OzAlum Podcast

Eps #3: What Does the Future Hold for Travel and Tourism Industry?

May 07, 2021 Australia Global Alumni in Indonesia Season 1 Episode 3
OzAlum Podcast
Eps #3: What Does the Future Hold for Travel and Tourism Industry?
Show Notes Transcript

OzAlum Desidera Murti and Gilang Fauzi show grit and resilience are critical in facing the global pandemic for their sustainable tourism start-up Travelxism. Amidst the blow to tourism industry, the power couple launched virtual tour to provide alternative travelling for people who have to stay at home. Apart from its creative travel innovations, Travelxism is enthusiastic about engaging local communities through various trainings to boost sustainable tourism. What are their lessons learned in embedding social impact into the heart of the business? Give it a listen to our OzAlum Podcast and leave a rating and review.

If you want to stay connected with our alumni networks and stay up to date with our alumni events, you can subscribe to our Australia Global Alumni weekly updates here https://oz.link/update and join our Australia-Indonesia Alumni Forum on LinkedIn https://www.linkedin.com/groups/8490219/ 

A full transcript of this episode is available on the OzAlum Podcast website: https://podcast.ozalum.com/

Desidera Murti: Kita lebih mendukung produk lokal dengan membeli dari orang lokal. Mengunjungi destinasi lokal di sekitar kita untuk membantu membangkitkan pariwisata dari dalam. 

Gilang Fauzi: Terus sebagai generasi muda, gunakanlah teknologi yang kita punya untuk mendukung sektor-sektor pariwisata dan sektor ekraf melalui misalnya bisa posting di media sosial karena itu memang sangat membantu.

Desy Bachir: Halo dan selamat datang di podcast dimana kami membawakan anda beberapa cerita unik dari alumni kami yang menginspirasi, bersama saya Desy Bachir.

OzAlum Podcast adalah akses kamu ke jejaring global alumni. Podcast ini dipersembahkan oleh tim Australia Global Alumni di Indonesia.

Teman-teman pendengar bagaimana kabarnya selama menjalani ‘New Normal’ setelah satu tahun lebih menghadapi pandemi COVID-19? Buat yang hobi berwisata seperti aku, pasti kangen beraktivitas dan bepergian ketempat wisata favorit, kangen menyelam di pantai, mendaki gunung, datang ke museum atau situs bersejarah bersama teman-teman maupun keluarga.

Kita tidak bisa pungkiri bahwa COVID-19 telah membawa dampak yang sangat besar terhadap dunia pariwisata. Dihadapkan oleh situasi yang penuh tantangan ini, industri pariwisata yang berkontribusi sebanyak 10% dari GDP dunia mendorong para pelaku usaha di sektor wisata untuk melakukan berbagai macam inovasi dengan memanfaatkan teknologi untuk membangkitkan minat wisatawan dan memfasilitasi wisata yang aman dari penularan COVID-19.

Misalnya yang telah dilakukan di beberapa negara adalah memberikan fasilitas registrasi tanpa sentuh di hotel, airport dan menawarkan paket tur virtual. Bahkan Prof Erik Champion dari Curtin University yang ahli di bidang 'virtual reality' dan 'gaming' telah menganalisa prospek dari 'virtual reality' ini di industri pariwisata.

Dengan meningkatnya tren piknik virtual, inovasi berbasis teknologi di sektor wisata telah membawa revolusi terhadap konsep wisata itu sendiri. Pertanyaanya sekarang, apakah tren ini akan berlanjut? Apakah akan tetap digemari setelah pandemi berarkhir? Atau bahkan bisa menggantikan kebutuhan akan berwisata? Lalu bagaimana prospek pariwisata kedepannya?

Hari ini kita kedatangan dua alumni yang hadir disini yaitu Gilang Ahmad Fauzi dan Desideria Murti pendiri dari Travelxism. Kedua narasumber kita ini memiliki komitmen yang sangat kuat untuk mengembangkan pariwisata berkelanjutan di Indonesia yang berbasis teknologi. Kita berbincang-bincang tapi sebelum kita berbincang panjang lebar mengenai pariwisata dan virtual, boleh tidak dijelaskan secara singkat apa itu Travelxism? Dan apakah aku sebutnya benar seperti itu, Travelxism? Bagaimana itu mas Gilang?

Gilang Fauzi: Baik mbak Desy. Terima kasih. Betul sekali mbak. Itu penyebutannya memang betul Travelxism. Jadi Travelxism ini adalah usaha kecil menengah yang mendukung pariwisata berkelanjutan lewat 3 produk kami yaitu produk konsultan, kami mengadakan pelatihan-pelatihan bagi SDM-SDM di destinasi pariwisata. Kita juga ada produksi media. Kita membantu mereka untuk membuat media promosi terutama video promosi tentang destinasi mereka.

Kita juga ada yang namanya 'Sustainable Tour Package' di Jogja dan sekitarnya namun selama pandemic semua program itu berhenti. Kita tidak berproduksi. Lalu kita berinovasi untuk membuat produk baru dengan menggunakan teknologi yaitu kita mengadakan tur virtual dan tur virtual ini sudah berjalan sekitar 1 tahun dan cukup sukses menurut pandangan kami.

Desy Bachir: Okey sudah berumur setahun karena umurnya sama dengan pandemi, mas Gilang?

Gilang Fauzi: Iya betul sekali.

Desy Bachir: Mungkin teman-teman masih ada yang bingung seperti apa sebenarnya tur virtual? Kita dengarkan klip berikut ini supaya teman-teman bisa mendapatkan sedikit gambaran mengenai tur virtual yang diadakan oleh Travelxism.

Potongan suara tur virtual di Perth, courtesy of Travelxism: Gilang Fauzi: Selamat datang semuanya. Kita akan ada sekitar 30 partisipan untuk bergabung ke tur vitual ini. Selamat datang Nikita, pembawa acara kita. Jadi semuanya jika kalian ingin bertanya kepada Nikita, silahkan bertanya langsung.

Mungkin saya akan berbagi sedikit informasi mengenai Perth khususnya untuk yang ingin berkunjung ke Perth. Simbol Perth khususnya Australia Barat adalah angsa hitam. Kalian dapat melihat angsanya berwarna hitam. Angsa hitam dimana-mana khususnya di Swan River.

Nikita: Jadi di sebelah sini adalah dermaga feri. Jadi dari sini kalian dapat naik feri ke Perth Selatan dimana kebun binatang Perth berada. Jadi itu aktivitas menyenangkan yang bisa dilakukan. Kalian bisa melakukannya dalam satu hari. Sama dengan Transperth, kalian bisa gunakan SmartRider atau tiket Transperth untuk naik feri menyeberang ke kebun binatangnya.

Ada berbagai macam festival dalam periode satu tahun. Di musim semi kami punya musim bunga liar. Itu adalah dimana bunga bermekaran. Jadi kalian bisa pergi ke pinggiran kota Perth dan kalian dapat melihat bunga dimana-mana.

Gilang Fauzi: Baiklah. Terima kasih dan sampai jumpa. Bye. Terima kasih Nikita. 

Desy Bachir: Tadi bicara soal tur vitual yang baru diperingati bersama dengan COVID-19, pasti sudah banyak tur virtual yang diadakan oleh Travelxism. Ini juga bekerja sama dengan Australia dan negara-negara lainnya. Ide awal dari inisiatif ini bagaimana, mas Gilang? Dan trennya itu bagaimana? Karena sekarang sudah mulai bisa jalan-jalan juga sejak ada vaksin dan sebagainya. Bagaimana tren kedepannya? Dan sebelumnya ide awalnya darimana?

Gilang Fauzi: Sebetulnya ide awalnya itu karena kekuatan kepepet mbak.

Desy Bachir: Memang kepepet itu adalah kekuatan super yang luar biasa mas Gilang.

Gilang Fauzi: Kepepet itu adalah kunci. Iya. Jadi ketika awal-awal pandemi, 3 bulan pertama muncul posting tentang rapat Zoom, rapat online, webinar. Dari sana saya langsung mendapatkan ide. Dulu itu sebetulnya Travelxism itu adalah vlog pribadi saya, saluran YouTube pribadi. Saya berpikir kenapa kita tidak melakukan vlog tapi siaran langsung menggunakan Zoom. Istilahnya kita bisa melakukan tur virtual. Langsung saya rancang rencananya seperti apa, teknisnya seperti apa. Destinasinya pun waktu itu pertama kali kita melakukan virtual tur itu di destinasi yang saya tahu di Fremantle, Australia Barat. 

Jadi karena saya mendapatkan beasiswa Australia Awards untuk berkuliah di Murdoch University, Australia. Kita sering setiap akhir pekan jalan-jalan kebetulan kita tahu daerah yang bisa dijadikan tempat awal untuk tur vitual yaitu Fremantle karena cukup unik.

Lalu pembawa acaranya siapa? Saya menghubungi teman-teman yang berada di Australia, di Murdoch University yang tergabung dalam MUISA, Murdoch University Indonesian Student Association. Saya hubungi rekan yang memang kebetulan dalam tanda kutip punya massa di media sosial.

Lalu tren kedepannya kami akan tetap akan menjalankan tur virtual dengan tujuan yang berbeda untuk media edukasi, cuplikan, media promosi destinasi juga bisa. Dan salah satu keunggulan dari produk tur virtual kami di Travelxism adalah kita juga menemukan fakta bahwa tur virtual itu ternyata sangat-sangat inklusif. Bayangkan saja ketika kita ke candi Borobudur dan melakukan tur virtual ke candi Borobudur rekan-rekan difabel juga bisa menikmati candi Borobudur sampai atas dengan tur virtual.

Desy Bachir: Jadi ini sebenarnya adalah tantangan-tantangan di masa pandemi dengan kekuatan super kepepet tadi menjadikan banyak peluang yang mungkin setelah, insya Allah, sudah kembali normal bisa menjadi aliran pendapatan tambahan buat Travelxism sambil juga membantu memberikan solusi untuk para calon turis tadi. Benar tidak kalau aku simpulkan seperti itu?

Gilang Fauzi: Betul sekali mbak Desy. 

Desidera Murti: Kalau dari sisi kesempatan juga misalnya Australia. Australia itu punya ketertarikan terhadap belajar bahasa Indonesia. Kami juga ternyata mendapatkan respon yang positif dari beberapa sekolah di Australia untuk bisa meningkatkan interaktivitas dari kelas berbahasa Indonesia dengan melakukan tur virtual. Jadi kelas itu melakukan tur virtual ke Indonesia karena mereka tidak bisa tur offline.

Kemarin ada yang ikut tur virtual waktu itu ke Kotagede dan mereka senang sekali. Mereka satu kelas bisa ikut tur virtual untuk melihat seperti apa sih Kotagede yang sangat Jawa. Itu juga salah satu kesempatan sebenarnya berhubungan dengan hubungan antar masyarakat Indonesia dan Australia.

Desy Bachir: Iya. Jadi karyawisata ini sebenarnya kalau jaman dulu aku dulu ya? 

Desidera Murti: Iya

Desy Bachir: Dengan adanya pandemi, Kemenparekraf sejak tahun lalu telah menyerukan para pelaku bisnis pariwisata untuk menyiapkan strategi inovasi saat menghadapi tantangan global akibat COVID-19. Jadi apa saja inovasi yang membedakan Travelxism dengan pariwisata online lainnya? Misalnya dari misinya? Produknya? Layanannya? Karena tidak hanya Travelxism saja yang memanfaatkan teknologi digital dan kecerdasan buatan. Bagaimana Travelxism memanfaatkan dua hal ini dalam mendorong tadi salah satu produknya adalah pariwisata berkepanjangan? Mbak Desi bagaimana? Seperti memanggil nama sendiri. Bagaimana mbak Desi tanggapannya mengenai hal ini?

Desidera Murti: Iya terima kasih mbak Desy. Jadi ini kalau kita bisa cerita, sebenarnya apa keinginan dari Kemenparekraf? Dari sisi inovasi ini arahnya teknologi. Harapannya sebenarnya bukan di teknologinya. Teknologi hanya alatnya. Tapi harapanya itu adalah bagaimana itu bisa mensejahterakan masyarakat.

Di konsep kita sebagai bisnis pariwisata berkepanjangan itu adalah sebuah bisnis yang kita memperhatikan sekali bagaimana supaya masyarakat itu ikut terlibat dan mendapatkan mangkuk dari keuntungan di pariwisata.

Desy Bachir: Dapat bagian ya?

Desidera Murti: Dapat bagian. Iya betul. Karena saya melakukan etnografi jadi saya bisa sekali melihat bagaimana masyarakat itu, meskipun mereka merasa dapat banyak tapi sebenarnya tidak.

Jadi masih banyak sekali mangkuk keuntungan itu tidak jatuh di masyarakat dan itu menurut saya sebagai bisnis kita harusnya bisa melihat aspek itu. Bagaimana kita punya suatu idealisme untuk memberikan ruang, memberikan juga mangkuk keuntungan kepada masyarakat. Tapi disatu sisi kita juga bisa mengembangkan dan bereksperimen di teknologi digital atau di teknologi macam-macam termasuk diantaranya kecerdasan buatan.

Apa yang membedakan tadi adalah kalaupun Travelxism itu melihat dari sisi teknologi, kemudian kita ada produk dan layanan dari situ, tetapi aspek masyarakat itu adalah aspek yang paling kuat yang kita lakukan di bisnis ini.

Desy Bachir: Jadi pembedanya tadi adalah melibatkan masyarakat untuk pariwisata berkepanjangan. 

Desidera Murti: Betul.

Desy Bachir: Di akhir tahun lalu Travelxism kolaborasi sama Australia-Indonesia Youth Exchange Program. Ini mengadakan webinar bertajuk “How Australians See Indonesia? Future Youth Collaboration Potential”. Ini tuh ada hubungannya sama yang tadi? Atau beda lagi? dan sebenarnya kolaborasi ini bagaimana awal mendapatkannya? Tujuan dan hasilnya bagaimana dari kolaborasi ini?

Gilang Fauzi: Sebetulnya pada waktu itu kami ditawari oleh salah satu penyelenggara yaitu Kemenpora bekerja sama dengan penyelengara dari Australia namanya Value Learning. Itu mereka mengadakan Australia-Indonesia Youth Exchange Program tapi karena pandemi itu mereka melakukannya secara online. 

Dalam salah satu program tersebut ada yang namanya Program Internship. Kami ditawarkan oleh Kemenpora dan juga Value Learning apakah kami berminat untuk menjadi tempat untuk penempatan kerja magang mereka. Tentunya kami cukup terbuka dengan penawaran tersebut. Kita terima. Lalu kita tawarkan, mereka punya program apa dan kita menawarkan program apa dan kebetulan kami menawarkan untuk mengadakan acara webinar tersebut. Jadi memang tujuannya adalah apa kesempatan yang bisa kita dapatkan dari hubungan antara Indonesia dan Australia di demografi usia muda tersebut.

Desy Bachir: Okey. Ini katanya mas Gilang dan Mbak Desi membangkitkan desa pariwisata di sekeliling Yogyakarta? Itu melakukan apa sih di pariwisata sekeliling Yogyakarta? Karena kalau Yogyakarta sepertinya orang tahunya kota Yogyakarta tapi desa pariwisata ini apa? Terus apa yang kalian lakukan untuk melestarikan, membangkitkan desa pariwisata tersebut?

Desidera Murti: Jadi awal mulanya itu karena salah satu layanan kami juga memberikan pelatihan. Pelatihan waktu itu dengan kabupaten Kulon Progo dan disitu ada 32 destinasi yang mana disitu ada perwakilannya untuk ikut pelatihan kami. Apa yang kami lakukan di pelatihan itu sebenarnya lebih dari sekedar kami melakukan pelatihan lalu selesai. Kebanyakan seperti itu, kalau kami tidak. Kami pelatihan selesai setelah itu kami lanjutkan dengan tur. Jadi kami adakan tur untuk kami buka ke daerah itu. Lalu setelah itu kami juga hubungkan mereka dengan universitas atau dengan teman-teman yang ingin melakukan pengabdian masyarakat di desa wisata.

Jadi dari 32 destinasi, setidaknya ada 3 desa yang mendapatkan keuntungan setelah pelatihan. Pelatihannya sendiri itu cukup menarik karena pelatihannya adalah digitalisasi desa wisata. Banyak sekali teman-teman di desa wisata yang belum paham bagaimana caranya membuat, membangun identitas, mempromosikan dari sisi media sosial.

Misalnya mereka lebih suka mengunggah mereka lagi rapat. Foto-foto seperti itu kurang menarik. 

Desy Bachir: Siapa juga yang mau lihat orang lagi rapat? Bisa lihat dimana saja itu.

Desidera Murti: Tapi ketika ada seorang petani memandikan sapi, misalnya. Justru itu foto yang jauh lebih menarik dari pada orang rapat. Itu mereka tidak tahu. "Kenapa kamu heran sekali aku memandikan sapi?" Buat mereka itu biasa. Itu kehidupan biasa mereka. Tapi buat kita sebagai turis itu suatu pemandangan yang menarik.

Desy Bachir: Iya. Mas Gilang tadi sudah sempat sebutkan sedikit mengenai latar belakang pendidikannya yaitu lulusan S2 jurusan Development Studies dari Murdoch University kemudian mbak Desi Dosen Komunikasi lulusan S3 jurusan Media, Culture, dan Creative Arts dari Universitas Curtin tadi ada kaitannya development studies dengan pariwisata tapi yang pertama kali menginspirasi dan memotivasi kalian berdua berkiprah di sektor pariwisata dan Travelxism yang tadi awalnya adalah vlog pribadi itu apa?

Gilang Fauzi: Jadi memang selain bahwa Travelxism itu adalah blog dan vlog personal memang kami berdua sebelum berangkat ke Australia kami aktif bekerja di salah satu majalah pariwisata basisnya di Jakarta. Disana memang murni media dengan produk lainnya adalah proyek dengan pemerintah. Jadi setelah kita ke Australia majalahnya berhenti.

Karena dari latar belakang itu kita sudah berkecimpung di sektor pariwisata terus Desi juga penelitiannya di pariwisata lalu setelah saya kembali ke Indonesia, saya kemudian berpikir kenapa kita tidak resmikan saja Travelxism ini menjadi sebuah perusahaan resmi, sebuah PT supaya kita bisa menembus kerja sama ke arah program-program pemerintah terutama di sektor pariwisata.

Desy Bachir: Oke. Jadi ini sebenarnya adalah pengejawantahan yang sebelumnya sudah dilakukan. Kalau misalnya dilihat apa sebenarnya yang bisa kita contoh dari pariwisata Australia yang mungkin bisa diterapkan untuk Indonesia juga?

Desidera Murti: Ya. Nanti mas Gilang akan cerita yang lebih seru. Saya mau cerita yang agak serius. Jadi Australia terutama Australia Barat, saya tidak tahu dengan Melbourne dan Sydney tapi ada satu yang menurut saya bisa dicontoh. Dia punya yang namanya 'Western Australia Tourism Cluster'. Apa itu? Itu sebenarnya adalah sebuah perkumpulan atau pusat antara industri, pemerintah dan juga akademisi. Jadi mereka selalu mengadakan setiap satu bulan sekali entah webinar, entah apa.

Jadi misalnya Australia Barat mau membahas soal pariwisata minuman anggur dan bagaimana arah potensi dari pariwisata minuman anggur. Enak sekali ya pariwisata minuman anggur.

Desy Bachir: Enak ya.

Desidera Murti: Iya enak sekali. Jadi yang dilakukan oleh Western Australia Tourism Cluster adalah mengundang para akademisi, para industri, mungkin juga NGO dan pemerintah untuk membicarakan pariwisata minuman anggur di UWA (University of Western Australia). Jadi ini yang menurut saya sepertinya masih belum banyak di Indonesia.

Kita punya yang namanya Pentahelix. Kerja sama antara pemerintah, akademisi dan lain-lain tapi wadahnya belum ada dan itu ada di UWA. Bagaimana itu dipraktekan benar-benar wow dan misalnya industri ingin bikin sesuatu akademisi bisa mengkritisi. Misalnya karena Australia itu dekat dengan budaya Aborigin, dia akan bicara soal bagaimana itu dampaknya dengan Aborigin dan lain-lain. Ada diskusi di situ. Jadi ini yang sebenarnya bisa kita petik dari Australia.

Desy Bachir: Kalau seperti itu semua pihak yang berkepentingan tidak ada yang dirugikan karena sudah memikirkan semua aspek? Okey. Sekarang apa yang lebih asik dari pada pariwisata minuman anggur, mas Gilang? Yang mau diceritakan?

Gilang Fauzi: Banyak. Sebenarnya banyak hal. Australia, terutama Australia Barat banyak menawarkan hal-hal yang cukup menarik terutama karena garis pantainya panjang sekali. Jadi banyak sekali pantai.

Yang saya lihat dari semua destinasi di Australia itu yang pertama adalah tingkat kebersihannya. Itu tidak ada sampah sama sekali. Ada tapi juga ada tempat sampah yang disediakan dan tempat sampah yang disediakan itu pun juga mereka pisahkan.

Biasa kalau di Australia ada pemanggang untuk publik yang bisa kita pakai. Itu bahkan setelah dipakai sama mereka langsung dibersihkan lagi. Disiram, dicuci, dilap sampai mengkilap.

Yang kedua itu adalah fasilitas pendukung di destinasi pariwisata itu sangat bagus, cukup mumpuni terutama toilet umum di destinasi dan mungkin ini sebuah tugas untuk kita di pariwisata Indonesia bahwa sebenarnya toilet umum dengan kamar mandi umum itu salah satu unsur penting, fasilitas pendukung dari fasilitas pariwisata.

Yang berikutnya itu adalah pemerintah Australia sangat perhatian dengan isu inklusivitas. Ketika di destinasi yang kita kunjungi itu ada jalur khusus untuk rekan-rekan difabel. Jadi mereka tetap bisa mengunjungi destinasi tersebut sampai destinasi utama di sana dan itu menjadi tugas juga bagi kita dan pemerintah Indonesia agar pariwisata kita lebih inklusif ke rekan-rekan lain.

Terus yang ketiga. Di destinasi-destinasi kita bisa membedakan, ini adalah pantai Cottesloe, pantai City Beach, pantai Rockingham. Itu bisa kelihatan dari karakter ikon yang ada disana. Jadi itu mungkin yang bisa kita bisa aplikasikan di Indonesia. Di berbagai destinasi sebaiknya di Indonesia dibangun sebuah ikon yang unik, bukan tulisan pantai apa. 

Desy Bachir: Ikon itu apa contohnya mas Gilang?

Gilang Fauzi: Ikon itu contohnya di Cottesloe itu ada sebuah bangunan yang cukup unik dan itu dibangun sepertinya sudah cukup lama, sejak puluhan tahun yang lalu. Itu bisa kelihatan bahwa karakter dari pantai Cottesloe itu.

Desy Bachir: Jadi situs-situs khusus?

Gilang Fauzi: Situsnya. Betul sekali. Jadi ada situs yang menunjukkan sebuah karakter dan ikon dari destinasi tersebut. 

Desy Bachir: Iya. Sebagai suami istri, pasti banyak juga yang bertanya bagaimana rasanya berbisnis sama pasangan sendiri? Lebih banyak sukanya atau lebih banyak dukanya? Dan mungkin buat teman-teman yang lagi berpikir sepertinya mau mulai bisnis sama suami, istri atau anggota keluarga. Apa tipnya buat teman-teman ini?

Desidera Murti: Kalau kita sebenarnya sudah biasa untuk bekerja sama karena kita awal mulanya sudah biasa sebagai tim dan teman. Jadi dari teman jadi demen. Jadi ketika kita harus mengubah timnya menjadi bisnis, keluarga atau tim untuk apa, kita sudah biasa untuk bagi tugas dan memisahkan. Kadang kita juga tidak bicarakan bisnis kalau misalnya di rumah. Kita bicarakan bisnis waktu di rapat. Jadi kita pilah-pilah waktunya juga. Begitu.

Gilang Fauzi: Ya. Mungkin kalau dari saya kita menunjukkan sisi profesionalismenya. Yang dimaksud itu adalah memisahkan urusan emosi antara suami dan istri. Jadi kita menggunakan otak dulu baru kita menggunakan hati nanti.

Desy Bachir: Begitu. Di masa pandemi yang lumayan sulit ini, sebenarnya pelajaran terbesarnya itu apa dalam menjalankan bisnis di waktu yang sulit seperti sekarang? Mungkin bisa dibagikan juga ke teman-teman yang sedang mengalami kesulitan.

Gilang Fauzi: Kalau dari saya. Belajar dari pandemi dan belajar dari sana bahwa sebetulnya diversifikasi produk itu ternyata penting sekali karena ketika satu produk mati, kita bisa bertahan dengan produk lainnya atau kita bisa ciptakan produk baru. Tidak hanya bagi Travelxism, bagi destinasi-destinasi pariwisata yang mempunyai diversifikasi produk itu juga bisa cukup bertahan.

Contohnya desa wisata Penglipuran. Mereka itu mempunyai diversifikasi produk. Jadi mereka tetap bisa bertahan di masa pandemi. 

Desidera Murti: Sebenarnya mereka punya produk lokal yang basisnya untuk kesehatan dan itu adalah minuman jamu lokal yang ketika masa pandemi ini ada produksi yang dibutuhkan oleh orang-orang lokal untuk meningkatkan imun. Jadi itu bagian dari diversifikasi tadi.

Gilang Fauzi: Yang kedua dari saya itu adalah konsistensi dan kita harus bisa melihat kesempatan. Jadi memang harus konsisten, harus persisten, karena sektor pariwisata itu adalah sektor yang sangat rapuh. Dia akan terdampak terlebih dahulu ketika ada pandemi, krisis ekonomi, bencana alam, pariwisata langsung mati. Jadi konsistensi, persistensi dan bisa melihat kesempatan. Contohnya tadi kita bisa melihat kesempatan untuk menciptakan sebuah produk baru yang bernama tur virtual.

Desy Bachir: Diversifikasi, konsistensi, persistensi, kesempatan, sudah diborong semua sepertinya. Bagaimana mbak Desideria ada tambahannya?

Desidera Murti: Ada. Kalau dari saya itu adalah agilitas. Jadi dalam situasi krisis sangat dibutuhkan mentalitas dan juga kecepatan bagi dia untuk berubah dan beradaptasi dengan sesuatu yang baru. 

Yang kedua itu adalah dia masih mau belajar. Mau belajar hal yang baru bahkan dengan orang baru atau bahkan orang yang lebih muda. Karena dalam situasi krisis pandemi seperti ini kadang ada orang-orang yang justru lebih muda dan lebih junior dari kita yang bisa lebih sukses. Saya pikir mau belajar itu salah satu hal yang bagus untuk diambil.

Desy Bachir: Kenapa penting sekali untuk mempunyai semangat kewirausahawan di era sekarang ini? Dan untuk yang baru akan memulai bisnis apa saran utamanya? Apakah sama dengan yang tadi sulit di masa pandemi? Atau mungkin berbeda? 

Desidera Murti: Jadi apa yang dilakukan mungkin anak-anak muda ketika semangat untuk bikin kewirausahaan itu adalah eksperimen. Tapi di satu sisi kita juga harus memperbolehkan diri kita untuk gagal. Meskipun dalam proses gagal itu kita harus sudah punya mitigasi. 

Hal lain, ketiga yang mungkin sering dilupakan oleh teman-teman yang masuk kewirausahaan itu adalah persiapan diri dan administrasi. Startup mau dibuat PT, CV atau mungkin nanti merknya mau dilindungi secara hukum atau tidak? Pajak misalnya. 

Desy Bachir: Karena tidak menyenangkan. Mungkin tidak ada yang mau memikirkan.

Desidera Murti: Tepat

Desy Bachir: Iya karena saya pikir untuk menjadi berkelanjutan dan berkembang tentunya yang kaku seperti keuangan, legal, administrasi juga tidak boleh dilupakan. Jadi jangan yang seksi-seksinya saja. Jangan hanya pemasaran, branding, desain pemikiran. Tidak bisa itu. Yang tidak seru itu justru yang mungkin kadang-kadang menjamin keberlanjutan dan perkembangan dari bisnis yang sedang kita rintis.

Bicara mengenai keberlanjutan dan perkembangan, kalau kita bicara 5-10 tahun lagi apa rencana untuk Travelxism? 

Gilang Fauzi: Kalau untuk Travelxism untuk 5 atau 10 tahun ke depan yang kami harapkan sebetulnya pendapatan yang lebih. Itu sepertinya semuanya. Yang paling penting 5-10 tahun ke depan itu adalah kita juga sudah mempunyai hubungan yang lebih kuat, kerja sama yang lebih kuat dengan pemangku kepentingan terutama tadi yang Desi bilang dengan Pentahelix itu.

Contohnya adalah bisa mengusulkan ke Kemendikbud untuk memasukkan tur virtual menjadi salah satu alat bantu media pembelajaran. Misalkan pelajaran sejarah. Sedang mau belajar sejarah kitab Samaratungga. Itu bisa belajar dari salah satu relief yang ada di candi Borobudur melalui tur virual. Itu bisa.

Desy Bachir: Itu kedepannya. Itu harapan terhadap Travelxism dan juga pemerintah. Tapi kalau kita sendiri. Apa yang diharapkan dari sesama warna negara Indonesia supaya dapat berperan aktif dalam membantu membangkitkan pariwisata Indonesia?

Desidera Murti: Kalau dari saya sebenarnya hal sederhana misalnya kita lebih mendukung produk lokal dengan membeli dari orang lokal. Kunjungi destinasi lokal di sekitar kita untuk membantu membangkitkan pariwisata dari dalam. Itu mungkin satu hal kecil yang bisa kita lakukan. 

Desy Bachir: Di Indonesia saja. Desidera Murti: Di Indonesia dan di dekatnya, kabupatennya atau provinsinya.

Desy Bachir: Dari mas Gilang ada tambahan mungkin? Apa lagi yang diharapkan dari kita sebagai warga negara Indonesia?

Gilang Fauzi: Tadi betul sekali kata mba Desi. Dukung orang lokal dengan memberi dari orang lokal, kunjungi destinasi lokal. Terus kita sebagai generasi muda, gunakanlah teknologi yang kita punya untuk sektor-sektor pariwisata dan ekraf melalui misalnya bisa mengunggah di media sosial karena itu memang sangat membantu.

Yang kedua adalah kami sebetulnya mengharapkan bahwa generasi-generasi muda ini sekarang lebih sadar kepada konsep pariwisata berkelanjutan dibandingkan pariwisata masal karena memang pariwisata berkelanjutan itu adalah konsep pariwisata yang lebih memberdayakan masyarakat local untuk meningkatkan ekonomi lokal terus juga memberikan dampak yang baik untuk melestarikan budaya local juga melindungi lingkungan sekitar.

Desy Bachir: Jadi teman-teman semua untuk membantu pariwisata di Indonesia tadi kunjungilah destinasi local yang dekat-dekat saja, belilah barang-barang lokal, manfaatkanlah teknologi untuk mendukung pariwisata local dan jadilah orang yang bertanggung jawab untuk menjadikan pariwisata kita berkelanjutan. Begitu kira-kira.

Terima kasih banyak mas Gilang, mbak Desi untuk pembicaraan yang sangat menarik hari ini. Buat teman-teman semua mudah-mudahan juga sangat menikmati dan habis ini makin bersemangat juga untuk membangkitkan pariwisata lokal Indonesia.

Sekian untuk episode kali ini di pilot podcast OzAlum. Jika kamu suka podcast kami, beri kami penilaian dan ulasan. Dan jika kamu ingin tetap terhubung dengan jaringan alumni kami dan tetap mengikuti acara alumni kami, kamu dapat mengikuti update mingguan Alumni Global Australia kami dan bergabung dengan Forum Alumni Australia-Indonesia di LinkedIn. Tautannya ada di deskripsi podcast. Sampai jumpa di sini pada bulan Juni.

Oke semuanya kalau begitu. Saya Desi Bachir. Gilang Fauzi: Saya Gilang. Desidera Murti: Saya Desideria Murti.

Sampai jumpa. Bye. Sampai Jumpa. Terima kasih. 

Desy Bachir: Di podcast pilot episode selanjutnya kita akan kedatangan dua alumni muda yang memiliki segudang pengalaman unik dalam memimpin organisasi baik itu di Australia maupun di Indonesia. Mereka adalah Muhammad Fathahillah Zuhri, alumnus The Australian National University dan Faruq Ibnul Haqi, alumnus University of South Australia dan kandidat PhD dari University of South Australia. 

Penasaran bagaimana strategi mereka memanfaatkan pengalaman berorganisasi tersebut untuk memperluas jejaring dan mencapai misi mereka dalam memberdayakan masyarakat dan generasi muda?

Simak wawancara eksklusif dengan alumni tersebut di episode selanjutnya. Untuk alumni ataupun pendengar yang sedang studi di Australia yang punya cerita atau pengalaman unik yang bernilai untuk dibagikan dengan teman-teman pendengar podcast atau bahkan kalian yang tertarik untuk memandu sebuah podcast? Boleh silahkan menghubungi tim OzAlum podcast melalui email alumni@australiaawardsindonesia.org

sekali lagi silahkan hubungi tim OzAlum podcast melalui email alumni@australiaawardsindonesia.org