengungkap kasusnya dan menyelesaikan kasusnya, ketimbang kasus kekerasan seksual dari mahasiswa kepada mahasiswa.

Lia Marpaung: Mbak Ii, terima kasih untuk sharing pengalamannya. 

Mbak Ita, kita kan selama ini sering mendengar mengarusutamakan peran gender atau peran perempuan. Kira-kira menurut Mbak Ita, apa sih strategi ke depan supaya masyarakat juga bisa semakin sadar dengan hak-hak perempuan, menyuburkan budaya yang positif, Embrace Equity itu, Mbak?

Ita F. Nadia: Menurut saya, kebijakan pemerintah itu penting untuk sebagai daya dorong di dalam implementasi mengarusutamakan peran gender mulai dari budgeting. Itu saya kira penting.

Ketika saya masih bekerja di UN Women, waktu itu kami bekerja bersama dengan Bappenas, gender budgeting itu turun ke seluruh Kementerian sampai pada pemerintah daerah. Jadi kalau tanpa ada komponen gender, seluruh pembiayaan penganggaran di Kementerian itu tidak akan disetujui. Tetapi itu hanya berjalan sekitar lima tahun.

Yang kedua, yang kita sebetulnya desakkan untuk mendorong Inpres yang dikeluarkan pada saat pemerintahan Gus Dur, Inpres nomor 9 tahun 2000, agar menjadi undang-undang. Undang-undang kesetaraan gender. 

Dua hal, undang-undang kesetaraan gender dan penganggaran gender. Sebetulnya dua motor ini diharapkan bisa mengubah kebijakan di bidang pendidikan, kesehatan, itu akan bisa turun semua, tapi meskipun demikian, saya katakan di setiap wilayah sebetulnya punya kebijakan-kebijakan yang sangat bagus tergantung dari kepala daerahnya. Tapi itu tidak semua ya, ada satu contoh teman di Sulawesi Selatan yang cukup berhasil, ada lagi di Bali, di Jembrana, di Lombok itu juga ada.

Lia Marpaung: Baik terima kasih, Mbak Ita. Mbak Ii, saya ingin dengar dari Mbak Ii selaku alumni dari Australia Awards. Mbak mengambil PhD ketika itu di Melbourne kalau tidak salah di Monash University. Kira-kira apa sih praktek baik dari Australia terkait kesetaraan gender? Adakah yang bisa kita terapkan di Indonesia? 

Kemudian adakah pesan yang Mbak Ii ingin sampaikan terutama untuk teman-teman alumni Australia Awards dan Pendengar Oz dari podcast kita ini, untuk kita bisa sama-sama bekerja untuk meningkatkan kesadaran terhadap kesetaraan gender dan juga inklusivitas di Indonesia?

Sri Wiyanti Eddyono: Saya kira memang kita harus akui bahwa selalu ada plus dan minusnya di setiap negara terkait dengan kesetaraan gender. 

Jadi kalau di Australia itu, terutama di Victoria ya di mana saya berada, mungkin yang sangat menonjol adalah interkoneksi isu gender dengan isu disabilitas. Saya kira itu penting sekali dan saya melihat bahwa memang pembagian peran gender itu tidak secara kaku dipegang, tapi sudah dipraktekkan dimana kerja yang selama ini dianggap sebagai kerja perempuan, yaitu kerja pemeliharaan, itu tidak hanya oleh perempuan.

Jadi ada semacam pengakuan atau rekognisi terkait dengan kerja pemeliharaan, dan ini kemudian tercermin dari adanya bantuan untuk anak, adanya tempat penitipan anak yang bisa diakses. Kemudian kerja pemeliharaan yang semakin dilindungi dan diakui. Itu menarik sekali menurut saya dan saya banyak belajar bahwa seharusnya kita di Indonesia sudah mulai mengakui dan memberikan perhatian kepada isu pemeliharaan ini.

Yang kedua, soal respon terhadap kebijakannya diformulasi, seperti misalnya kekerasan dalam rumah tangga malah Indonesia sudah duluan. Waktu saya di sana, Victoria baru mulai memikirkan adanya undang-undang PKDRT. Respon aparat penegak hukum mungkin menjadi lebih baik, tapi yang menjadi penting adalah masyarakatnya terhadap media. Jurnalis media. 

Betapa santunnya para jurnalis-jurnalisnya. Itu budaya yang lebih memberikan perhatian kepada korban, merasakan apa yang dianggap korban itu penting, tidak mengeksploitasi penderitaan korban untuk kepentingan jurnalisme. Itu penting sekali dan saya belajar banyak dan mendapatkan contoh bahwa ada perilaku-perilaku yang lebih terhadap korban, terhadap perempuan, dan juga memang soal ijin.

Kesadaran tentang ijin itu penting sekali, termasuk isu soal kesadaran seksualitas dan kesehatan reproduksi sejak dini. Ini harusnya menjadi PR besar terutama dengan adanya undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual karena ternyata kan kita tahu bahwa korban terbesar kekerasan seksual adalah anak laki-laki dan anak perempuan.

Itu sih, Mbak. Jadi saya pikir saya belajar bahwa ada pemimpin perempuan yang harus didukung dan dipromosikan. Saya sendiri waktu di sana mendapatkan Australia Leadership Awards. Saya belajar sungguh tentang yang dimaksud dengan kepemimpinan itu seperti apa dan bagaimana kita menciptakan pemimpin dan kita sendiri menjadi percaya diri untuk memimpin. Saya pikir kepercayaan diri seperti itu harus ada untuk semua orang.

Jadi perempuan bisa menjadi pemimpin, dan saat memimpin itu, anda memegang peran kunci untuk mengubah sesuatu.

Lia Marpaung: Luar biasa pengalaman Mbak Ii. Terima kasih Mbak, untuk berbagi kepada teman-teman alumni, juga untuk penerima Beasiswa Australia Awards yang masih bersekolah dan mendengarkan podcast kita. 

Terima kasih banyak Mbak Ita dan Mbak Ii untuk berbagi cerita, berbagi pengalaman kepada kami. 

Tadi ada beberapa hal yang menarik dan juga penting. Ternyata gerakan perempuan Indonesia itu sudah dimulai ketika kita mengirim beberapa perempuan atau menghadiri delegasi perempuan internasional yang diadakan di Lahore. Tadi Mbak Ii juga berbagi cerita dalam hal anti kekerasan seksual dan perlindungan terhadap korban. Ternyata Indonesia juga menjadi laboratorium untuk mempelajari isu-isu ini. 

Mbak Ita dan Mbak Ii, sekali lagi terima kasih untuk waktu yang diberikan. Terima kasih kepada para pembicara tamu untuk bergabung di podcast kami dan teman-teman yang mendengarkan. 

Di episode selanjutnya tentu akan ada wawancara eksklusif dengan tamu kita yang lain. Maka, teman-teman, terus dengerin OzAlum Podcast, di mana kami akan mengobrol tentang pengalaman alumni Australia yang menginspirasi dan memiliki cerita menarik lainnya. Dan sekian untuk episode OzAlum podcast kali ini. Jika kamu suka podcast kami, beri kami penilaian dan ulasan. 

Kepada para pendengar, saya memiliki informasi penting untuk kamu. Tahun ini menandai tujuh puluh tahun sejak angkatan pertama penerima Colombo Plan dari Indonesia tiba di Australia. Saat ini, Australia memiliki lebih dari dua ratus ribu alumni di Indonesia. Mereka termasuk para pemimpin di pemerintahan, sektor swasta dan bisnis, universitas, dan organisasi masyarakat sipil.

Selama 70 Tahun, program beasiswa memposisikan Australia sebagai mitra penting dalam membangun kapasitas sumber daya manusia Indonesia untuk merespon prioritas pembangunan sosial dan ekonomi, termasuk di era pasca-COVID-19. Untuk merayakan tonggak sejarah ini, Kedutaan Besar Australia di Jakarta memimpin kampanye selama setahun untuk merayakan pencapaian alumni yang ada dan mempromosikan program alumni global Australia kepada generasi baru kaum akademik di seluruh Indonesia.

Silakan kunjungi situs web Australia Awards in Indonesia kami di www.australiaawardsindonesia.org dan update alumni mingguan kami untuk informasi lebih lanjut tentang kegiatan kami merayakan peringatan ke-70.

Jika kamu ingin tetap terhubung dengan jaringan alumni kami dan tetap mengikuti acara alumni kami, silahkan berlangganan update mingguan Alumni Global Australia kami dan bergabung dengan Forum Alumni Australia-Indonesia di LinkedIn. Tautannya ada di deskripsi podcast. 

Sampai jumpa dalam waktu dekat. Saya Lia Marpaung.

Ita F. Nadia: Saya Ita Fatia Nadia.

Sri Wiyanti Eddyono: Saya Sri Wiyanti Eddyono.

Selamat merayakan Hari Perempuan Internasional.