OzAlum Podcast

Eps #6: What Can We Learn from Young and Aspiring Australian Alumni Entrepreneurs?

August 18, 2021 Australia Global Alumni in Indonesia Season 1 Episode 6
OzAlum Podcast
Eps #6: What Can We Learn from Young and Aspiring Australian Alumni Entrepreneurs?
Show Notes Transcript

Retno Dewati and Rorian Pratyaksa, a successful global investment specialist and experienced start-up leader, have successfully built their career and business from scratch at a very young age. As honourees of Forbes 30 under 30, they credit to the role of past failures in their entrepreneurial journey. Retno says that being adaptive and agile in business are techniques that many entrepreneurs are adopting in today’s market. Rorian adds that in today’s world creating a network of contacts with people who have interests similar to yours is equally essential, in order to learn, exchange and discover business opportunities that can enhance your work profile. 

Give it a listen to our OzAlum Podcast for more tips for entrepreneurial success from our alumni guests and leave a rating and review. 

A full transcript of this episode is available on the OzAlum Podcast website: https://podcast.ozalum.com/

Retno Dewati: Sekarang itu modal ventura (VC) habis-habisan mengeluarkan dana. Banyak sekali VC yang tidak hanya dari local bahkan yang dari luar negeri itu sudah mulai banyak sekali yang masuk ke Indonesia untuk kemudian investasi di startup. 

Rorian Pratyaksa: Kalau saya mulai 2014 total startup yang didanai berapa? Sekarang sudah hampir setiap minggu pasti ada. -Benar. 

Desy Bachir: Halo dan selamat datang di podcast dimana kami membawakan anda beberapa cerita unik dari alumni kami yang menginspirasi, bersama saya Desy Bachir. 

OzAlum Podcast adalah akses kamu ke jejaring global alumni dan podcast ini dipersembahkan oleh tim Australia Global Alumni di Indonesia. 

Teman-teman alumni, apa yang terpikir kalau mendengar kata wirausaha? Mungkin ada yang membayangkan sosok pengusaha wanita muda seperti Melanie Perkins, CEO and salah satu pendiri Australian Tech startup Canva, yang kebetulan aku pakai juga, yang pernah dinobatkan sebagai "Top Under 30 Founders of the Decade" oleh Forbes atau pebisnis handal yang memiliki kemampuan dalam memprediksi tren selanjutnya seperti Rupert Murdoch dan Richard Branson. 

Sebenarnya tidak ada profil demografi atau kepribadian yang spesifik untuk menjadi sesorang wirausaha yang sukses. Siapapun kita, baik itu dari berbagai kalangan usia, gender, suku, status ekonomi dan sosial, sangat bisa menjadi seorang pelaku wirausaha kalau misalnya mempunyai dedikasi, dorongan kuat, mental yang juga kuat, ini pengalaman pribadi dan kemampuan bisnis yang luar biasa dan yang namanya kemampuan kewirausahaan itu bisa dipelajari dan dilatih. 

Seperti halnya pengalaman kedua tamu kita yang sedang menekuni dunia usaha di usia mereka yang masih sangat muda. Kedua alumni kita ini, belum lama mendapatkan penghargaan dari Forbes Indonesia dan Asia untuk kategori pengusaha sukses usia dibawah 30 tahun. Mereka juga penerima beasiswa Australia Awards untuk program kursus singkat tentang bisnis, inovasi dan ekosistem startup. 

Kita sapa dulu sebelum kita bicara dengan kedua tamu kita. Dua R ini kebetulan. Halo Rori, halo Retno. 

Rorian Pratyaksa: Halo mbak Desy. 

Retno Dewati: Halo mbak De Desy Bachir: Hai. Mungkin boleh berkenalan dahulu. Dari siapa ini yang lebih dulu? Rori atau Retno? Bebas aku. 

Rorian Pratyaksa: Kenalkan saya Rorian, saya salah satu pendiri dan Direktur dari Woobiz. Wooboz itu startup yang fokusnya mau membantu individu untuk bisa dapat akses ke ekonomi digital melalui berdagang atau sekarang istilahnya perdagangan sosial, bahasa kerennya. 

Aku sendiri dapat beasiswa kursus singkat di tahun 2016 ke QUT (Queensland University of Technology) fokus studinya di bidang kewirausahaan. Kebetulan waktu itu angkatan pertama dan pemfokusannya waktu itu di peningkatan skala bisnis, fokusnya di teknologi dan manajemen inovasi. 

Desy Bachir: Oke. Jadi itu Rori. Nanti kita akan bicara lebih lanjut mungkin mengenai itu. Kalau Retno sendiri bagaimana? 

Retno Dewati: Halo semuanya. Senang sekali bertemu mba Desy dan mas Rori. Aku Retno, sekarang aku menjabat Principal di perusahaan modal ventura (VC) namanya Access Ventures. Access Ventures sendiri adalah perusahaan modal ventura yang berasal dari Hongkong dan kita sudah berinvestasi di Asia Tenggara sejak tahun 2017. 

Kebetulan dulu juga dapat kursus singkat dari Australia Awards Indonesia di tahun 2019. Itu juga sama programnya untuk ekosistem startup dan yang mengadakan waktu itu, tuan rumahnya adalah Flinders University. Jadi punya kesempatan untuk berinteraksi dan juga sesi berbagi dengan startup dan para VC yang ada di Australia. 

Desy Bachir: Oke. Sangat menarik untuk apa yang dikerjakan oleh Rori dan Retno apalagi sudah diakui juga sampai sudah mendapatkan Forbes 30 under 30. Tentunya kita pasti bangga sebagai sesama alumni Australia dengan penghargaan yang Retno dan Rori sudah dapatkan dan juga kesuksesan yang diraih dibidang kewirausahaan dan modal ventura di usia yang masih sangat muda. 

Kadang orang punya alasan yang berbeda, kenapa masuk ke dunia yang kalian sedang geluti sekarang ini? Kalau misalnya Rori, bagaimana asal muasalnya sampai akhirnya bisa memasuki apa yang sedang dikerjakan sekarang? 

Rorian Pratyaksa: Oke. Sebenarnya Woobiz ini startup saya yang kedua. Jatuh bangunnya lumayan. 

Desy Bachir: Ini adalah yang kedua. Oke. 

Rorian Pratyaksa: Iya. Woobiz ini startup saya yang kedua. Kebetulan memang perusahaan yang sebelumnya saya bantunya di pengadopsian teknologi. Memang saya fokusnya di teknologi, membantu pengadopsian teknologi di kota tingkat 2 dan 3 atau kota di luar metropolitan. 

Saya banyak membantu, bertemu dengan UMKM untuk bisa mengadopsikan teknologi finansial. Rekening bank penetrasinya di sana kurang. Banyak yang terbantu tapi saya juga sadar bahwa sebenarnya bukan hanya layanan finansial yang mereka butuhkan dibantu melakui teknologi tapi mereka punya masalah yang lebih inti yaitu masalah keuangan sebenarnya makanya pada saat saya mau buat startup yang kedua ini fokus saya disitu. 

Motivasi saya memang bagaimana caranya membantu, menyelesaikan ekonomi para pekerja lepas ini dan 2018 akhir saya sama pendiri yang lain kita memutuskan membuat wadah pemberdayaan menggunakan perdagangan dan 2019 kita bangun, habis itu 2020 pandemi. 

Desy Bachir: Jadi ini baru sebenarnya? 2019? 

Rorian Pratyaksa: Baru 2019. Bulan pertama setelah setelah pandemi, bulan kedua itu tiba-tiba kita dapat pertumbuhan alami yang luar biasa dan ekonomi pekerja lepas tiba-tiba naik dan ternyata pekerja lepas 2018 itu di 35,5 juta, habis itu di 2019 36,5 juta. Sewaktu kita lihat datanya, dipertengahan tahun saja itu sudah 40 juta. Jadi naiknya itu di akhir tahun, kita mendapatkan datanya sekitar 47 juta. Jadi 27% kenaikannya. Dari sana kita fokus memberdayakan individu-individu ini. Kita menemukan kecocokan pasarnya disitu. 

Desy Bachir: Oke. Itu ceritanya dari Rori. Kalau Retno sendiri bagaimana? Bagaimana caranya masuk ke dunia modal ventura yang aku tahu juga sebenarnya dunia yang didominasi laki-laki. Mungkin boleh diceritakan kenapa masuk ke sini? Apakah tercebur? Apakah memang kepingin? Atau bagaimana? 

Retno Dewati: Sebenarnya lucunya tidak direncanakan mbak masuk modal ventura. Sebenarnya kalau dilihat dari latar belakangnya, aku belajarnya hubungan internasional untuk S1-nya. 

Waktu itu di 2015, ada perusahaan modal ventura dari Silicon Valley, namanya Fenox Venture Capital, sekarang sudah ganti nama menjadi Pegasus Tech Ventures. Dulu di 2015, waktu aku lagi skripsi mereka itu ada lowongan magang. Aku tidak mengerti sama sekali dunia firma modal ventura waktu itu terus aku daftar, dapat itu, tidak disangka. Setelah 4 bulan magang, aku dipromosikan jadi analis investasi tetap dan banyak belajar industri dan lainnya. Terus suka. Ya sudah, aku menetap di sana. 

Terus 2017, waktu aku umur 23 dipromosikan menjadi Manajer regional Asia Tenggara. Saya sangat suka industrinya. Menetap di sana sekitar 3,5 tahun. Terus sempat bergabung untuk inovasi perusahaan kemarin di Coca-Cola Amatil, kurang lebih sekitar 9 bulan dan baru kemudian di Februari 2020 aku menutuskan untuk kembali ke dunia modal ventura dengan bergabung di Acess Ventures. 

Iya memang benar seperti tadi mbak Desy sempat bilang, sebenarnya VC memang masih posisinya didominasi oleh laki-laki daripada perempuan. Tapi sebenarnya bukan berarti ada ketimpangan. Sebenarnya semua orang punya kesempatan yang sama, hanya kadang yang aku lihat fenomenanya memang mungkin banyak yang memutuskan untuk tidak terjun disana. Kalau misalnya dari teman-teman ada yang tertarik untuk masuk ke dunia VC silahkan. Sekarang banyak sekali yang ingin masuk ke VC dan bisa saya bilang sekarang lumayan kompetitif. 

Desy Bachir: Iya, sepertinya VC sudah menjadi lumayan kompetitif dan sebenarnya menarik sekali dari yang tadinya tidak ada keinginan sama sekali. Tadi ingin jadi diplomat atau jadi pengacara. Ternyata malah terjun ke VC. Tidak melihat balik, keluar sedikit terus balik lagi ke VC. 

Oke. Tadi kita tadi bicara mengenai tantangan-tantangan yang dialami. Tadi Rori sudah sempat menyebutkan ini startup yang kedua, yang pertama jatuh bangun dan aku rasa sesama wirausahawan namanya jatuh bangun tidak hanya satu kali, ada jatuh bangun, jatuh bangun, kita berharap berakhir di bangun. Tapi ingin tahu apa tantangan terbesarnya yang sudah dialami Rori selama ini sebagai seorang pendiri dari startup? 

Rorian Pratyaksa: Ya. Kalau saya sebenarnya, kalau sebagai pendiri startup, saya selalu percaya bahwa perbaikan diri itu yang terpenting. Jadi kalau saya musuh terbesarnya itu diri kita sendiri. Musuh terbesar, tentangan terbesar adalah keraguan diri. Waktu pertama kali buat startup harus memimpin orang-orang yang terkadang umurnya jauh di atas saya. Apakah dia percaya dengan apa yang saya katakan? Jadi banyak keraguan diri tapi lama kelamaan mulai percaya diri dan itu juga salah satunya karena ada semangat pantang menyerah, percaya dengan kemampuan dan teori 10.000 jam itu benar. Jadi 417 hari kurang lebih. Kalau kita lakukan terus menerus, lama-lama biasa dan mampu. 

Jadi menurut saya tantangan terbesar memang di diri sendiri, keraguan diri. Kata kuncinya sebenarnya tidak apa tidak tahu semua. Kalau kita sudah punya tim, kita bisa menyelesaikan bersama tim dan juga budaya startup saya, saya coba bangun, tidak apa kita coba karena literasi yang akan menjawab semua masalahnya. Apakah itu, seperti tadi, jatuh 7 kali bangun 8 kali tapi semoga tidak jatuh sampai 7 kali. 

Desy Bachir: Oke. Tadi kita sudah dengar kalau buat Rori tantangan terbesarnya sebenarnya adalah diri sendiri. Susah, kalau orang lain kita bisa kasih tahu, kalau diri sendiri kadang-kadang susah. Kalau misalnya Retno? Apa tantangan terbesarnya di dunia modal ventura? 

Retno Dewati: Kalau aku mungkin aku mau bagi menjadi dua, mbak. Yang pertama sebenarnya agak mirip dengan mas Rori tapi lebih ke arah pengembangan diri terus kemudian yang kedua dinamika di dunia VC itu sendiri. Mungkin aku mulai dari pengembangan diri dulu. 

Tadi di awal, aku sempat bilang, aku tidak ada latar belakang bisnis dan keuangan. Akhirnya mau tidak mau ikut pelatihan. Tidak sampai berhenti di situ, tantangan berikutnya adalah kalau jadi manajer regional itu pada akhirnya aku harus merepresentasikan perusahaan pada saat rapat dewan komisaris dan lainnya. Sudah aku yang paling muda di dalam ruangan rapat, terus perempuan dan kebanyakan di situ adalah mereka yang sudah sangat berpengalaman. Kadang kita jadi merasa minder. Cara saya menangani hal tersebut waktu itu adalah bilang sama diri sendiri, 

Oke, lihat bos kamu yang basisnya di Amerika saja, dia percaya kamu, umur segini sudah bisa diberi kesempatan sebagai manajer regional. Jadi daripada menaruh keraguan di diri sendiri, kenapa tidak coba manfaatkan sebagai momen untuk membangun jejaring dan profilemu. Jadi pada akhirnya waktu itu yang aku lakukan adalah justru semakin keluar. Makin keluar dalam artian sering manggung aja, mbak. Jadi ada ada acara-acara, diundang jadi pembicara aku jalani. Jadi murai waktu itu. Murainya dalam artian untuk membangun kepercayaan diri bahwa saya itu bisa. Saya punya kapabilitas itu. Mungkin itu kalau dari sisi pengembangan diri. Sekarang kalau dari dinamika VC itu sendiri, VC dan penggalangan dana startup itu sekarang sangat kompetitif, mbak. 

Dulu, 5 tahun yang lalu mungkin banyak startup itu harus muncul ke acara-acara besar, presentasi ke depan ribuan atau ratusan investor untuk kemudian bisa diinvestasi. 

Desy Bachir: Sekarang kebalikan kali? Retno Dewati: Sekarang permainannya beda. Benar. Sekarang kebalikan. Investor yang harus jemput bola. Banyak startup bagus yang baru seminggu, dua minggu atau katakanlah sebulan baru keluar kandang ibaratnya, tiba-tiba penggalangan dana mereka sudah melebihi permintaan. 

Tiap harinya itu aku harus berpikir, kalau ada penawaran bagus, apa yang kira-kira bisa kita jual. Kita mau investasi. Selain uang, kelebihan apa yang bisa kita berikan ke perusahaannya. Apakah kita bisa mendukung pengembangan bisnisnya? Apakah kita punya akses ke negara lain? Jadi kalau startupnya mau ekspansi kesana kita bisa bantu dan sebagainya. Jadi kita harus benar-benar seperti mencoba menjual sesuatu. Kita bukan hanya menanam uang ke mereka tapi kita memiliki kelebihan lain yang bersaing. Itu sebabnya kalian harus menerima uang kita dibanding dari firma modal ventura yang lain. Sangat menantang. 

Desy Bachir: Menantang. Mau menawarkan uang saja sekarang susah, Retno karena saking banyaknya yang mau menawarkan uang. Iya. Saya pikir kalian berdua memasuki dunia yang sekarang ini juga dalam usia yang cukup muda. Kalau misalnya kalian lihat dalam perjalanan kalian siapa orang-orang yang kalian jadikan mungkin pegangan, mungkin mentor dalam perjalanan menjalani karir dan usaha yang sedang kalian jalani ini? 

Rorian Pratyaksa: Kalau saya tidak ada spesifik orang karena memang banyak sekali mentor saya karena satu masalah spesifik saya butuh mentor yang bisa jawab masalah spesifiknya itu. Tapi jejaring itu sangat berguna apalagi jejaring pertemanan, jejaring sesama rekan pelaku wirausaha sangat berguna karena pengalaman mereka itu dekat sekali dengan kita. 

Seperti misalkan hanya beda satu bulan, dua bulan, kita menemukan masalah ini sekarang, mereka sudah melewati itu satu bulan, dua bulan yang lalu. Jadi mentor yang saya rasa paling efektif buat saya seperti teman-teman saja. Teman-teman sesama pendiri, sesama pelaku wirausaha. 

Misalkan mau penggalangan dana, saya ada sedikit kebingungan soal persyaratan dan lain-lain, terus ada teman yang baru meresmikan perjanjian satu bulan yang lalu. Tanya ke dia. Jawabannya sangat relevan jadi bisa cepat. Beruntungnya juga karena kita di Australia juga banyak teman seangkatan yang sama-sama pengusaha dan juga sukses-sukses jadi bisa saling berbagi disitu. Dapat banyak mentor atau kita yang bahkan jadi mentornya. Bisa saling berbagi. 

Desy Bachir: Oke. Kalau Retno sendiri bagaimana? Adakah mentor yang spesifik yang kamu andalkan? 

Retno Dewati: Aku dulu sempat pernah punya. Bisa dibilang ada seseorang yang dekat. Mungkin bisa saya anggap sebagai mentor tapi setelah lama-lama aku pikir tidak juga. Kenapa? Karena pada akhirnya diri kita sendiri yang tahu yang terbaik untuk kita. Ada teman dekat dimana biasanya setiap kali saya mau membuat keputusan itu aku akan bagi ke dia. Tapi pada akhirnya sebenarnya dia mau bicara apa, saya sudah punya jawaban yang saklek. 

Desy Bachir: Begitu? Retno Dewati: Iya. Dengan yang aku mau itu apa. Terkadang hanya mencari validasi. Terkadang ingin dengar orang lain setuju dengan rencana aku. Paling penting itu tadi, kalau misalnya ada orang yang diajak bicara untuk membahas rencana saya pikir lebih baik daripada kita hadapi sendiri. 

Desy Bachir: Iya. Oke. Aku baru lihat, jadi baru-baru ini pak Erick Thohir mengatakan bahwa tinjauan jumlah wirausahawan di Indonesia itu baru 3,47%. Ini rendah sekali kalau dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara. Apalagi juga pembaginya kita jauh lebih besar. Bagaimana tanggapan teman-teman mengenai peran generasi muda dalam memperkuat fondasi kewirausahaan di negara berkembang seperti Indonesia? Gantian, Retno dulu, coba jawab. 

Retno Dewati: Oke. Pertama, kalau wirausaha disini sebenarnya banyak. Ada yang konvesional terus ada yang startup teknologi. Mungkin aku bisa bantu jawab dari sisi startup teknologi karena itu memang di duniaku. Sebenarnya, mbak, berdasarkan pengalamanku aku akhir-akhir ini sebenarnya lumayan banyak startup-startup baru yang muncul. Banyak anak muda yang mulai berani untuk bikin startup. Hanya memang tidak semuanya itu berhasil. 

Indonesia itu sebenarnya susah-susah gampang untuk ditembus pasarnya. Satu, tantangannya adalah dinamika dari perilaku pasar setiap kota atau bahkan setiap pulau itu memang sudah berbeda. Jadi memang itu menantang sekali. Tapi sebenarnya kita itu lagi ada di masa dimana pemerintahannya itu sangat mendukung sekali dengan startup teknologi. Terus kita juga sudah mulai dibukakan jalan untuk perusahaan-perusahaan teknologi untuk melantai di bursa minggu ini. Buka Lapak yang pertama untuk bisa melantai di bursa efek. 

Jadi sebenarnya banyak sekali kesempatan dan aku setuju kalau peran anak muda atau milenial itu besar sekali untuk bisa membangun perekonomian negara terutama dari sisi teknologi dan jangan khawatir, sekarang itu modal ventura habis-habisan mengeluarkan dana. 

Banyak sekali VC yang tidak hanya dari lokal, bahkan yang dari luar negeri itu sudah mulai banyak yang masuk ke Indonesia untuk kemudian investasi di startup. Tapi intinya kita punya kesempatan, banyak pendanaan disana, jadi kalian anak muda yang mau membangun bisnis-bisnis startup seperti yang dilakukan mas Rori, silahkan saja karena banyak kesempatannya. 

Desy Bachir: Iya. Kalau dari Rori bagaimana? 

Rorian Pratyaksa: Kalau bicara generasi muda dan kewirausahaan sebenarnya ini topik yang dari zaman saya kuliah, saya paling tertarik dengan topik ini. Karena saya dulu kuliahnya ekonomi jadi kita coba regresi. Ingin tahu ada hubungannya tidak antara pola pikir wirausaha atau tingkat kewirausahaan dengan pendapatan per kapital karena itu salah satu indeks yang menentukan daya beli. Itu saya coba ternyata memang sangat berhubungan tapi kalau kita coba survei ternyata memang salah satu isu utamanya pola pikir sebenarnya. Karena misalkan ditanya apakah mau buka usaha sendiri, tidak kepikiran, seperti itu. 

Tapi ini zaman sudah berubah apalagi ada media sosial dan lain-lain. Banyak motivasi yang bisa orang dapatkan. Kuncinya memang di wawasan, peningkatan wawasan. Karena dari sana sebenarnya, dari wawasan itu kita jadi mengeksplorasi sesuatu yang baru, kita jadi berinovasi, apalagi perusahaan rintisan keunggulan utamanya dibanding perusahaan yang sudah lama, inovasi sebenarnya. 

Semakin tinggi wawasannya, harusnya literasi inovasinya bisa lebih tinggi sehingga kemungkinan dia untuk terus coba dan bisa menghasilkan produk yang unggul lebih tinggi. Kalau saya melihatnya seperti itu dan positif untuk Indonesia. Kalau saya mulai awal 2014, total startup yang didanai berapa? Sekarang sudah hampir setiap minggu pasti ada. 

Desy Bachir: Benar tapi apa yang sebaiknya dilakukan olah pengusaha supaya mampu bertahan, berkembang, bersaing bahkan di tingkat Internasional?Mungkin kalau dari aku sebenarnya di dunia startup kita melewati dua fenomena, mbak. 

Retno Dewati: Pertama kalau dulu melihat sebelum tragedi WeWork, dulu startup itu benar-benar habis-habisan membakar uang. Tapi saya pikir setelah tragedi WeWork itu kita modal ventura, investor dan lainya, kita juga jadi berlajar sesuatu. Ketika kita melihat sebuah bisnis atau startup, satu hal yang pendiri harus pertimbangkan itu adalah efisiensi dana (cash efficiency) dan jalan menuju profitabilitas (path to profitability). Itu penting sekali. Bagaimana caranya mereka bisa berkelanjutan dengan tidak begitu bakar uang saja tapi memang dari awal sudah ada rencana jalan menuju profitabilitasnya. 

Setelah itu berubah lagi, ada fenomena yang sampai sekarang, COVID-19. Tidak ada yang bisa memprediksi COVID-19 terjadi. Seberapa cepat para pendiri ini bereaksi terhadap fenomena tertentu untuk kemudian bergerak atau beradaptasi terhadap situasi tersebut. 

Kalau bicara apa tipsnya supaya bisa bersaing secara internasional atau berkelanjutan, mungkin dari awal dilihat dari produknya. Aku selalu bilang biasanya kalau melihat startup atau mengevaluasi bisnis itu, jenis produk ini butuh lokalisasi tidak? Kalau butuh lokalisasi, itu seberapa ribet lokalisasinya? Salah satunya, aku berinvestasi di perusahaan penilaian kredit. Terus dia pakai kecerdasan buatan, pakai metadata, jenis produk ini tidak butuh lokalisasi sebenarnya karena mau di negara manapun semua butuh penilaian kredit dan jenis metadata tersebut bisa diambil dari telepon kalian. Jadi pola pikirnya dari awal memang sudah mendunia jadi memang produknya dari awal sudah sesuatu yang tidak butuh lokalisasi yang terlalu banyak. 

Berdasarkan pengalaman saya, kalau mau memperbesar atau memperluas itu penting sekali yang namanya ada orang lokal atau mitra lokal Misalnya mau memperluas ke Malaysia, Filipina, atau Vietnam misalnya, yang dinamika pasarnya paling mirip sama Indonesia. Kita mungkin bisa bilang prilaku pasarnya sama tapi ada hal lain yang disana mungkin kalian tidak tahu. Bukan dinamika pasar tapi peraturan. Mungkin bisa saja terhalang di peraturan atau yang lain. Jadi pastikan kalau memang mau ekspansi itu ada mitra lokal atau orang lokal di lapangan. 

Desy Bachir: Iya, benar. Rori mungkin ada yang ingin ditambahkan? 

Rorian Pratyaksa: Itu benar sekali. Kalau saya tambahannya paling, kalau kita mau bersaing, bagimana caranya kita bisa mengatur sumber daya yang kita punya seefisien mungkin. Kalau misalkan ada satu startup dapat pendanaannya 10 juta dolar atau 100 milyar tapi manajemennya tidak efisien memakainya, yang efektif cuma 10 milyar ternyata. Ada satu lagi startup yang dapatnya cuma 15 milyar tapi mungkin semuanya efektif. Itu sudah langsung kelihatan. 

Bukan hanya jumlah uang yang didapat sebenarnya yang bisa menentukan startupnya itu sejauh apa tapi juga manajemen sumber daya. Mungkin ada startup yang timnya 100 orang tapi ternyata banyak yang tidak efektif juga, yang kerja sebenarnya cuma 15. Ada juga ternyata bangunnya dari awal, pelan-pelan, yakin dulu, sampai dia yakin orang ini yang dia butuh. Dia punya 25 tim tapi kerjanya semua tersinkronisasi, semuanya bagus dan bisa kelihatan bahwa startup mana yang lebih efektif dan di dunia teknologi ini ada keindahan sebenarnya yang hanya di startup teknologi yang dipakai. 

Karena kalau konvensional biasanya ada aset. Asetnya dihitung investasinya berapa, akan bertahan berapa lama, ada amortisasi dan depresiasi, semacam itu. Kalau di startup ini tidak ada aset yang berwujud. Karena kalau kita tadi bicara jalan menuju profitabilitas, kalau kita bicaranya teknologi salah satunya adalah itu tadi, bagaimana caranya kita bisa mengakuisisi atau kita bisa menjalankan operasional seefisien mungkin tapi pendapatannya itu bisa terjamin dan berulang sehingga itu jadi aset. 

Desy Bachir: Iya. Jadi memang kalau dari Rori tambahannya, pesannya memang harus efektif dan efisien. Oke. Tadi Retno dan Rori sempat cerita mengenai keikutsertaan kalian di beasiswa kursus singkat yang dikelola oleh Australia Awards di Indonesia. Mungkin bisa diceritakan sedikit pengalamannya bagaimana dan keuntungan apa yang didapatkan dari situ? Mungkin bisa dimulai dari Retno. Silahkan. 

Retno Dewati: Iya. Kalau aku sama Australia sendiri, aku bisa bilangnya dua beasiswa. Yang pertama itu sebenarnya dulu aku sempat masuk sebagai delegasi dari Canberra Fellowship. Itu untuk yang Emerging Women's Leaders. Waktu itu punya kesempatan juga untuk bertemu dengan akselerator, Menteri Luar Negeri di Canberra. Tapi sebenarnya yang paling berkesan itu bertemu dengan akselerator karena dari situ aku dapat pekerjaan, mbak. 

Yang tadi aku bilang, habis keluar dari Pegasus itu aku sempat ke Coca Cola Amatil. Itu inovasi perusahaannya dipegang sama BlueChilli Accelerator. Itu akselelator dari Sydney. Jadi saya bertemu mereka selama Canberra Fellowship. Kemudian April waktu Short Term Awards yang ekosistem startup, aku pelajari dinamika startup disana itu bagaimana dan sampai sekarang masih ada salah satu pendana awal dari Australia yang sampai sekarang masih aktif mencari kesempatan pendanaan ke Asia Tenggara. Jadi masih sering berkomunikasi, bagaimana bisa bekerja sama, berbagi penawaran dan lain-lain. 

Desy Bachir: Oke. Itu kalau ceritanya Retno. Kalau ceritanya Rori bagaimana mengenai kursus singkat di Australia? 

Rorian Pratyaksa: Kalau aku waktu itu kursus singkatnya yang teknologi tapi itu ke 4 kota jadi luar biasa. Jadi benar-benar seperti dalam tur band. Kita sempat keliling di Queensland, Sydney, Brisbane sama Canberra untuk belajar dari startup-startup di setiap kota. Kebetulan juga sama ke BlueChilli juga. 

Yang berkesan sekali sebenarnya mereka punya filosofi "Dari Australia ke dunia." Jadi mulai dari Australia tapi produknya dipakai bisa untuk luar negeri. Seperti Canva sebenarnya semua dari Australia tapi semuanya di akses global. Marketnya selalu dia bilang berpikir global dan itu yang kita pelajari sekali karena mereka sangat fokus di produk terutama di teknologinya. 

Desy Bachir: Oke. Jadi itu inspiratif juga. Dua tahun lalu Rori juga menerima penghargaan dari Kedutaan Besar Australia untuk alumni dari kategori "Outstanding Young Alumni Award". Ini sebenarnya apa yang membuat kamu mendapatkan penghargaan tersebut? Dan kalau misalnya teman-teman alumni mau ikut serta dalam menominasikan diri sendiri atau sesama alumni bagaimana caranya? 

Rorian Pratyaksa: Iya waktu itu saya lagi aktif-aktifnya di jaringan alumni Australia, dari sana saya dapat informasi dinominasikan juga sama teman-teman seangkatan yang lain. Kalau ada yang mau ikut sebenarnya bisa langsung ke websitenya Australia Awards, disitu ada formulir nominasinya itu bisa buat menominasikan diri sendiri atau kalau ada temannya yang mungkin menginspirasi itu bisa diajukan disana. 

Sekarang itu kalau tidak salah ada 3 kategori. Ada Innovation and Entrepreneurship Award, ada Promoting Women’s Empowerment and Social Inclusion Award sama Alumni of the Year Award. Itu kalau tidak salah tutupnya di tanggal 23 September jadi masih ada waktu. 

Desy Bachir: Masih keburu teman-teman. Buat teman-teman yang mendengarkan kalau misalnya mau daftar untuk menominasikan orang lain atau menominasikan diri sendiri jangan lupa kunjungi website Australia Awards dan mengisi formulirnya secara online, tutupnya tanggal 23 September. 

Ngomong-ngomong soal tanggal, kita tahu di bulan Agustus ini ada perayaan World Youth Day dan juga World Entrepreneur’s Day World Youth Day tanggal 12 Agustus dan juga World Entrepreneur’s Day tanggal 21 Agustus. Sebagai milienal yang sukses dalam bisnisnya, menurut kalian apa tips yang bisa dibagi ke teman-teman alumni sekarang yang sedang memulai berwirausaha agar mampu menciptakan lapangan kerja baru dan berkontribusi dalam pertumbuhan ekonomi di Indonesia? Pertanyaannya gampang ditanyakan tapi jawabannya mungkin susah. Apa Retno? 

Retno Dewati: Kalau aku mungkin secara umum. Tidak hanya kalau mau bisnis tapi karir juga, mbak. Tahu saatnya untuk menyerah. Kita itu harus tahu kapan kita harus menyerah. Karena terkadang kalau kita sudah tahu kita tidak bisa memenangkannya, ya sudah saatnya menyerah, habis itu beradaptasi atau ubah rencana kalian. 

Jadi kalau misalnya pengusaha baru mulai terus waktu kita lagi memvalidasi produk ternyata kita melihat memang kecocokan produk di pasar tidak ada. Kalau memang sudah tahu kecocokan produk di pasarnya tidak ada, tidak usah dipaksakan dengan jangan menyerah. Itu artinya kalian harus menyerah dan mencoba mengubahnya karena mungkin aku lihat kebanyakan startup yang gagal itu dari awal memang sudah kecocokan solusi masalah atau kecocokan produk di pasarnya itu salah duluan. 

Desy Bachir: Iya. Menurut saya itu tips yang bagus. Kalau dari Rori sendiri bagaimana? 

Rorian Pratyaksa: Kalau dari saya, tingkatkan wawasan, sudah pasti. Kita tidak mungkin tahu semua jawabannya jadi harus selalu meningkatkan wawasan. Tapi sebenarnya yang terpenting banyak kesempatan itu selalu lewat saja tapi tidak kita sadari mungkin. 

Salah satunya mungkin seperti misalkan di jaringan alumni Australia ini ada Forum Alumni Australia – Indonesia di LinkedIn. Itu saya banyak juga mendekati orang dari sana, kolaborasi dan banyak menghasilkan sebenarnya. Harus mulai lebih aktif dan peka dengan jejaring sekitar kita. Intinya sebenarnya kolaborasi. Harus kolaborasi. Tidak mungkin semua bisa kita lakukan sendiri. Mungkin nanti ada yang mau kolaborasi dengan saya bisa juga. 

Desy Bachir: Itu adalah undangan terbuka, teman-teman tapi saya sangat suka apa yang Rori katakan. Tidak usah kebanyakan gengsi. Kadang kita juga butuh orang lain. Tidak usah gengsi kita tahu semuanya, kita tetap butuh orang lain, kita butuh jejaring baru dan kita harus tahu kapan mau berhenti. Sebenarnya itu intinya. 

Oke. Terima kasih sekali Rori dan juga Retno sudah bergabung podcast kita kali ini. Di episode selanjutnya, masih ada interview eksklusif dengan tamu kita yang lain. Dengarkan terus OzAlum Podcast, di mana saya akan berbicang tentang pengalaman alumni Australia lain yang tentunya menginspirasi dan memiliki berbagai cerita menarik. 

Sekian untuk episode kali ini di podcast OzAlum. Jika kamu suka podcast kami, beri kami penilaian dan ulasan dan jika kamu ingin tetap terhubung dengan jaringan alumni kami dan tetap mengikuti acara alumni kami, kamu dapat mengikuti update mingguan Alumni Global Australia kami dan bergabung dengan Forum Alumni Australia-Indonesia di LinkedIn. Tautannya ada di deskripsi podcast. 

Sampai jumpa di sini pada bulan September. Oke semuanya. Saya Desy Bachir. 

Rorian Pratyaksa: Saya Rorian Pratyaksa. 

Retno Dewati: Saya Retno Dewati. 

Sampai ketemu. Bye.