OzAlum Podcast

Eps #5: What Does NAIDOC Week Mean to You?

July 09, 2021 Australia Global Alumni in Indonesia Season 1 Episode 5
OzAlum Podcast
Eps #5: What Does NAIDOC Week Mean to You?
Show Notes Transcript

In celebration of NAIDOC week, our two OzAlum guests, Dr Lily Yulianti Farid, a published author and activist, and Butet Manurung, an educator specialising in Indonesia’s Indigenous people and environmental activist, talk about a deeper meaning of sustainability from Indigenous wisdom. 

While Dr Lily’s research project unveils the first connection between Indonesia and Australia in the 1700s, Butet’s educational project explores ancestral heritage on relevant life skills and philosophical values we can learn from the Indigenous people in Indonesia. Give it a listen to our OzAlum Podcast and leave a rating and review. 

Also keep an eye on the Australian Embassy in Facebook page https://facebook.com/australianembassyjakarta and other social media channels for various online events of NAIDOC Week.

If you want to stay connected with our alumni networks and stay up to date with our alumni events, you can subscribe to our Australia Global Alumni weekly updates here https://oz.link/update and join our Australia-Indonesia Alumni Forum on LinkedIn https://www.linkedin.com/groups/8490219/ 

A full transcript of this episode is available on the OzAlum Podcast website: https://podcast.ozalum.com/

Butet Manurung: Kenapa tertarik dengan masyarakat adat? Sebenarnya bisa dibilang sejak kecil. Cita-cita masa kecil itu. Ingin jadi Indiana Jones. 

Desy Bachir: Indiana Jones. Oke. 

Dr Lily Yulianti Farid: Kalau saya sebenarnya karena sering dengar cerita bahwa orang Makasar yang pertama kali datang ke Australia, bukan orang Inggris. 

Desy Bachir: Halo dan selamat datang di podcast dimana kami membawakan anda beberapa cerita unik dari alumni kami yang menginspirasi, bersama saya Desy Bachir. 

OzAlum Podcast adalah akses kamu ke jejaring global alumnidan podcast ini dipersembahkan oleh tim Australia Global Alumni di Indonesia.

Temen-temen pendengar, khususnya yang sedang atau pernah belajar dan tinggal di Australia, pernah tidak mendengar,menyaksikan atau bahkan mengikuti perayaan Hari Aborigin Nasionalatau NAIDOC (National Aborigines and Islanders Day Observance Committee) Weekyang diperingati setiap tahunnya pada tanggal 4-11 Juli? 

Biasanya, masyarakat Australia merayakannya dengan melakukan berbagai macam kegiatanseperti kegiatan budaya dan pendidikan di sekolah dan tempat kerja dan pertunjukan publik,termasuk mendengarkan musik pribumi Australia, membaca kisah mimpi, dan menyelenggarakan kompetisi seni. 

Tujuan dari pekan NAIDOC adalah untuk untuk merayakan salah satu sejarah dan budaya tertua yang masih ada di dunia,pencapaian masyarakat Aborigin dan penduduk Kepulauan Selat Torrestermasuk kontribusi dan keterlibatan dalam bidang ilmiah seperti astronomi. 

Tahun lalu Kedubes Australia mengadakan virtual konser pekan NAIDOC dan sesi bercerita virtualbersama Jessica Staines yang membacakan buku anak popular ‘Kookoo Kookaburra’karangan penulis dan ilustrator Australia. 

Di podcast kali ini kita akan membahas mengenai itu dan mengupas pengalaman serta kontribusi kedua tamu alumni kita.Dr Lily Yulianti Farid adalah seorang ahli budaya, dengan pengalaman lebih dari satu decademenghubungkan Australia - Indonesia melalui berbagai penelitian dan kegiatan seni,budaya dan sastra yang menjembatani budaya di dua negara.Dr Lily menerima beberapa penghargaan mulai dari 'Anugerah Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,Republik Indonesia' di tahun 2018; 'International Excellence Award in the Literary Festival category at the 2020 London Book Fair';dan baru-baru ini, beliau juga menerima penghargaan sebagai'The 2020 Australian Alumni Award for the Promoting Women’s Empowerment category'. 

Tamu kita yang satu lagi adalah Butet Manurung, pelopor pendidikan alternatif bagi komunitas adatdi hutan terpencil Indonesia yang dinamakan 'Sokola Rimba' atau 'Sokola Institute'.Sebuah sekolah alternatif yang lebih dari 18 tahun telah mengajarkan literasi kepada lebih dari 15.000anak-anak suku pedalaman yang terpinggirkan, yang berada di 17 daerah di Indonesia.Inisiatif kak Butet telah diakui secara internasional dan menerima beberapa penghargaan bergengsi.Di tahun 2013, biografi beliau diangkat menjadi film berjudul 'Sokola Rimba', yang meraih Penghargaan 'Maya Award'tahun 2013 untuk 'the Best Film of the Year' dan 'The Audience Award' di 'Festival Film International di Fukuoka 2014'dan atas kiprah beliau, beliau mendapat penghargaan 'Ramon Magsaysay Award' tahun 2014 di Filipina. 

Kita langsung berbincang dengan dua alumni kita yang memiliki aspirasi dalam pelestarian budayadan pemberdayaan masyarakat serta komunitas adat melalu penelitian dan pendidikan.

Sebelum kita mulai, informasi dulu, bahwa kedua tamu kita sedang tidak berada di Indonesia.Mereka sedang berada di Australia, sehingga mungkin saja kualitas rekaman podcast kali iniakan sedikit berbeda dibandingkan podcast-podcast sebelumnya. 

Halo kak Butet, kak Lily. Dr Lily Yulianti Farid:Halo. 

Butet Manurung: Halo, Desy. 

Desy Bachir: Halo, apa kabar? Bagaimana Australia? 

Butet Manurung: Dingin. 

Dr Lily Yulianti Farid:Iya kita prihatin dengan kondisi Indonesia. Kalau di Melbourne baru selesai karantina wilayah juga.Dua minggu lalu kita sempat karantina wilayah 14 hari lagi. 

Desy Bachir: Iya, baru disana. Beberapa saudaraku juga di sana jadi dengar kabarnyatapi selain dari itu kegiatan tetap sibuk seperti biasa, kakak-kakak? 

Butet Manurung: Iya. 

Dr Lily Yulianti Farid:Iya, masih kerja dari rumah. 

Desy Bachir: Masih kerja dari rumah?Kalau kak Butet sepertinya kerja dari mobil karavan? Bukan dari rumah? 

Butet Manurung: Iya, aku sedang di utara New South Wales tapi kemarin di Canberra, sejak Juni tahun lalu, normal-normal sajakarena tidak ada kasus lagi. Tapi sekarang sepertinya mulai timbul lagi kasus-kasus baru.Timbul lagi kasus-kasus baru. 

Desy Bachir: Ini lagi di perjalanan sekarang ini? 

Butet Manurung: Aku sedang perjalanan karavan, Iya. Mau ke Queensland maksudnya. 

Desy Bachir: Seru sekali. Sekarang ini, teman-teman, kak Lily juga lagi jalan juga. Tidak sejauh kak Butet tapi sedang jalan juga.Mudah-mudahan kita juga cepat merasakan seperti itu lagi. Sebenarnya lagi membahas di minggu-minggu ini, 4-11 Juli lagi ada pekan NAIDOC.Kalau pekan NAIDOC ini, kalau lagi pandemi bagaimana perayaannya? 

Dr Lily Yulianti Farid:Iya. Aku mungkin bisa berbagi. Tahun lalu pekan NAIDOC juga di tengah pandemi. Bahkan diundur ke bulan Novemberjadi semuanya virtual. Kalau tahun ini, tergantung kota-kotanya. Jadi ada beberapa kota masih karantina wilayah, tentu saja semuanya jadi virtual. 

Dari pengalaman tahun lalu, sekarang ini ada beberapa yang dilakukan dengan tamu atau undangan terbatas.Kalau di kota Melbourne itu, ada di beberapa titik. Mulai dari pagi karena subuh-subuh ada semacam upacara tradisionaluntuk menghargai sejarah yang sangat panjang ini. Tapi sepanjang minggu ini karena bertepatan dengan libur sekolah. 

Saya lihat lihat di banyak tempat sekarang memang sudah mulai semarak sejak beberapa hari terakhir.Jadi program pendidikan dan juga program liburan sekolah yang mengkhususkan dalam rangka perayaan NAIDOCsudah disiapkan di banyak tempat. Di perpustakaan itu ada sejumlah program membaca dan membahas kisah-kisahAborigin dan juga menampilkan penulis-penulis Aborigin. 

Desy Bachir: Begitu? Jadi karena sekarang keadaan membaik jadi di beberapa tempat juga sudah mulai kegiatan luring terbatas, begitu kak? 

Dr Lily Yulianti Farid: Betul. Iya. 

Desy Bachir: Iya. Jadi mulai seminggu ini. 4 sampai 11 Juli. Teman-teman Dr Lily adalah pendiri dari Makassar - Indigenous Australia Storytelling Initiativedan sekarang ini lagi melanjutkan post-doctoral program di Monash Indigenous Studies Centredan kak Butet sendiri adalah pendiri alternatif pendidikan program Sokola Institute untuk anak-anak suku adatdengan background master's degree in Applied Anthropology and Participatory Developmentdari Australian National University. 

Mungkin kakak-kakak bisa cerita sebenarnyabagaimana awal mulanya bisa tertarik terus tergerak untuk mendalami budaya dan isu-isu Indigenousatau kalau di konteks Indonesia disebut masyarakat adat?Bagaimana? Mungkin kak Butet boleh ceritanya bagaimana pertama kali tertarik dengan bidang ini? 

Butet Manurung: Iya. Kalau aku kenapa tertarik sama masyarakat adat sebenarnya bisa dibilang sejak kecil. Ini impian aku masa kecil.Aku ambil jurusan juga antropologi, waktu aku kuliah juga aku menekuni klub pencinta alam yang memang berkunjung kepedalaman-pedalaman jadi itu awalnya walaupun tidak direncanakan apa yang akan aku lakukantetapi sudah cita-cita dari kecil ingin kerja di alam bebas, bertemu dengan masyarakat adat,begitu, nanti lihat apa yang bisa aku lakukan. Begitu, Desy. 

Desy Bachir: Jadi sebenarnya sudah dari duluwalaupun tidak direncanakan tapi seolah-olah menarik ke arah sana. Begitu kak Butet? Sesuai dengan minat dari kecil berarti? Butet Manurung: Iya. Cita-cita masa kecil itu. Ingin jadi Indiana Jones. 

Desy Bachir: Indiana Jones. Oke.Kalau kak Lily sama tidak dengan kak Butet? Impian dari kecil atau tak sengaja berganti alur? 

Dr Lily Yulianti Farid:Kalau saya sebenarnya karena sering dengar cerita bahwa orang Makassar yang pertama kali datang ke Australia,bukan orang Inggris. 

Desy Bachir: Begitu? 

Dr Lily Yulianti Farid:Belum tahu? 

Desy Bachir: Belum. 

Dr Lily Yulianti Farid:Jadi ceritanya di abad 17 para pelaut dari nusantara yang berangkat dari pelabuhan Makassar, dulu belum ada Indonesiajadi kerajaan Gowa Tallo. Mereka dari pelabuhan Makassar berangkat ke Australia Utara untuk mencari teripang. 

Di masa itu, permintaan dari Cina khususnya sangat tinggi. Jadi para pedagang Cina itu datang ke nusantara untuk mencari.Dimana bisa membeli teripang karena memang melonjak sekali di Cina.Pelaut nusantara itu ketemu ternyata selain di wilayah timur, kalau mereka menyeberang lagi, melintasi laut Arafura,banyak sekali teripang di perairan Australia Utara. Disitulah mereka kemudian mulai membangun industrinya.Industri teripang ini berlangsung sekitar tiga ratusan tahun, sayangnya di buku sejarah umum Indonesiaini tidak ada lagi catatannya terus di Australia juga sejarah ini hanya diketahui oleh lingkaran peneliti.Itu pun peneliti sejarah yang memang mengkhususkan pada kontak antara masyarakat asli atau masyarakat Aborigin dengan pendatang. 

Tetapi dibidang seni hubungan sejarah ini sudah menginspirasi banyak karya seni.Kalau kita ke masyarakat Aborigin di bagian utara, Makassar itu adalah salah satu inspirasi yang selalu muncul dalamkarya-karya seni rupa mereka. Jadi hubungan kedua negara ini tidak hanya dilihat sebagai sesuatu yang fondasinya itu baru,tapi sudah lama sekali. 

Desy Bachir: Iya sudah lama sekali dari tahun 1700. Sudah lama sekali. 

Dr Lily Yulianti Farid:Iya. Kalau di proyek post-doctoral sekarang yang sedang saya jalankan dalam sebuah proyek penelitian 5 tahun bernama 'Global Encounters, Rewriting Australian History' kita memang bekerja untuk menulis ulang sejarah Australia. 

Desy Bachir: Jadi cerita yang tadi belum sempat disampaikan bahwa hubungan kita terkesan 'baru' itu sebenarnya lagi mau ditulis ulang melalui penelitian ini? 

Dr Lily Yulianti Farid:Betul. Belum lagi budaya ya mbak, karena kalau nanti ada kesempatan pergi ke Australia Utara jangan kaget kalau melihat ada sekitar 1.000 kata yang diambil dari bahasa Indonesia, bahasa Makassar, bahasa Melayu yang dipakai oleh suku Aborigin di Utara. 

Desy Bachir: Wow. 

Dr Lily Yulianti Farid:Iya. Mereka menyebut uang itu Rupiah. Tahun depan kita akan mulai mengajarkan sejarah ini secara lebih luas kepada anak-anak sekolah dan mahasiswa se-Australia karena saya kira perlu sekali untuk melihat pijakan sejarah di dua negara ini yang pernah punya satu sejarah yang dibagi bersama. Begitu. 

Desy Bachir: Menarik sekali. Romantis sebenarnya hubungan Australia dan Indonesia ini. Aku juga baru tahu. Nanti aku mengunggu hasil penelitiannya selesai. Sekarang aku mau bertanya ke kak Butet yang juga kontribusinya banyak sekali dalam pendidikan alternatif untuk komunitas adat. 

Kalau misalnya kita kaitkan tema NAIDOC tahun ini adalah 'Heal Country, Heal Our Nation'. Menurut kak Butet, seberapa penting peran Pendidikan untuk memajukan dan memberdayakan komunitas adat yang dijunjung tinggi? 

Butet Manurung: Oke. Kalau aku melihatnya ke makna pendidikan lagi, seolah-olah memang sering sekali dilihat masyarakat adat itu harus dididik, seolah-olah untuk memajukan dunia ini, mereka harus punya pendidikan seperti yang kita punya. Itu yang aku ingin ralat. Ingin aku luruskan sebetulnya. 

Jadi yang dilakukan Sokola sendiri sebetulnya, pendidikan yang kami lakukan kepada mereka itu bukan untuk mengubah mereka. Tetapi lebih untuk membantu mereka menghadapi perubahan-perubahan, mengatasi perubahan-perubahan dari luar. Terutama modernisasi, teknologi, nilai-nilai baru, seperti itu. Mereka sebetulnya baik-baik saja sebelum ada pengaruh dari luar. Karena pendidikan ini diberikan sebagai tambahan ilmu, bukan untuk menggantikan yang mereka punya. 

Jadi harus berbasis kepada budaya mereka dan berbasis kepada persoalan-persoalan yang dihadapi mereka. Jadi kalau misalnya ada masyarakat yang tinggal di hutan, masalah utamanya penebangan kayu, kurikulumnya harus tentang bagaimana mengatasi penebangan kayu. Kurikulum-kurikulum itu dibentuk bersama-sama dengan komunitas disana. 

Jadi setiap sekolah, kita punya 17 lokasi, setiap sekolah kita kurikulumnya berbeda-beda. Kecuali pendidikan dasarnya, itu sama teorinya, tetapi kalimat dan kata-kata contohnya itu tetap harus pakai bahasa lokal. Kita mengajar memakai bahasa lokal semua. 

Desy Bachir: Begitu. 

Butet Manurung: Iya. Kalau melihat 'Heal the Country' tadi yang diusung NAIDOC, kalau indigenous people di dunia dengan indigenous people di Indonesia, istilah itu sebetulnya tidak sama. Seperti di Canada, Amerika, New Zealand dan Australia memang disebutnya indigenous people, orang-orang penduduk asli pertama disini tetapi kalau di Indonesia semua orang Indonesia itu indigenous people, jadi kita tidak menggunakan istilah masyarakat asli di Indonesia tetapi lebih ke masyarakat adat atau yang lebih tepat lagi sebetulnya masyarakat hukum adat. Jadi itu berbeda. Dan kenapa? Semua orang di Indonesia punya sejarah dan keterikatan kepada tanahnya, kepada teritorinya. Aku orang Batak, aku punya nenek moyang dari sana. Jadi beda dengan indigenous people yang ada di Australia. 

Kembali lagi ke tadi, 'Heal the Country' itu, kalau menurut aku penting sekali untuk mendukung peran masyarakat adat atau peran indigenous people di dunia ini, di mana pun karena UNESCO sendiri sudah mengatakan bahwa cara hidup masyarakat adat sebetulnya terbukti berkepanjangan jadi sebetulnya ada banyak yang bisa kita pelajari dari mereka. 

Jadi tidak hanya kita merasa harus mengajarkan indigenous people, justru banyak dan pengetahuan dan keterampilan mereka itu sudah ada sebelum jurnal-jurnal akademik ini ada sebetulnya dan jauh lebih tua. Kita juga tahu jumlah masyarakat adat di dunia ini, walaupun hanya 5%, 400 juta, tetapi mereka menguasai 80% biodiversitas seluruh dunia. Mereka yang memelihara dan 90% keragaman budaya yang ada di dunia. Jadi peran mereka sangat besar sebetulnya menjaga keuntuhan bumi ini. Kita berhutang banyak sama masyarakat adat. 

Jadi kalau misalnya bagaimana untuk 'Heal the Country' itu? Kalau menurut aku harus sudah dimulai kita untuk sama-sama saling belajar. Jadi jangan hanya mengajarkan mereka, tapi kita juga belajar dari mereka. Mereka punya keterampilan, pengetahuan yang bisa memelihara alam dan membuat mereka bertahan, suku Bajau di Sulawesi, pemburu ikan paus di Lamalera atau orang-orang di Amazon. Coba kalau pelajarannya ditukar dengan kurikulum Diknas? Tidak ada cara mengobati gigitan kobra, cara berburu ikan paus. 

Desy Bachir: Aku belum pernah belajar sampai detik ini, kak. 

Butet Manurung: Iya. Maksudnya itu benar-benar relevan atau kontekstual dengan geografis dan budaya mereka, karakter mereka. Jadi dengan NAIDOC ini aku yakin sekali Aborigin di Australia ini, di berbagai tempatnya pasti punya banyak kearifan atau keterampilan yang sangat relevan dengan konteks geografis di Australia. 

Desy Bachir: Iya, menarik sekali. Dari sudut cara pandangnya saja sudah berbeda karena pandangan umumnya harus mengajarkan padahal tidak, kak? Kita sama-sama belajar juga dari mereka. 

Butet Manurung: Iya, betul. 

Desy Bachir: Kalau begitu kak, apa tantangan terbesar selama menjalankan Sokolah Institute? 

Butet Manurung: Itu dia. Tantangan terbesar itu justru perspektif umum itu yang merasa bahwa cara hidup kita yang paling benar dan hanya ada satu jenis kebahagiaan atau kemakmuran di dunia ini yaitu banyak uang misalnya atau punya ijazah sekolah tinggi, atau memelihara alam dengan modal konservasi ala barat. 

Taman nasional dari dulu mengacunya masih ke Yellowstone National Park di Amerika, tetapi disana taman nasional tidak ada manusianya, sementara di negara seperti Indonesia, bahkan di Australia juga ada orang-orang yang tinggal di dalamnya. Misalnya hutan tidak boleh ada orangnya, harus tetap konservasi, manusia harus tinggal di rumah. Manusia harusnya sekolah formal, karena hidup yang beradab seperti itu. 

Jadi makna beradab masih tunggal. Padahal kalau kita benar-benar multukultur, toleran, kita harusnya bisa mengakomodasi semua perbedaan itu dan itu baik untuk bumi juga. Ketimbang semua peraturan taman nasional, peraturan-peraturan yang dibuat secara hukum oleh berbagai negara untuk melindungi konservasi di dunia ini, itu perannya sangat kecil. Aku lupa persentasenya berapa. Jauh lebih besar justru daerah-daerah yang dihidupi oleh masyarakat adat. Mereka memeliharanya. 

Desy Bachir: Oke. Menarik sekali. Itu tantangannya, tapi dalam melawati tantangan demi tantangan pasti banyak inovasi yang dikerjakan. Itu apa saja dan apakah ada yang paling berkesan untuk kak Butet selama menjalankan Sokolah Institute? 

Butet Manurung: Yang paling mudah terlihat, kita melahirkan satu metode baca tulis yang membuat anak bisa membaca dalam satu minggu.Satu sampai dua minggu. Itu metode yang aku temukan waktu di Rimba dulu di tahun-tahun pertama.Itu kita praktekkan ke seluruh Indonesia dengan menyesuaikan dialek-dialek setempat. Bisa lebih cepat bisa lebih lambat.Tapi rata-rata satu minggu. 

Desy Bachir: Cepat sekali. Anakku juga satu minggu belum bisa itu. Bagaimana caranya? 

Butet Manurung: Iya aku dulu belajar sastra Indonesia juga, jadi aku ada pengetahuan sedikit tentang fonologi dan linguistik. Jadi aku membagi bunyi-bunyi sesuai konteks mereka. Berdasarkan bunyi. Begitu intinya, Desy. 

Desy Bachir: Iya. 

Butet Manurung: Terus inovasi lain, kami punya satu model seperti pemetaan partisipatif hutan adat yang dijalankan oleh anak-anak murid kami di Jambi, anak-anak orang Rimba. Itu perjuangannya sekitar 11 tahun. Mereka terancam akan diusir dari hutannya karena hutannya menjadi taman nasional. Mereka mengadvokasi sedemikian rupa, membuktikan bahwa kami punya metode pengelolaan hutan secara adat yang sangat konservasi juga. Mereka melakukan pemetaannya. Kebayang dari belajar baca tulis, belajar pakai GPS, bikin koordinat titik peta, kemudian memasukan ke komputer, belajar bahasa Indonesia dulu, belum kepercayaan dirinya, pakai laptop, nabung dulu, banyak tapi itu. 

Yang paling aku banggakan, setelah 11 tahun kantor BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam) taman nasional disana menerima mereka sampai menandatangani plakat bersama yang mengatakan bahwa Bukit Duabelas National Park ini akan dikelola dengan mengadopsi adat istiadat orang Rimba disana dan kepala taman nasionalnya bilang sama aku model seperti ini akan aku praktekkan di berbagai tempat di Indonesia karena seharusnya mereka itu dilibatkan dan bersama-sama. Pasti ada juga yang mereka tidak tahu tentang ancaman-ancaman perubahan iklim dan lainnya. Model kolaboarasi pemetaan adat itu yang juga menurut aku inovasi yang aku banggakan. 

Desy Bachir: Luar biasa sekali. Kalau kita bicara tentang pemberdayaan masyarakat atau komunitas, kak Lily, Kak Butet adalah alumni penerima dana hibah Alumni Grant Scheme (AGS) untuk pemberdayaan suku adat. Teman-teman, kalau masih ingat, kita juga sempat bahas mengenai AGS. Ini adalah program dari Australia Global Alumni yang didukung oleh Kedutaan Besar Australia yang bertujuan untuk memfasilitasi dan memobilisasi alumni untuk dapat menerapkan pengalaman, pengetahuan, dan jaringan yang didapat ketika di Australia di dalam pemberdayaan masyarakat atau profesi mereka. 

Kak Lily, bisa cerita tidak tentang proyek AGS tahun 2017 yang “Enhancing Indonesia’s Soft-power Diplomacy through Journalism”. Itu hasil proyeknya seperti apa? Kak Butet, kalau tidak salah sekarang lagi melaksanakan ‘Sekolah Suku Tengger Bromo’? 

Butet Manurung: Iya, sedang sekarang. 

Desy Bachir: Mungkin kak Lily dulu boleh cerita mengenai proyek AGS tahun 2017 kak? 

Dr Lily Yulianti Farid:Jadi proyek AGS di 2017 itu, idenya adalah memberikan sejumlah pelatihan menulis sebagai bentuk diplomasi lunak antara Australia dan Indonesia. Pengajarnya berasal dari peneliti dan penulis dari Australia. Kita bekerja sama dengan pengajar dan penulis dari The University of Melbourne dan Monash University lalu kita datang di dua kota, di Makassar dan di Palu. 

Tujuannya itu adalah memberikan kesempatan bagi para dosen, aktivis, teman-teman dari LSM dan juga mahasiswa untuk menulis opini atau mengolah ulang hasil penelitian mereka dalam opini populer dalam dua bahasa dan diterbitkan di The Jakarta Post untuk Indonesia dan Insight Indonesia, sebuah publikasi yang terbit di Australia. 

Desy Bachir: Itu berarti untuk yang di tahun 2017? 

Dr Lily Yulianti Farid:Iya. 

Desy Bachir: Kalau kak Butet sekarang ini untuk yang 'Sekolah Suku Tengger Bromo’? Lagi pandemi begini bagaimana kak untuk menjalankan proyeknya? Ini tentang apa? Hasil yang diharapkan seperti apa? Mungkin boleh diceritakan. 

Butet Manurung: Kalau kegiatan sekolah kami semua itu menetap disana. Jadi sebetulnya jauh lebih kecil Covid menyebar. Kecuali kami gurunya bolak balik keluar. Kalaupun ada kejadian seperti itu, biasanya masyarakat adat punya mekanisme sendiri untuk menghindari penyakit. Seperti di orang Rimba, kalau ada orang yang keluar dari Rimba, masuk lagi diisolasi mandiri juga sudah ada secara adat mereka, namanya besesandingon. 50 meter, bukan 1,5 meter. 

Terus kegiatannya seperti apa? Suku Tengger itu lumayan desa tertinggi di Indonesia, 2100 meter, jadi pintu masuk ke Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Ini desa yang unik karena semua 5 agama ada disitu dan yang menyatukan mereka adalah adat Tengger-nya. Lokasi ini buta hurufnya masih lumayan tinggi, putus sekolahnya tinggi. Mereka dijadikan salah satu tujuan KSPN (Kawasan Strategis Pariwisata Nasional) jadi sangat rawan akan terekspos secara bisnis. Kita mau bikin program selain literasi juga literasi yang lain, literasi wisata, literasi finansial dan literasi ekologis juga, kesadaran mereka terhadap bahayanya kalau terbawa arus wisata atau terbawa arus komersialisasi lahan. 

Desy Bachir: Jadi itu. Kalau kak Lily juga baru menerima dana hibah lagi kalau tidak salah dari the Australia Indonesia Institute Grant untuk penelitian historis hubungan Makassar, Indonesia dengan Australia Utara? Benar tidak, kak Lily? 

Dr Lily Yulianti Farid:Iya dan kita fokus untuk memberi panggung untuk bagi suara dari makasar karena hampir semua inisiatif yang mengambil inspirasi hubungan sejarah ini, dikerjakan oleh teman-teman kita yang ada di Australia. Sehingga sumbernya nanti atau materi yang dihasilkan, terus aksesnya, itu lebih banyak di Australia. Jadi nanti ceritanya adalah ada satu penelitian Bersama ditambah satu proyek kreatif dalam bentuk animasi untuk pendidikan anak mengenai semua teknologi maritim yang sudah dimiliki oleh nenek moyang kita, kondisi sosial, ekonomi, budaya masyarakat Sulawesi dan suku-suku bangsa nusantara yang terlibat dalam pelayaran yang berlangsung hampir 300 tahun ke Australia. Ini belum banyak yang melakukan. Fokusnya itu disitu mbak. 

Desy Bachir: Iya. Ini menarik sekali kalau aku baca sepertinya proyeknya banyak sekali kak. Selain yang tadi AGS 2017, kemudian ini. Ini banyak proyek yang dilakukan oleh kak Lily seputar pemberdayaan masyarakat dan pelestarian budaya. Misalnya 'Makassar International Writers Festival, Memory Project: Comic Talk', berjudul 'Anthropause' yang baru selesai dilaksanakan 23-26 Juni 2021 lalu. 

Dr Lily Yulianti Farid:Iya. Baru 

Desy Bachir: Ini boleh dijelaskan apa ini Makassar International Writers Festival? Dan apakah ini kolaborasi dengan institusi Australia? 

Dr Lily Yulianti Farid:Sebenarnya peran Australia sejak 10 tahun terakhir dalam festival. Itu kegiatan komunitas yang saya lakukan diluar profesi saya sebagai peneliti di Australia. Inspirasinya dari Melbourne karena sekolah dan tinggal di Melbourne kemudian Melbourne adalah kota literatur kedua di dunia yang diakui UNESCO setelah Edinburgh dan banyak sekali hal yang saya pelajari disini yang kemudian saya bawa pulang ke Indonesia untuk memulai mengembangkan festival penulis yang terinspirasi dari sini. Butet termasuk yang cukup rajin datang. 

Desy Bachir: Jadi rajin datang juga kak Butet? 

Butet Manurung: Iya. 

Desy Bachir:Menarik sekali. Ini pertanyaan terakhir. Kak Lily, kak Butet, bagaimana memaknai peringatan pekan NAIDOC? Apa sisi positif yang bisa kita ambil dari sudut pandang penghargaan dan pelestarian terhadap budaya? Dan bagaimana caranya pekan NAIDOC ini bisa dijadikan momentum untuk menceritakan hubungan penting antara Australia dan Indonesia dari sudut pandang peneliti? Dr Lily Yulianti Farid:Kalau dari saya secara pribadi dan juga melihat pekan NAIDOC ini dari Makassar, yang saya senang dalam beberapa tahun terakhir selalu ada perayaan pekan NAIDOC. 

Misalnya tahun lalu di perayaan pekan NAIDOC kami mengadakan kerja sama dengan Konsulat Jendral Australia di Makassar. Kita berhasil membuat eksibisi virtual. Kita mengunjungi karya-karya seni yang dibuat oleh para seniman di Makassar, direkam kemudian disatukan dengan karya seni yang terinspirasi dari kehadiran para pencari teripang dari Makassar yang koleksinya memang cukup banyak di Yirrkala, di Australia Utara. Sehingga semua orang yang merayakan pekan NAIDOC tahun lalu bisa sama-sama ikut berkeliling di dua tempat itu secara virtual dan selain itu kita juga membuat komik untuk anak-anak sekolah yang menceritakan kembali hubungan sejarah ini sehingga bisa diakses oleh sekolah-sekolah di Indonesia dan di Australia karena komiknya dibuat dalam 3 bahasa, bahasa Inggris, bahasa Makassar dan bahasa suku Yolngu di Yirrkala, di Arnhem Land. 

Desy Bachir:Menarik sekali itu. Kalau dari kak Butet sendiri bagaimana mengenai pemaknaan pekan NAIDOC ini? 

Butet Manurung: Aku kemarin hanya bisa melihat dari anakku di sekolah. Aku banyak terinspirasi dari kegiatan anak-anakku. Kenapa Australia tidak membuat buku seperti tadi ada Buku 'Kookoo Kookaburra'? Kenapa tidak membuat yang lebih mendunia. Seperti the Wiggles saja bisa kemana-mana, ke seluruh dunia. Kenapa tidak membuat tokoh kartun atau apa yang kelasnya dunia. Harusnya ini jadi kebanggaan Australia juga, budaya dan keberadaan Aborigin ini. 

Karena aku memang selalu konsen ke anak-anak dan budaya jadi aku piker harusnya 'Kookoo Kookaburra' juga dibuat secara populer untuk anak-anak juga karena kalau anak-anak sudah frekuensinya sama menghargai dan mengagumi adat istiadat Aborigin, nanti makin besar makin bagus. Seperti itu. 

Desy Bachir:Benar. Ini aku sejujurnya baru dari pembicaraan kita ini lebih tahu mengenai pekan NAIDOC kemudian indigenous aku rasa mudah-mudahan teman-teman yang mendengarkan juga bisa mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai hal-hal yang tadi kita sudah bicarakan. 

Buat teman-teman pendengar yang ingin mengikuti atau menyaksikan pekan NAIDOC akan diadakan juga Wisata Virtual - Museum Seni dan Sains Terapan atau Museum Powerhouse, Sydney khusus untuk para siswa di sekolah-sekolah mitra program BRIDGE. Boleh di cek media sosial Kedubes Australia Jakarta untuk informasi selanjutnya. 

Terima kasih banyak kak Lily dan kak Butet sudah bergabung podcast kita hari ini. -Sama-sama Desy. Seru sekali. Teman-teman juga terima kasih banyak sudah mendengarkan. Di episode selanjutnya, akan ada interview eksklusif dengan tamu kita yang lain yang juga pasti sama menariknya dengan hari ini. 

Dengarkan terus OzAlum Podcast, di mana saya akan ngobrol tentang pengalaman alumni Australia yang menginspirasi dan memiliki cerita menarik lainnya. Sekian untuk minggu ini di episode OzAlum Podcast. Jika kamu suka podcast kami, beri kami penilaian dan ulasan yang bagus dan jika kamu ingin tetap terhubung dengan jaringan alumni kami dan tetap mengikuti acara alumni kami, kamu dapat mengikuti update mingguan Alumni Global Australia kami dan bergabung dengan Forum Alumni Australia-Indonesia di LinkedIn. Tautannya ada di deskripsi podcast. Sampai jumpa di sini pada bulan Agustus. 

Oke. Jadi sampai ketemu. Saya Desy Bachir. 

Butet Manurung: Saya Butet Manurung 

Dr Lily Yulianti Farid: dan saya Lily Yulianti Farid. 

Sampai ketemu. Bye.