OzAlum Podcast

Eps #8: Mental Health: Does It Still Matter During Transition to Post-Pandemic Life?

October 28, 2021 Australia Global Alumni in Indonesia Season 1 Episode 8
OzAlum Podcast
Eps #8: Mental Health: Does It Still Matter During Transition to Post-Pandemic Life?
Show Notes Transcript

Is the pandemic over, or will there be another wave? Now that vaccination access is increasing, infection rates are dropping and provinces are opening up, there are new things to think about: adjusting back to post-pandemic routines (and ditching our pyjamas), getting back into work in real life, commuting and driving our kids to school. To some of us adjusting back to pre-pandemic habits can be stressful. What about the uncertainty whether there will be another wave? In this eighth episode, our OzAlum Andi Baso Tombong, a lecturer at Hasanuddin University and Karina Negara, a young psychologist and co-founder of KALM Counselling shares some tips for those of us needing a boost to get into the swing of things. 

Tune into our OzAlum Podcast and leave a rating and review. The podcast is available on Spotify, Apple Podcasts, Google Podcasts, YouTube, and the OzAlum website.


A full transcript of this episode is available on the OzAlum Podcast website: https://podcast.ozalum.com/

Andi Baso Tombong: Kalau kita lihat definisi ini secara umum maka kesehatan mental itu adalah bagian dari kesehatan. Bisa saya katakan tidak ada kesehatan tanpa kesehatan mental. 

Karina Negara: Mungkin aku mau menunjukkan bahwa isu apapun jangan selalu disalahkan ke pandemi dulu karena pandeminya lagi menunjukkan kamu ada masalah ini. 

Desy Bachir: Halo dan selamat datang di podcast dimana kami membawakan anda beberapa cerita unik dari alumni kami yang menginspirasi, bersama saya Desy Bachir. 

OzAlum Podcast adalah akses kamu ke jejaring global alumni dan podcast ini dipersembahkan oleh tim Australia Global Alumni di Indonesia. 

Teman-teman semoga dalam keadaan sehat karena sekarang ini pemerintah lagi memulai proses transisi COVID-19 dari pandemi menuju endemi dan di saat yang sama pemerintah juga mengintensifkan vaksinasi, mendisiplinkan 3M, mengakselerasi testing dan juga tracing. 

Kalau aku pribadi lumayan berbesar hati karena berita yang baru-baru ini yang dikeluarkan oleh covid19.co.id per 11 Oktober 2021, persentase kesembuhan covid 19 di Indonesia mencapai 96%. Bahkan negara kita, Indonesia disebutkan peringkat pertama di Asia Tenggara dalam indeks kesembuhan Covid yang dirilis media Nikkei Asia. 

Saat ini kita memang sudah mulai beraktifitas normal. Sudah mulai kembali bekerja di kantor, untuk yang sekolah juga sudah mulai sekolah ataupun kuliah. Tapi, tidak sedikit dari kita yang sebenarnya sudah merasakan nyamannya menjalani rutinitas dari rumah. Jadi proses transisi ini sedikit banyak akan memengaruhi mental dan emosional kita. 

Menteri Kesehatan Indonesia, Budi Gunadi Sadikin baru-baru ini menyatakan bahwa masalah kesehatan mental dapat menjadi gelombang keempat dari pandemi Covid-19 jika tidak diatasi secara baik. Saat ini di Indonesia, 1 di antara 5 penduduk berisiko memiliki potensi masalah gangguan jiwa, sebagaimana yang disebutkan oleh Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza, Dr Celestinus Eigya Munthe. 

Sayangnya, walaupun sudah mulai dibahas tapi isu kesehatan mental di Indonesia di beberapa area, kalangan masih menjadi stigma dan masih menjadi hal yang tabu, yang sebenarnya dapat berdampak buruk pada penderita. Bagaimana sebaiknya kita mempersiapkan dan menjaga kesehatan mental dalam rangka menjalankan proses transisi ini ditengah adanya stigma tentang isu kesehatan mental di Indonesia? 

Di podcast kali ini, kedua alumni tamu kita yaitu Karina Aelyo Nindyo Kusuma Negara dan Andi Baso Tombong akan berbagi pengalaman dan tips dalam membangun kesehatan mental dalam dalam proses transisi ini. Sebelum kita bicara mengenai topik-topik tadi, kita sapa dulu kedua tamu kita. Halo, Karina. Halo, Andi. 

Karina Negara: Halo, Mbak Desy. Halo, Mas Andi. Hi, semua. 

Andi Baso Tombong: Halo, Mbak Desy, Halo, Karina. Halo Semuanya. 

Desy Bachir: Halo. Kita mungkin berkenalan dulu sebelum kita bicara mengenai topik kita hari ini. Mungkin Andi bisa cerita, perkenalan diri secara singkat supaya teman-teman alumni juga tahu. 

Andi Baso Tombong: Ok. Halo teman-teman semua. Nama saya Andi Baso Tombong. Saat ini saya bekerja sebagai dosen di fakultas keperawatan di Universitas Hasanuddin. Sebelumnya saya sebagai manajer keperawatan untuk rawat jawan dan rawat inap di rumah sakit daerah di kabupaten Bulukumba. Saya alumni Australia Awards Indonesia, Master of Advanced Nursing University of Melbourne dan saya juga merupakan seorang penyintas Covid 19. 

Desy Bachir: Jadi ini kita punya dua penyintas? Karena Karina juga penyintas. 

Karina Negara: Betul. 

Desy Bachir: Ok. Karina sebagai penyintas lainnya boleh Karina cerita sedikit, perkenalan mengenai Karina. Silahkan. 

Karina Negara: Boleh. Halo semua. Saya Karina Negara. Aku S1 psikologinya di Universitas Indonesia dan di University of Queensland, Bachelor of Arts in Psychology. Lalu S2 di Universitas Indonesia lagi mengambil psikologis klinis anak dan salah satu pendiri KALM. KALM dengan "K". KALM adalah perusahaan kesehatan mental. Nanti kita boleh bicara lebih lanjut tentang KALM. 

Aku penyintas Covid 19, gejala ringan, isoman di rumah, tetap tidak enak. Memang lebih beruntung dari banyak orang yang sampai dirawat di rumah sakit. Tapi tetap saya tidak berharap terjadi ke siapapun. 

Desy Bachir: Kalau Andi dulu Covid 19 nya yang seperti Karina, ringan atau bagaimana? 

Andi Baso Tombong: Iya. Kemarin pneumonia ringan, bilateral. 

Desy Bachir: Tapi sampai masuk ke rumah sakit? atau cukup isoman? 

Andi Baso Tombong: Hampir dibawa ke rumah sakit tapi akhirnya kita memutuskan untuk tidak dibawa ke rumah sakit. 

Desy Bachir: Iya. Kalau menurut Andi dan Karina sendiri sebenarnya kesehatan mental itu apa? Dan sebenarnya seberapa besar pengaruh kesehatan mental dalam kehidupan kita sehari-hari? 

Andi Baso Tombong: Oke. Kita bagusnya membahas kesehatan dulu. Jadi kesehatan itu adalah kondisi sempurna dari seseorang baik itu fisik, mental maupun sosial tanpa ada batasan atau terbebas dari penyakit. Jadi kalau kita lihat definisi ini secara umum, maka kesehatan mental adalah bagian dari kesehatan. Kalau saya bisa bilang, tidak ada kesehatan tanpa kesehatan mental. 

Desy Bachir: Tidak ada kesehatan tanpa kesehatan mental. Kalau menurut Karina sendiri bagaimana? Apakah akan mengamini, menambahkan atau bagaimana? 

Karina Negara: Iya. Setuju sekali. Aku mau melengkapi saja bahwa bicara tentang kesehatan, mau itu fisik maupun mental, kita itu dibilang sehat kalau hal-hal yang ada pada kita, misalnya tangan kita, kaki kita, mata kita dan sebagainya itu berfungsi sesuai fungsinya, yang pertama, yang kedua dengan optimal. Jadi kalau membicarakan kesehatan mental, pikiran, perasaan dan prilaku. Tiga itu berfungsi dengan optimal dapat dibilang sehat. 

Desy Bachir: Pikiran, perasaan, prilaku. Tapi kalau misalnya di Australia kesehatan mental ini seperti di Indonesia? Maksudnya masih ada yang tidak percaya atau sudah lebih baik kesadaran mengenai kesehatan mental. 

Karina Negara: Menurut aku di seluruh dunia sepertinya masih ada orang-orang yang tidak merasa kesehatan mental itu penting. Jadi kalau dibilang Australia pasti sudah semuanya peduli kesehatan mental, aku rasa tidak juga tapi kalau mau dibandingkan dengan Indonesia bisa dibilang jauh lebih baik kesadarannya, lalu selanjutnya dari kesadaran adalah penanganan. Karena kesadaran itu satu hal, sudah mengerti. Habis itu ada aksi tidak? 

Jadi kalau aku bandingkan, Indonesia dengan Australia secara umum, tidak spesifik area, bisa jadi sama-sama tinggi tapi aksi, interfensi atau penanganan masih lebih bagus Australia dibandingkan Indonesia. 

Desy Bachir: Tapi apa ciri-cirinya menurut Karina dan Andi kalau kita ini sudah membutuhkan penanganan mengenai keadaan kesehatan mental kita? 

Andi Baso Tombong: Iya. Kalau dari saya, saya pernah merasakan bahwa sepertinya kesehatan mental saya terpengaruh. Yang pertama mungkin adalah perubahan sikap. Misalnya yang awalnya kita senang bercengkrama dengan keluarga, tiba-tiba sepulang dari kerja atau luar rumah kita langsung masuk ke kamar. Jadi ada perubahan sikap yang tiba-tiba. 

Kemudian kita juga sering sakit. Seperti yang kita sampaikan tadi bahwa ternyata kalau kita cemas dan kita mengalami kesehatan mental yang tidak seimbang itu kadang berpengaruh ke fisik. Jadi kadang kita sakit badannya tanpa alasan yang jelas. Kemudian ada perubahan pola tidur dan mungkin kita suasana hatinya berubah-ubah, temperamennya berubah. Seperti itu. 

Desy Bachir: Jadi sumbunya lebih pendek. Lebih gampang marah dan lain-lain. Kalau dari sisi psikologi bagaimana Karina? 

Karina Negara: Kalau dari aku mau kasih perspektifnya seperti ini, kita sama-sama setuju bahwa kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Jadi mari kita rawat kesehatan mental ini seperti kita merawat kesehatan fisik. Tidak menunggu sakit baru dirawat. Fisik kita, kita rawat tidak menunggu sakit bukan? 

Jadi kalau kesehatan mental, kalau memang sudah sampai ada rasa yang sangat tidak enak, tidak usah ragu lagi. Jangan bertanya. Rawatlah dan lakukanlah sesuatu. Mau dicoba dahulu sendiri merawat kesehatan mentalnya. Kalau sudah tidak mempan silahkan ke konselor, psikolog atau psikiater. Tapi kalau buat aku merawat kesehatan mental itu jangan menunggu sakit. Seperti minum vitamin saja. 

Jadi intinya tahu batasanmu karena ketika kita bekerja di luar limit kita, kadang stresnya akan datang dan itu akan berefek ke kita juga. Jadi tubuh kita itu memiliki mekanisme penyelesaian masalah sendiri. Jadi mekanisme penyelesaian masalah itu adalah kemampuan untuk beradaptasi dengan stres yang masuk. Jadi ketika kita mampu beradaptasi dengan baik, kita tahu limit kita sampai di mana. Penyelesaian masalah kita akan bagus. Tetapi kalau kita tidak tahu batasan diri kita, akan ada dampaknya ke kesehatan mental. 

Desy Bachir: Iya. Mungkin seperti yang dibahas limit itu adalah sesuatu yang kadang-kadang terbiasa diminta untuk dorong. Mungkin ada tips untuk teman-teman alumni yang sudah berkeluarga, yang sudah mempunyai anak, bagaimana caranya mengendalikan kecemasan dan kekhawatiran dari situasi yang tidak jelas kepastiannya sampai kapan? 

Karina Negara: Tips dari aku, pertama untuk orang tuanya dulu dan untuk diri sendiri. Jadi orang tua dulu harus pastikan strategi penyelesaian di diri sendiri itu cukup efektif karena kalau belum punya strategi penyelesaian yang efektif akan susah kita mendampingi anak-anak untuk meregulasi emosi mereka, untuk anak-anak ini menghadapi stress kalau kita sendiri saja belum bisa sebagai orang dewasa. 

Jadi coba cari hal-hal sederhana saja. Hal kecil yang bikin tenang untuk menghadapi stres yang sudah pasti akan ada sehari-hari walaupun mungkin beda-beda intensitas stresnya. 

Desy Bachir: Tapi kalau di kasus Andi sendiri ada tidak kecemasan, kekhawatiran bahwa keadaan sudah sedikit demi sedikit bertansisi dari hidup kita selama hampir 2 tahun terakhir? 

Andi Baso Tombong: Iya. Kekhawatiran jelas ada. Jadi anak kita yang terbiasa sekolah di rumah dan sebentar lagi kita akan lepas ke pembelajaran tatap muka. Saya pribadi memiliki kekhawatiran tersendiri. Kekawatirannya bahwa anak-anak saya itu tidak mampu mengikuti apa yang seharusnya diterapkan. 

Desy Bachir: Protokol kesehatan maksudnya? 

Andi Baso Tombong: Iya. Jadi anak-anak itu adalah kelompok usai yang berperilaku secara spontan. Jadi mereka berinterasi dengan temannya itu secara spontan juga. Mereka berlari, tiba-tiba berpelukan dengan temannya, atau tarik-menarik dengan teman-temannya. Hal-hal seperti ini yang membuat kita khawatir karena kita perlu sadar juga bahwa anak-anak ini tergolong kelompok penyebaran super cepat. 

Kalau pertanyaan mbak Desy tadi apa tips yang bisa dibagikan teman-teman pendengar? Saya sepakat sekali dengan Karina bahwa orang tua itu harus memiliki penyelesaian masalahnya sendiri. Pertanyaannya penyelesaiannya seperti apa untuk mempersiapkan anak-anak tersebut? 

Jadi kalau dari saya yang bisa saya bagikan ke teman-teman bahwa kita harus mendampingi anak kita secara penuh. Secara penuh dalam arti mendampingi informasinya harus tepat dan kita memastikan juga anak-anak kita mendapatkan penjelasan yang tepat. Dan kalau bisa semua orang tua itu menjadi panutan untuk anak-anaknya. Jangan sampai kita mengajarkan anak-anak kita menjalankan protokol Kesehatan tapi ternyata kita sendiri tidak melaksanakan protokol kesehatan tersebut. 

Khusus untuk kesehatan mental ini orang tua juga bisa memastikan ke pihak sekolah bahwa ada layanan-layanan yang disediakan oleh sekolah, baik itu dalam mengukur kepatuhan anak-anak tersebut di sekolah ataupun dukungan mental untuk anak-anak tersebut. Tersedi atau tidak. 

Karina Negara: Aku mau menambahkan satu lagi. Bicara soal interaksi dimana ketika pandeminya sudah berjalan setahun, aku sebagai psikolog anak ada kekhawatiran baru dimana kemampuan sosial mereka tidak berkembang. Menurut aku bisa dipikirkan. Tentunya dengan menjaga protokol kesehatan, kalau punya sepupu bisa tetap sesekali bertemu. Karena anak-anak itu butuh ketemu orang langsung, interaksi langsung. Beda dengan di zoom, video call saja tidak cukup. Jadi. Anak kalian membutuhkan itu. Mereka berhak atas hubungan sosial juga. 

Desy Bachir: Karena kita bicarakan topik kembali ke sekolah tatap muka. Andi adalah salah satu penerima Alumni Grant Scheme di tahun 2021 yang proyeknya adalah Mari bergerak maju mempersiapkan murid dan guru sekolah dasar untuk memulai kelas tatap muka dalam pandemi Covid 19 dan beradaptasi dengan kebiasaan normal baru. Ini tepat dengan anak-anak kembali sekolah. Proyek ini bagaimana? 

Andi Baso Tombong: Iya. Jadi proyek ini sebenarnya terinspirasi dari keinginan pemerintah untuk membuka sekolah di beberapa bulan yang lalu. Tujuannya adalah memang murni untuk mempersiapkan anak-anak sekolah ini untuk memulai pembelajaran tatap muka dan membiasakan mereka dengan kebisaan yang baru. Selain mereka yang dipersiapkan, tentunya guru-guru di sekolah juga harus dipersiapkan. 

Jadi guru dan siswa sekolah dasar ini juga kita berharap bisa dipersiapkan sebelum masuk ke kelas. Kalau di Makassar dimulai November. Jadi yang kami usulkan adalah 6 sekolah dan sebelum ini ada kegiatan dari Ikatan Alumni Australia yang ada di Makassar (IKAMA SulSel) dan kami akan melanjutkan program mereka. Jadi mereka bekerja sama dengan Konjen Australia di Makassar itu memberikan bantuan-bantuan fasilitas cuci tangan di beberapa sekolah tersebut. Kebetulan program kami ini berkaitan dengan itu. Jadi kami akan berusaha untuk masuk ke sekolah tersebut tentunya dengan izin dari Dinas Pendidikan kota Makassar 

Desy Bachir: Semoga berjalan dengan lancar. Ini aku mau bertanya, tadi Karina sebut pendiri KALM dengan "K" dan Karina juga psikolog klinis anak. Selama pandemi apakah kamu melihat pertumbuhan dalam penggunaan aplikasinya? Karena sepertinya banyak orang juga semakin gelisah selama pandemi ini. 

Karina Negara: Iya. Benar sekali. Jadi memang pengguna aplikasi KALM meningkat jauh sekali. Aku tidak tahu angka pastinya. Artinya orang ternyata butuh stresor yang sebegitu besar baru peduli dengan kesehatan mental. Tapi ada keuntungannya dimana orang jadi peduli dengan kesehatan mentalnya. Yang tadinya tidak peduli, jadi peduli. 

Jadi memang yang mengunduh semakin banyak dan konseling. Topik yang paling banyak dikeluhkan itu kecemasan memang. Mungkin aku mau menunjukkan bahwa isu apapun, urusan hubungan, anak dan orang tua, sekolah, kerja atau apapun, jangan selalu disalahkan ke pandemi dulu. Karena banyak orang yang "Karena pandemi saya bercerai", "Karena pandemi anak saya begini". 

Padahal pandeminya lagi berperan sebagai sinar menurut aku. Lagi menunjukkan kamu ada masalah ini. Makanya balik lagi. Kesehatan mental, kesehatan relasi, kesehatan hubungan dengan siapapun dijaga. Jangan menunggu ada masalah baru dijaga. Balik lagi kesitu moralnya. 

Desy Bachir: Benar. Tapi kalau KALM itu sebenarnya bagaimana Karina? Mungkin teman-teman di sini ada yang belum tahu. Mungkin bisa dijelaskan. Apa itu? 

Karina Negara: Jadi KALM itu awalnya aplikasi konseling online saja. Orang mungkin tahunya itu. Kita meluncurkan aplikasinya di 2018. Perusahaannya sudah dari akhir 2017. 

Sekarang tidak hanya aplikasi konseling online saja, chat konseling. Sekarang juga ada video konseling. Walaupun masih via zoom. Via platform lain tapi tetap unduh dulu aplikasi KALM daftar anonim, tidak harus pakai nomor telpon, nama asli juga tidak harus kalau tidak mau. Hanya nama panggilan saja lalu nanti setelah membeli paket konseling. Ada pilihannya beberapa hari, sesuai anggaran saja. Ada yang 3 hari, 7 hari, dan 28 hari. 

Nanti dipasangkan dengan konselor yang paling sesuai karena kita tidak asal mencocokkan. Jadi kalau misalnya orang-orang yang mau konsul tentang depresi, kecemasan, akan dicocokkan dengan konselor yang memang keahliannya di situ. 

Desy Bachir: Kalau misalnya kita bandingkan dengan di Australia, seberapa maju mereka dibandingkan dengan Indonesia? 

Karina Negara: Iya. Mungkin majunya sehubungan dengan pemerintahnya bagaimana memberikan layanannya menurut aku. Jadi kalau misalnya masalah metodenya sama saja. Terapi-terapi yang ada di sana, ada di sini juga. Terapi bicara, atau mau sebut nama-nama terapi lain di Indonesia juga bisa dan ada. 

Tapi kita ketinggalannya di bagaimana pemerintahnya memberikan akses itu. Di sana mungkin banyak akses gratis, hotline, dan lain-lain. Disini bukannya tidak ada tapi belum optimal. 

Desy Bachir: Sudah ada? Kalau Andi sendiri bagaimana? Mungkin punya pengalaman tentang perbedaan bagaimana kesadaran kesehatan mental dan penanganan ini di Australia dan di Indonesia? 

Andi Baso Tombong: Yang menarik dan berbeda di Australia mungkin adalah kampanyenya. Kampanye dari berbagai macam pihak terkait kesadaran kesehatan mental ini. Waktu saya di Melbourne banyak sekali seperti itu dan itu masih terjaga sampai saya kuliah di tahun 2016. 

Desy Bachir: Iya mungkin jadi hal yang biasa saja. Berpengaruh tidak? Dan apa penyebabnya di Australia lebih biasa dibandingkan dengan di sini? 

Karina Negara: Sepertinya stigmanya. Maksudnya di Australia orang sudah lebih nyaman saja sedangkan kita masih kebawa budaya orang tua yang mengatakan kalau ada masalah simpan sendiri. 

Aku mendorong teman-teman di Indonesia maupun di Australia yang sedang mendengarkan ini, cari dan temukanlah tempat yang kamu rasa aman itu. Karena ada tempat aman dan nyaman itu ada di mana-mana. Makanya kalau aku dan tim membuat KALM itu, kamu dapat bantuan yang kamu butuhkan, telepon kamu bisa jadi tempat aman untuk berbagi. 

Desy Bachir: Tapi sebenarnya ada tidak pelajaran yang didapatkan waktu mengambil studi di Australia yang diimplementasikan dalam keseharian di sini, di Indonesia? 

Andi Baso Tombong: Iya. Untuk menangani pasien Covid-19 kita harus mengatur rumah sakit untuk pasien-pasien Covid-19 yang membeludak. Padahal tempat tidur di rumah sakit itu terbatas. Jadi kami harus menyiapkan tempat tidurnya. Untuk pasien sendiri apa yang dipelajari di Australia dan yang diterapkan untuk pasien-pasien Covid-19 supaya kesehatan mental mereka terjaga? 

Jadi ada satu hal penting yang saya pelajari di Australia yaitu tentang memberikan kabar buruk. Pasien-pasien ini ada yang biasa saja, orang tanpa gejala (OTG) pada saat itu kita kenalnya. Kemudian ada yang ringan, ada yang sedang dan ada juga yang berat dan kita berhati-hati untuk melakukan ini. Karena memberikan kabar buruk itu menyampaikan hal-hal yang kurang baik kepada pasien-pasien yang memang kondisinya kurang baik. Jadi ini perlu kehati-hatian dari seluruh petugas dan ini harus diberikan oleh seorang klinisi dalam hal ini dokter penanggung jawab layanan. 

Jadi kita sebagai perawat tidak bisa langsung mengatakan kondisi bapak ini sangat buruk sekali. Ini kita melihat paru-parunya seperti ini. Tidak bisa seperti itu karena memberikan kabar buruk itu ada aturannya sendiri. 

Kemudian hal yang lain saya pelajari adalah masyarakat disana itu menyampaikan permasalahannya dengan gamblang. Dan ini mungkin yang belum terlalu diterapkan di masyarakat kita di Indonesia. Ketika ditanyakan tentang penyakitnya tidak dengan gamblang menyatakan bahwa ini permasalahan saya. Hal itulah yang coba dikembangkan agar perawatannya ini berlangsung dengan baik dan mereka mampu melewati masa-masa sulit tersebut. 

Hal lain yang saya pelajari di Australia khususnya di bidang kesehatan adalah praktik berbasis bukti (EBP) dimana ini adalah sebuah proses mentransasi hasil-hasil riset dan bukti ilmiah untuk dipraktekkan dalam tatanan klinis atau pelayanan kesehatan secara langsung. 

Jadi hasil penelitian yang bagus itu kemudian diolah menjadi panduan resmi melalui proses yang pasti dan terstandar. Dalam kaitannya dengan dukungan mental ini saat menjadi kepala seksi keperawatan atau manajer perawat di area rawat jalan dan rawat inap di Rumah Sakit Bulukumba, kami sempat bekerja sama dengan salah satu perguruan tinggi di kabupaten Bulukumba untuk memberikan dukungan kesehatan mental kepada para perawat pelaksana pemberi pelayanan langsung. Pelayanan langsungnya kepada pasien Covid-19. 

Desy Bachir: Iya. Kalau misalnya Karina untuk kita hidup berdampingan dengan Covid-19, ada tips tidak supaya kita bisa hidup berdampingan dengan Covid-19 dengan mental yang stabil? 

Karina Negara: Iya. Belajar tentang emosi. Itu penting sekali karena ketika kita berhadapan dengan hal-hal yang membuat stres, mau itu pandemi, Covid-19 atau apapun hal pertama yang perlu kita lakukan aldalah mengakui perasaan kita. Sebenarnya itu. Sedangkan kebanyakan orang Indonesia hal pertama yang dilakukan adalah lari dari perasaan. 

Formatnya sederhana tapi prakteknya susah-susah gampang. Makanya pakai latihan. Formatnya: Aku merasa ... karena ... Itu saja. Jadi kalau mau mencari solusi, akui dulu perasaan yang bisa lebih dari satu karena kita pada waktu tertentu, sekarang, di detik satu ini kita bisa merasa lebih dari satu perasaandan itu tidak apa, itu manusiawi. Akuilah semua perasaan yang hadir itu. 

Andi Baso Tombong: Dulu waktu isolasi mandiri satu selama 1 bulan 3 hari. Benar, mbak Karina, saya tertarik sekali dengan tadi, kenali emosinya. "Saya merasa seperti ini karena ..." Saya tidak tahu format itu itu sebelumnya tapi itu saya rasakan. 

Desy Bachir: Diaplikasikan? 

Andi Baso Tombong: Saya sempat cemas karena saat itu takut. Kenapa tidak sembuh-sembuh setelah test covid ke 8? Akhirnya saya menyadari ada sesuatu yang salah dengan tubuh saya tapi saya pendam sendiri. 

Bahkan ke istri saya, saya tidak cerita tapi akhirnya saya memberanikan diri, saya cemas karena apa? Karena saya takut kehilangan, meminggalkan orang-orang yang saya cintai. Akhirnya semangat saya kembali lagi dan itu berfungsi. 

Desy Bachir: Lebih ke arah sana. Kalau misalnya menurut Andi, apa yang bisa diperbaiki atau sudah dilakukan untuk memfasilitasi kesehatan mental para tenaga kesehatan ini? 

Andi Baso Tombong: Saya kira selama ini kita sudah melakukan hal tersebut sehingga tenaga medis di Indonesia itu sudah saling mendukung. Jadi saya berharap agar saling mendukung ini terus dipertahankan karena kita harus saling mendukung satu dengan yang lain. Kita semua harus saling mendukung. 

Begitu pun dengan profesi non-kesehatan bisa saling mendukung ke profesi kesehatan. Misalnya poliklinik rawat jalan, bagaimana memisahkan pasien yang terduga Covid-19 dengan pasien umum. Jadi kita membutuhkan masukan dari profesi-profesi misalnya teknik sipil, arsitek dan lain-lain. 

Hal yang penting yang ingin saya sampaikan adalah dukungan ke profesi kesehatan atau tenaga medis itu perlu dipertahankan atau mungkin perlu ditingkatkan. Kita harus bersama-sama keluar dari pandemi ini. Jadi semua elemen masyarakat itu harus sama-sama berjuang. Sama-sama berkontribusi dengan caranya masing-masing, sekecil apapun itu. Itu, mbak Desy. 

Desy Bachir: Kalau Karina, ini ada beberapa kelompok yang lebih rentan terhadap permasalahan kesehatan mental. Orang dengan masalah kejiwaan misalnya. Apa saja yang dilakukan? Ada penanganan khusus tidak untuk orang dengan kondisi khusus itu? 

Karina Negara: Mungkin kita sebagai masyarakat awam selalu memposisikan diri untuk penasaran. Artinya kalau orang penasaran bertanya. Jangan berasumsi. Siapapun kita, kalau kita melihat ada orang di sekitar kita yang sepertinya butuh dukungan lebih lanjut, jangan langsung menyuruh ke psikolog. Jangan seperti itu. Itu tidak efektif untuk dia. Tapi ajak bicara. 

Memang harus meluangkan waktu kalau memang sayang dengan orang itu memang butuh meluangkan waktu dan meluangkan energi emosional untuk mendengarkan dia dan mendampingi dia sampai dia mendapatkan bantuan yang dia butuhkan. Kita tanya kamu lagi butuh aku dengarkan saja, butuh saran atau butuh apa? Supaya aku tidak salah bicara. Mereka akan mengapresiasi itu karena nanti kita tidak memberi saran yang tidak diminta. 

Desy Bachir: Benar. Ini sebenarnya masih banyak sekali yang ingin aku bahas. Tapi sayangnya kita harus bicara di lain kali untuk membahas mengenai kesadaran kesehatan mental, penanganan dan lain-lain. 

Mudah-mudahan teman-teman pendengar alumni juga mendapatkan banyak wawasan bahwa semua itu memang dimulai dari niat diri sendiri sebenarnya karena alatnya sudah banyak sekali. Terima kasih sekali lagi Andi dan Karina untuk bergabung di episode OzAlum podcast kali ini. 

Untuk teman-teman di episode selanjutnya masih akan ada lagi interview eksklusif dengan tamu alumni yang lain. Dengarkan terus OzAlum Podcast dimana saya nanti akan bicara mengenai pengalaman alumni Australia yang menginspirasi dan juga memiliki cerita menarik lainnya. 

Sekian untuk episode kali ini di podcast OzAlum. Jika kamu suka podcast kami, beri kami penilaian dan ulasan dan tanggal 19 November akan ada acara spektakuler Australian Alumni Awards Virtual Presentation yang diselenggarakan oleh Australian Embassy dan Australia Global Alumni in Indonesia. 

Di acara tahunan ini kami mengapresiasi komunitas alumni Australia yang telah menunjukkan kontribusi luar biasa kepada profesi, masyarakat dan juga negara melalui kepemimpinan, integritas, inovasi dan kerja keras yang tentunya luar biasa. Tahun ini akan diumumkan pemenang dalam kategori Alumni of the Year Award, Innovation and Entrepreneurship Award, dan Promoting Women's Empowerment and Social Inclusion Award. 

Teman-teman semua diundang untuk hadir secara virtual dan menikmati penampilan musik dari Afgan, keynote speech dari Ibu Mari Elka Pangestu dan dipandu oleh Tommy Tjokro dan Marissa Anita. Jangan lewatkan. Catat sekarang tanggal 19 November 2021 jam 4.00 - 5.30 sore WIB. 

Ditayangkan di zoom dan juga kanal YouTube Australia - Indonesia Alumni. Acaranya terbuka untuk umum jadi ajak semua teman-teman, keluarga dan daftarkan kehadiran teman-teman paling lambat 15 November di oz.link/awards2021. 

Jangan lupa untuk ungah fotomu menggunakan artibut Australia di media sosialmu. Boleh Instagram, boleh Twitter menggunakan #OzAlumAwards2021 sebelum tanggal 15 November. Atribut terbaik akan diumumkan di tanggal 19 November dan akan mendapatkan hadiah dari para sponsor alumni kami. 

Jika kamu ingin tetap terhubung dengan jaringan alumni kami dan tetap mengikuti acara alumni kami, silahkan berlangganan update mingguan Alumni Global Australia kami dan bergabung dengan Forum Alumni Australia-Indonesia di LinkedIn. Tautannya ada di deskripsi podcast. Sampai jumpa di November. 

Oke. Akhirnya waktu juga yang memisahkan kita. Saya Desy Bachir. 

Andi Baso Tombong: Saya Andi Baso Tombong. 

Karina Negara: Saya Karina Negara. 

Sampai ketemu. -Bye.