OzAlum Podcast

Eps #1: Enjoying the Ride of a PhD Journey

March 26, 2021 Australia Global Alumni in Indonesia Season 1 Episode 1
OzAlum Podcast
Eps #1: Enjoying the Ride of a PhD Journey
Show Notes Transcript

In this episode of #OzAlum Pilot Podcast, we shine the spotlight on Dr Adrianus Hendrawan, a PhD graduate in Economics from the Australian National University, Canberra. Our guest host alumna, Desy Bachir, asks Adrianus about some key factors that he thinks play a crucial role in shaping him as a PhD graduate, an expert in Public Finance Management, and even a line umpire for one of the most prestigious grand slam events in Australia.

Give it a listen to the first episode of our Podcast and leave a rating and review.

If you want to stay connected with our alumni networks and stay up to date with our alumni events, you can subscribe to our Australia Global Alumni weekly updates here https://oz.link/update and join our Australia-Indonesia Alumni Forum on LinkedIn https://www.linkedin.com/groups/8490219/

A full transcript of this episode is available on the OzAlum Podcast website: https://podcast.ozalum.com/

Adrianus Hendrawan: Istri saya penggemar beratnya Rafael Nadal. Jadi kebetulan penugasan pertama saya di Rod Laver Arena itu untuk pertandingan Rafael Nadal. Jadi saya melakukannya untuk istri saya waktu itu. 

Desy Bachir: Halo dan selamat datang di podcast. Kami membawakan anda beberapa cerita unik dari alumni kami yang menginspirasi, bersama saya Desy Bachir. OzAlum Podcast adalah akses kamu ke jejaring global alumi dan podcast ini dipersembahkan oleh tim Australia Global Alumni di Indonesia.

Dalam episode pertama podcast pilot kami, saya akan bertemu dengan alumni Australia yang luar biasa untuk mendengar apa yang dia lakukan setiap hari untuk pencapaian berikutnya dan belajar tentang perjalanannya sebelum dan setelah kembali dari studinya di Australia.

Sebelum ketemu dengan tamu kita kali ini, mungkin teman-teman alumni atau pelajar dari Indonesia yang masih berada di Australia pernah dengar atau bahkan menyaksikan langsung turnamen tenis grand slam bergengsi di dunia?

Bulan lalu, tepatnya tanggal 8 sampai 21 Februari, pertandingan yang digelar di Melbourne Park ini mendapat sorotan spesial dari berbagai kalangan, baik media maupun penggemar tenis di dunia. Seperti apa serunya pertandingan Australian Open tahun ini? Dan apa hubungannya dengan podcast kita kali ini? Karena hari ini kita akan mendengarkan cerita dari salah satu alumni kita,

Dr Adrianus Hendrawan, lulusan S3 dari ANU jurusan Ilmu Ekonomi, yang sejak tahun 2019 ikut dalam pertandingan Australian Open sebagai salah satu petugas tenis Australia. Halo pak Adrianus

Adrianus Hendrawan: Halo bu Desy, selamat malam.

Desy Bachir: Malam. Pak, bapak ini aku dengar sudah sering dipanggil jadi line umpire. Line umpire bahasa kalau bahasa Indonesianya apa pak? hakim garis atau wasit garis?

Adrianus Hendrawan: Hakim garis.

Desy Bachir: Hakim garis, okey. Sudah berapa kali dipanggil jadi hakim garis. Bukan hakim garis pertandingan tenis RT tapi pertandingan Australian Open. Iya pak?

Adrianus Hendrawan: Iya, begitulah kira-kira

Desy Bachir: Bapak ini satu-satunya katanya warga negara Indonesia yang pernah jadi hakim garis di Australian Open?

Adrianus Hendrawan: Setahu saya dulu waktu tahun 90-an sudah pernah ada satu orang Indonesia. Tapi mungkin sejak 20 tahun terakhir, katanya baru saya. Tapi saya sendiri tidak ada rekaman yang jelas. Itu dari omongan teman-teman disini juga. Kebetulan saya berhubungan dengan sesama wasit Indonesia juga dan itu yang mereka yang katakan kepada saya.

Desy Bachir: Wow luar biasa sekali. Jadi bukan hanya doktor tapi juga mungkin hakim garis pertama dalam 20 tahun terakhir yang dari indonesia. Boleh kalau aku klaimnya seperti itu pak?

Adrianus Hendrawan: Ya, okay. Mungkin nanti kalau ada yang menyangkal tidak apa-apa. Nanti kita koreksi.

Desy Bachir: Begitu pak, yang penting ada semua ada sangkalannya. Bapak juga kemarin sampai diundang juga ke Dubai untuk jadi salah satu tim resmi di babak kualifikasi Australia Open 2021. Bagaimana pak awal mulanya? Ke Australia, mau kuliah mengambil doktor, terus tiba-tiba menjadi hakim garis Australian Open? Bagaimana nih ceritanya? Mungkin teman-teman semua penasaran.

Adrianus Hendrawan: Ini sebetulnya tidak pernah direncanakan juga. Jadi berawal itu waktu kebetulan anak saya main tenis. Latihan tenis di Canberra. Waktu latihan karena disana tidak ada pemungut bola, saya yang memunguti bola waktu anak saya latihan. Terus pelatihnya saya bilang ke saya, itu di Canberra lagi butuh line empire. Coba kamu ikut saja kursusnya. Siapa tahu berbakat. Dari situ saya lihat jadwalnya dan kebetulan tempat kursusnya dekat dengan tempat tinggal saya, saya daftar kursus.

Kursusnya dua hari, seperti ruang kelas gitu, dites di pertandingan lokal. Itu di tahun 2015. Jadi tahun pertama saya di Australia. Kemudian tahun 2016 saya dibilang bahwa saya lulus dari masa percobaan dan disuruh tugas langsung di turnamen internasional kecil di Canberra waktu itu. Dari situ sampai 2017, kalau ada turnamen di Canberra, saya dipanggil untuk tugas.

Terus di 2018 itu, tiba-tiba dikontak kalau saya sudah memenuhi syarat untuk ikut Australia Open. Ya agak kaget juga. Loh. Apa ini? Saya tidak berharap untuk ini. Saya melakukannya untuk bersenang-senang, sebagai kegiatan akhir pekan kadang-kadang dan tiba-tiba saya mendapatkan kesempatan ini dan bulan september 2018 saya mendapatkan email bahwa saya terpilih untuk menjadi hakim garis di Australian Open 2019. Itu berawalnya dari situ. Tapi tidak pernah direncanakan.

Desy Bachir: Tidak pernah direncanakan, tapi bapak sendiri sebenarnya main tenis tidak? Apa hanya mengantar anak saja waktu itu?

Adrianus Hendrawan: Saya sebatas penonton. Paling tenis rekreasi, bahkan ikut klub tenis pun tidak. Jadi, mungkin, bisa dikatakan bukan pemain tenis.

Desy Bachir: Tapi penggemar olahraga tenis? Pemain-pemainnya?

Adrianus Hendrawan: Iya dan kebetulan dari kecil saya memang sering nonton tenis. Jaman TVRI dulu kan kadang-kadang disiarkan. Jadi ketahuan saya umurnya berapa karena masih sempat nonton TVRI.

Desy Bachir: Pak, ini mungkin yang denger tidak tahu kalo dulu bisa nonton tenis di TVRI. Jadi dari dulu sudah suka tenis, sudah suka nonton. Berarti juga karena penggemar. Pasti juga gemar dengan pemain-pemainnya? Dan pemain-pemain itu semuanya main Grand Slam, jadi perasaannya gimana pak waktu pertama kali terpilih untuk jadi hakim garis di Australian Open?

Adrianus Hendrawan: Saya tidak memiliki ekspektasi, waktu pertama kali. Saya hanya ingin menikmati kesempatan itu. Jadi di 2019, Australian Open pertama saya, saya sekadar ingin menikmati suasana Grand Slam, itu aja. Bagaimana suatu event olahraga internasional dikelola, siapa tau ketemu pemain-pemain hebat.

Dimanapun saya ditugaskan, saya siap. Karena itu ada sekitar 15 lapangan, dan yang disiarkan di penyiaran internasional itu hanya 2 atau 3 lapangan. Jadi saya tidak menyangka berada di stadion besar di tahun pertama saya. Tapi, di tahun 2020 kemarin, kebetulan saya langsung dapat penugasan di dua stadium itu. Rod Laver Arena dan Margaret Court Arena.

Desy Bachir: Begitu. Jadi kalau misalnya saya nonton, saya kebetulan bukan penikmat tapi kadang-kadang nonton, berarti mungkin jangan-jangan bapak itu ada disitu ya pada saat nonton.

Adrianus Hendrawan: Iya, sepertinya begitu, soalnya habis saya tugas, tiba-tiba saya di WhatsApp, ada yang foto di TV gitu. Teman saya dan satu-dua anggota keluarga yang suka tenis.

Desy Bachir: Jadi keliahatan ya pak.

Adrianus Hendrawan Iya. Sedikit-sedikit.

Desy Bachir: Sedikit-sedikit. Lumayan pak muncul di TV beberapa puluh negara kalau sudah pertandingan Grand Slam ya pak.

Adrianus Hendrawan: Iya, kebetulan itu. Jadi pengalaman yang tak terlupakan. Anggaplah begitu.

Desy Bachir: Iya. Pastinya. Jadi berarti sudah berapa tahun pak jadi hakim garis untuk Australian Open?

Adrianus Hendrawan: Tadi 2019 yang pertama. Kemudian tahun 2020. Yang kemarin 2021 sebatas kualifikasi untuk petenis-petenis perempuan di Dubai.

Desy Bachir: Itu sudah di Indonesia pak waktu dipanggil ke Dubai? 

Adrianus Hendrawan: Iya, sudah di Indonesia. Yang 2020 juga saya dari Indonesia.

Desy Bachir: Bagaimana pak caranya? Sudah kembali ke tanah air, tapi masih ditawarkan lagi kesana. Apakah bapak memang selalu tetap berhubungan sama yang di Australia atau gimana pak?

Adrianus Hendrawan: Ini salah satu hebatnya sistem di Australia ya. Semua itu terstruktur, sistematis, dan profesional. Jadi waktu saya kembali ke Indonesia, saya kabari bahwa saya kembali. Jadi mungkin tidak bisa kontribusi lagi sebagai hakim garis di Australia. Tapi mereka meraka kabari, kamu dapat mempertahankan keanggotaanmu, dia bilang gitu. Karena semuanya dikelola lewat website, saya masih bisa tetap berhubungan.

Desy Bachir: Jadi makanya kemudian dipanggil lagi pak?

Adrianus Hendrawan: Ya. Khusus yang 2021 ini memang kasus khusus. Karena pertama kali ada event Australian Open diadakan di luar Australia. Ini hanya karena pandemi Corona, semuanya banyak yang luar biasa.

Desy Bachir: Iya, benar sekali ya, banyak sekali yang luar biasa. Tapi bicara soal luar biasa, apa pengalaman paling luar biasa yang bapak dapatkan selama menjadi hakim garis di Australia Open?

Adrianus Hendrawan: Saya kebetulan memang idola saya itu Roger Federer. Jadi waktu mendapatkan penugasan pertandingan dia itu sudah semacam terkagum. Itu benar-benar terkagum dan berusaha bersikap biasa saja disitu dan istri saya penggemar Rafael Nadal. Jadi kebetulan penugasan pertama saya di Rod Laver arena itu untuk pertandingan Rafael Nadal. Jadi saya melakukannya untuk istri saya.

Desy Bachir: Jadi lengkap dong pak, Rafael Nadal sudah, Roger Federer juga.

Adrianus Hendrawan: Iya, kebetulan yang di 2020 kemarin, hampir semua pemain papan atas sudah.

Desy Bachir: Jadi udah biasa aja pak?

Adrianus Hendrawan: Dan mungkin satu lagi yang cukup mengagumkan itu Serena Williams. Sepertinya kalau kita nonton itu seram. Sangat intens. Tetapi waktu di lapangan, dia baik, sangat terbuka, tidak begitu menyeramkan.

Desy Bachir: Jadi yang di TV itu drama-drama saja ya pak. Itu sensasi jangan-jangan?

Adrianus Hendrawan: Mungkin. Itulah media. Desy lebih tahu dari saya bagaimana mengambil sudut dan sebagainya supaya lebih dekat dengan penonton.

Desy Bachir: Iya. Memang penonton itu senangnya drama pak. Jadi makanya kadang-kadang suka dikasih drama juga sama media, sebenarnya gitu. Tadi sudah pernah sama idola, tapi beberapa pemain tenis itu, di media atau aslinya, paling tidak yang saya tangkap digambarkan di media lumayan keras kadang-kadang suka berantem sama hakim garis, tidak terima keputusan, atau yang seperti itu. Pernah tidak bapak mengalami masalah seperti itu? Jadi tidak setuju, banting-banting atau apa?

Adrianus Hendrawan: Ya pasti pernah, pasti yang tidak setuju. Tapi ya karena memang sudah dilatih bagaimana kita harus bersikap ketika menghadapi pemain yang tidak puas, kita ikuti saja pedomannya dan kode etik sudah kita jalankan. Tidak apa-apa.

Desy Bachir: Separah apa pak kalau pemain tenis tidak terima keputusan hakim garis?

Adrianus Hendrawan: Kadang ada yang tidak senonoh semacam kata-kata umpatan. Terus penyalahgunaan raket. Jadi raket dibanting-banting. Tapi kalau saya hanya hakim garis, jadi yang nanti menangani wasitnya. Jadi keputusan dia yang pegang. Begitu saja.

Desy Bachir: Oh gitu. Jadi hakim garis menginformasikan, wasit yang memutuskan. Begitu? 

Adrianus Hendrawan: Iya

Desy Bachir: Tapi banyak senangnya pasti ya pak, ketemu pemain idola, ada drama-drama sedikit mungkin, yang seperti tadi. Tapi yang diluar itu apa sih pelajaran paling berharga yang didapatkan dari pengalaman menjadi hakim garis?

Adrianus Hendrawan: Sebetulnya banyak sekali pengalaman yang berharga, pengalaman yang luar biasa, suka dan duka, tapi mungkin dua hal yang paling membekas itu yang pertama yaitu kesempatan. Kesempatan yang diberikan di Australia itu tidak pandang bulu. Jadi siapapun mendapatkan kesempatan yang sama.

Jadi, jika kamu melakukannya dengan baik dan melakukan yang terbaik, kamu akan mendapatkan kesempatan untuk ditugaskan dalam pertandingan yang bagus. Itu saja. Semua pertandingan bagus tapi ada beberapa yang lebih tegang. Lebih tegang, pasti nervous.

Dan yang kedua, awalnya saya pikir, sebagai hakim garis ini pekerjaan hobi saja. Pasti santai-santai. Tapi ternyata memang Australia sangat terstruktur, sistematis dan profesional, jadi saya setiap di turnamen itu ternyata dinilai. Dinilai oleh tim dari tenis Australia dan mereka sangat jujur, apapun kesalahan, apapun yang bagus, itu disampaikan ke saya. Itu mungkin sebagai orang Indonesia tidak terbiasa menghadapi kejujuran seperti itu.

Tapi itu pada akhirnya kalau kita mau membuka pikiran, itu akan sangat membantu. Itu hal kedua yang sangat membekas buat saya. 

Desy Bachir: Jadi dengan kesempatan yang sama datang juga masukan yang jujur, makanya saya pikir mereka sangat setara juga karena mereka selalu memberi masukan yang jujur. Pada akhirnya itu menyambung ke satu sama lain jadinya?

Adrianus Hendrawan: ya mungkin. Saling nyambung ya.

Desy Bachir: Menarik sekali. Tadi mendengarkan cerita pak Adrianus menjadi hakim garis di salah satu turnamen paling bergengsi di dunia. Berarti bapak sambil jadi hakim garis yang ternyata juga sangat serius. Bukan main-main karena benar-benar harus ada prestasinya tadi dinilai terus. Kemudian masih berstatus menjadi mahasiswa PhD. Kemudian disaat yang sama juga masih aktif organisasi bukan cuma satu tapi dua ada Asian Studies Association Australia dan European Association for Southeast Asian Studies. Sudah begitu saya dengar bapak anak keduanya lahir di Australia, benar ya? Adrianus Hendrawan: Iya. Itu salah satu acara terbesar ya. 

Desy Bachir: Acara terbesar, Grand Slam juga kalah ya pak sama kelahiran anak. Jadi tadi ada hakim garis kemudian PhD, organisasi, punya bayi disana, itu banyak sekali sebenarnya. Semua terjadi pada saat yang sama. Mungkin buat teman-teman yang masih belajar di Australia ataupun yang telah kembali ke tanah air, apa tipsnya sehingga semua itu bisa berjalan dengan baik sehingga menikmati masa-masa di Australia baik belajar maupun melakukan hal lain tadi itu?

Adrianus Hendrawan: Ini situasi yang sangat rumit. Pertanyaannya jangan susah-susah. Bagimana ini?

Desy Bachir: Sengaja bertanya yang susah pak, supaya dapat jawabannya.

Adrianus Hendrawan: Oke. Coba diurai ya. Pertama memang harus menikmati dulu dengan kehidupan pelajarnya.Itu yang pertama. Karena kita disana sebagai pelajar dan kebetulan saya mengambil S3 dan yang penting kalau S3 harus sangat menikmati dengan topik penelitiannya. Kebetulan untuk hal itu saya menikmati disitu jadi saya tidak menganggap akademik itu sebagai satu beban. Memang berat di masa-masa tertentu, harus tetap melakukan penelitian dan sebagainya. Harus menulis. Itu tidak mudah memang tapi kalau menikmati, aman.

Yang kedua juga itu ada keluarga, ada yang mendukung, itu juga membantu disitu dan tentang organisasi, karena kita sebagai mahasiswa S3, wajarnya memang mengikuti komunitas-komunitas asosiasi pelajar untuk studi-studi yang spesifik. Kebetulan memang studi saya tentang Indonesia jadi tergabung di Asian Studies dan di South East Asian Studies.

Yang penting selesaikan dulu kewajiban-kewajiban pelajar itu sambil menikmati hidup karena kita di Australia kalau bisa jangan hanya terlalu fokus ke belajar tapi juga harus bisa berkontribusi ke komunitas.

Desy Bachir: Iya menarik menurut aku. Jadi jangan hanya belajar saja tapi juga berkontribusi ke komunitas.

Adrianus Hendrawan: Tadi itu menurut saya mungkin sesuatu yang jangan sampai dilupakan karena saat kita disana, kita juga anggota komunitas Australia tadi.

Desy Bachir: Mau tidak mau ya pak. Tadi bapak ikut organisasi ya. Mungkin teman-teman juga berfikir belajar saja sudah repot kenapa saya ikut organisasi-organisasi segala. Menurut bapak, kalau bisa bilang coba paling tidak, kenapa penting ikut organisasi pelajar disana?

Adrianus Hendrawan: Karena kalau mau dapat kesempatan untuk berinteraksi dengan mahasiswa di Australia dan juga dari bagian dunia lain hanya itu kesempatannya dan dari situ juga kita banyak dapat masukan juga terkait penelitian kita.

Desy Bachir: Apa aja pak yang dikangeni selama masa studi di Australia, yang dikangenin dari Indonesia?

Adrianus Hendrawan: Keluarga inti di Australia tapi keluarga besar, orang tua dan sebagainya di Indonesia. Jadi kadang saat mereka butuh bantuan itu tidak mudah. Untungnya Australia tidak terlalu jauh. Jadi masih bisa diatasi.

Terus kadang istri saya kangen masakan lokal Indonesia. Itu yang paling sering terjadi. Karena memang walaupun banyak restoran Indonesia di Australia tetap beda. Tidak ada yang bisa mengalahkan baladonya disini.

Desy Bachir: Iya. lain ya pak. Dulu juga kalau saya jajan-jajan di pecinaan, ada restoran padang tapi lain sama padang disini. Bapak studi di Australia sudah lumayan lama. Berapa tahun pak studi di Australia?

Adrianus Hendrawan: Total empat setengah tahun. Karena empat tahun dari Australia Awards, setengah tahun lagi dari Hadi Soesastro Prize.

Desy Bachir: Itu nanti aku tanya habis ini yang Hadi Soesastro Prize tadi. Itu apa sih pak?

Adrianus Hendrawan: Itu semacam penghargaan tambahan dari pemerintah Australia untuk satu laki-laki dan satu perempuan pelajar PhD Indonesia yang ada di Australia. Hanya berdasarkan dari topik penelitian. Jadi kalau topik penelitiannya memang sangat penting untuk pembangunan Indonesia, demokrasi, biasanya itu mendapatkan penghargaan tambahan.

Desy Bachir: Oke. Mendapatkan Hadi Soesastro Prize ini. Berarti ini hadiahnya apa pak?

Adrianus Hendrawan: Saya dapat AUD 25.000 sebagai dana penelitian.

Desy Bachir: Banyak sekali kalau aku dengar pencapaiannya. Gelar doktor, Hadi Soesastro Prize, hakim garis, kemudian juga mendapatkan anggota keluarga baru. Banyak. 

Adrianus Hendrawan: Iya, itu dinamika hidup.

Desy Bachir: Dinamika hidup. Berarti dinamika hidupnya sangat dinamis. Anggap saja begitu. Di dinamika hidup yang sangat dinamis, sempat tidak merasa hidup itu tidak dinamis, alias bosan?

Adrianus Hendrawan: Iya, tentu saja. Di Australia pasti ada saat yang sangat rendah terutama waktu di satu semester pertama waktu PhD langsung penelitian tapi karena ekonomi harus tugas kelas Itu kembali ke kelas setelah lebih dari 10 tahun. Itu sangat tidak mudah dan satu kelas dengan mahasiswa magister usianya 15 tahun lebih muda dari saya itu sesuatu hal baru bagi saya. Itu masa yang cukup berat harus membiasakan diri dengan kelas, buku teks dan sebagainya. Untungnya keluarga mendukung, supervisor saya sangat suportif, teman-teman Indonesia seangkatan saling mendengarkan. Itu sudah sangat membantu.

Desy Bachir: Jadi berarti persaudaraan pelajar disana juga lumayan kuat ya. Tapi dalam pengamatan mas Adrianus sendiri setelah empat setengah tahun tadi keunggulan apa sih yang diamati dari sistem pendidikan Australia?

Adrianus Hendrawan: Sistem pendidikan Australia itu sangat sistematis dan obyektif menurut saya dan memberikan kesempatan yang sama ke semua pelajar bukan hanya pelajar domestik tapi juga pelajar internasional.

Misalnya supervisor dari Australia, tapi tidak ada masalah membimbing mahasiswa Indonesia yang notabene misalnya kemampuan Inggrisnya jauh dibawah pelajar domestik. Tetap memberikan kesempatan.

Desy Bachir: Iya. Jadi sebenarnya kesempatan yang sama, kemudian berarti tidak ada diskriminasi. Yang seperti itu tidak dialami ya mas disana?

Adrianus Hendrawan: Iya. Diskriminasi tidak ada. Satu lagi dari ANU, saya yakin universitas lain juga, itu sangat memperhatikan ke kelompok marginal dan difabel. Misalnya untuk difabel, di seluruh gedung sudah ada fasilitas untuk kursi roda.

Desy Bachir: Aku lagi inget-inget juga, aku sudah lama sekali kuliah di Australia tahun 2003 selesainya. Tapi dari tahun 2003 aja sudah ada semua akses, tram, segala macam itu sudah ada. Padahal gedung kampus saya di University of Sydney gedung kuno sebenarnya. Tapi di gedung kuno itu semuanya bagaimana caranya ada. Sepertinya mereka membangun ulang atau bagaiman karena tidak mengganti struktur gedung sama sekali tetapi selalu digabungkan.

Saya setelah pikir-pikir, itu tahun 2003 apalagi sekarang, pasti makin diperhatikan yang seperti itu. Saya salut dengan komitmen institusi Australia untuk memberikan penekanan akses khusus ke kelompok difabel.

Tadi kita sudah bahas pengalaman menjadi hakim garis dan pelajar. Kalau misalnya sekarang ini membahas mas Adrianus dari sisi karirnya yang sekarang. Pengalamannya banyak, Penasihat keuangan publik dan tata kelola pemerintahan di World Bank, program-progam pembangunan kerjasama pemerintah Australia dan Indonesia. Ini keterlibatannya di dunia pembangunan awal mulanya bagaimana pak?

Adrianus Hendrawan: Ini juga jalan hidup. Ini mulainya waktu saya lulus S1. S1 saya benar-benar tidak nyambung.

Desy Bachir: Apa itu? S1-nya apa?

Adrianus Hendrawan: IT. Teknik Informatika.

Desy Bachir: Loh aku pikir dari dulunya sudah ekonomi mas.

Adrianus Hendrawan: Itulah. Panjang ceritanya.

Desy Bachir: Jadi S1-nya IT.

Adrianus Hendrawan: Teknik informatika ITB.

Desy Bachir: S2-nya?

Adrianus Hendrawan: S2-nya itu saya studi pembangunan. Sudah mulai nyambung S2-nya. Jadi waktu IT kebetulan waktu itu UNDP, United Nation Development Program itu butuh dukungan IT, saya iseng saja daftar. Waktu jadi IT itu jadi terekspos isu-isu pembangunan. Setelah satu, dua tahun coba mengambil S2 untuk pembangunan. Dapat beasiswa di Belanda. 

Yang benar-benar membuat saya fokus, iya ini jalan saya, itu waktu tsunami Aceh. Tahun 2004. Sangat menyedihkan waktu itu. Hanya sekitar 2 minggu setelah bencananya. Sejak itu 2007 hingga S3 tahun 2015 dan sampai sekarang selalu di dunia pembangunan.

Desy Bachir: Selalu di dunia pembangunan ya. Selamat tinggal IT.

Adrianus Hendrawan: Tapi menariknya ternyata semuanya sekarang berbasis IT. Jadi bagaimanapun latar belakang IT saya bermanfaat.

Desy Bachir: Masih membantu ya. Jadi memang benar ya mas, tidak ada yang sia-sia. Semua itu sudah diatur, sudah ada jalannya. Apa tapi tantangan terbesarnya sebagai profesional di dunia ini? 

Adrianus Hendrawan: Kalau di bidang manajemen keuangan publik ini yang paling besar itu menghadapi Indonesia yang sangat beragam. Manajemen keuangan publik ini sangat teknis jadi tentang bagaimana pemerintah pusat maupun daerah mengelola keuangannya. Jika di pusat itu sudah sangat canggih tapi disisi lain bagian lain Indonesia, bagian tertentu itu masih sangat manual. Disitu bagaimana membuat satu sistem yang bisa mencakup semua keragaman itu baik dari sisi teknologi, infrastuktur dan juga kapasitas individu. Itu memang tidak mudah disitu. 

Itu membuka mata bahwa sangat tidak mudah untuk mengelola negara kita ini. Karena keberagaman juga sangat berbeda, ketimpangan-ketimpangan itu memang nyata adanya kalau kita terus terang mengenai ini. Bahkan dari sisi yang sangat teknis itu pun sangat kentara. Itu mungkin tantangannya dan semangat ya menuju pemerataan. 

Desy Bachir: Iya. Kita telah membicarakan banyak hal, kalau boleh aku tarik banyak sekali interaksi selama di Australia. Ada dengan kelompok akademis, kelompok pelajar, komunitas kita bahas juga. Apa kira-kira implikasinya terhadap perjalanan karir sampai sekarang ini?

Adrianus Hendrawan: ini juga pertanyaan yang sulit. Mungkin sejak balik saja ya. Sejak balik dari pengalaman di Australia saya lebih menajamkan sudut pandang.

Jadi waktu sebelum mulai S3 itu masih belum tahu sudah S3 mau apa. Saya tidak boleh terjun balik ke rutinitas lagi, harus bisa menambahkan sesuatu ke negara, ke komunitas sekecil apapun. Salah satunya yang saya teruskan itu kolaborasi dengan akademisi Australia. Jadi sekarang sebisa mungkin tetap mempertahankan dunia akademisi. Sedang mengerjakan proyek penelitian juga ANU mengenai representasi perempuan di politik lokal. 

Satu hal lagi, bagaimana Indonesia bisa egaliter seperti di Australia karena dimana-mana ini ada semacam kasta yang tampak dan tidak tampak.

Desy Bachir: Tidak tampak tapi nyata ya mas.

Adrianus Hendrawan: Iya. Hakim garis di Australia itu hampir semua kerja paruh waktu seperti saya ini. Sangat beragam itu latar belakangnya. Dari pejabat pemerintahan sampai ke penjaga kasino. Ada disitu dan ketika kita tugas tidak ada melihat latar belakang. Sayangnya hal seperti itu tidak bisa di Indonesia. Selalu ada hal yang …

Desy Bachir: Nyata dan tidak nyata itu.

Adrianus Hendrawan: Iya. Merasa lebih berhak.

Desy Bachir: Sepertinya saya mengerti maksud mas tapi mudah-mudahan dengan makin banyak orang seperti mas Adrianus yang kembali dengan cara pandang baru siapa tahu ada teman-teman yang datang ke Australia yang tadinya punya pemikiran yang tidak seperti itu terus kesana melihat dan jadinya mungin ini bagus juga ya untuk diterapkan kembali. Mudah-mudahan semakin lama semakin banyak karena itu sebenarnya harus ditularkan kan mas pemikiran seperti itu?

Adrianus Hendrawan: Setidaknya mulai dari kita.

Desy Bachir: Iya. Menarik sekali teman-teman semua kita sudah dengarkan cerita dari mas Adrianus mengenai kehidupan yang penuh dinamika selama empat setengah tahun. Sangat penuh dinamis dari mulai jadi mahasiswa, akademisi, hakim garis Grand Slam, terus anggota dari berbagai asosiasi dan jangan lupa juga yaitu menjadi bapak baru, baru untuk kesekian kali. 

Adrianus Hendrawan: Kedua

Desy Bachir: Baru untuk kedua kali membangun keluarga tambahan. Walaupun kangen-kangen sama tanah air tapi semua tetap bisa dijalani dengan baik dan pada akhirnya membawa pemikiran baru pada saat kembali ke tanah air.

Adrianus Hendrawan: iya terima kasih kepada istri hebat saya.

Desy Bachir: Ini pak bagian yang paling penting. Kalau suruh mendengarkan, dengarkan bagian terakhir ini, Ini bagian yang paling penting. 

Mas Adrianus, semua itu pasti didukung oleh sistem pendukung. Tadi juga kita dengarkan, keluarga kemudian supervisor di kampus, teman-teman, komunitas. Itu semua makanya tetap terjalin hubungan yang baik sampai sekarang. Terima kasih banyak mas Adrianus

Adrianus Hendrawan: Terima kasih

Desy Bachir: untuk ceritanya hari ini. Sangat menarik. Mudah-mudahan tahun depan aku mengembangkan minat di tenis terus melihat ada mas Adrianus sebagai hakim garis. Jadi aku bisa lihat dan bisa foto. Aku kenal, nanti bisa bicara seperti itu.

Adrianus Hendrawan: Nanti mungkin kalau mba Desy bisa jadi penyiarnya.

Desy Bachir: Gitu. Iya ya. Mudah-mudahan. Amin.

Adrianus Hendrawan: Amin. Terima kasih banyak kesempatannya mba Desy, Australia Awards untuk bisa berbagi.

Desy Bachir: Kami yang terima kasih banyak. Terima kasih banyak juga untuk teman-teman yang sudah mendengarkan. 

Ini baru mulai episode pertama, nanti di episode kedua akan ada eksklusif interview dengan tamu kita, Sakdiyah Ma’ruf stand-up komedian perempuan muslim pertama di Indonesia yang pernah masuk dalam daftar 100 perempuan inspiratif dunia dari BBC. Seperti sekarang ini, kita nanti bicara mengenai perjalanan hidup Sakdiyah dan cari tau bagaimana Sakdiyah memanfaatkan kekuatan tawa untuk melawan stereotip perempuan muslim di Indonesia. Ini tadi yang tampak tak tampak tapi sebenarnya ada.

Untuk para alumni dan penerima beasiswa tolong tetap terhubung. Sekian untuk episode ini di pilot podcast OzAlum. Jika kamu suka podcast kami, beri kami penilaian dan ulasan yang bagus tentunya. Jika Anda ingin tetap terhubung dengan jaringan alumni kami dan tetap mengikuti acara alumni kami, kamu dapat mengikuti update mingguan Alumni Global Australia kami dan bergabung dengan Forum Alumni Australia-Indonesia di LinkedIn. Tautannya ada di deskripsi podcast. 

Sampai jumpa di sini pada bulan April. Terima kasih sekali lagi. Saya Desy Bachir 

Adrianus Hendrawan: dan saya Adrianus. 

Sampai ketemu. Bye.