OzAlum Podcast
OzAlum Podcast
Eps #9: Are We Working Hard Enough in Ensuring Sustainable Fisheries & Aquaculture in Indonesia?
We all know that sustainable aquaculture development and effective fisheries management are critical to maintain nation’s food security and economy but what are the key factors to achieve sustainable aquaculture and fisheries in Indonesia? In this ninth episode, OzAlum Dr Hendra Yusran Siry, Secretary of the Directorate General of Marine Spatial Management at the Ministry of Marine Affairs and Fisheries, and Utari Octavianty, Co-Founder and Chief Sustainability Officer of fishery startup Aruna take us to dive deeper into ocean conservation and sustainable use of marine resources to benefit people, nature and the economy.
Tune into our OzAlum Podcast and leave a rating and review. The OzAlum Podcast is available on these platforms:
· OzAlum website at https://podcast.ozalum.com/
· Spotify at https://open.spotify.com/show/3WuiQwzIO7OTPCuU3bWne4
· Apple Podcasts at https://podcasts.apple.com/id/podcast/ozalum-podcast/id1557220149
· Google Podcasts at https://podcasts.google.com/feed/aHR0cHM6Ly9mZWVkcy5idXp6c3Byb3V0LmNvbS8xNjk1NDE1LnJzcw==
Note: on minute 25:34, Dr Hendra Yusran Siri mentions “pitinyo”, which means “dana”.
A full transcript of this episode is available on the OzAlum Podcast website: https://podcast.ozalum.com/
Dr Hendra Yusran Siry: Usahakan makan ikan. Kalau bisa setiap minggu. Kemudian tentunya jangan jadikan laut ini sebagai tempat sampah raksasa.
Utari Octavianty: Dan juga tidak melihat profesi di perikanan ini sebagai satu industri yang tertinggal.Perikanan ini juga satu industri yang cukup keren dan menopang perekonomian Indonesia juga.
Desy Bachir: Halo dan selamat datang di podcast dimana kami membawakan anda beberapa cerita unikdari alumni kami yang menginspirasi, bersama saya Desy Bachir.
OzAlum Podcast adalah akses kamu ke jejaring global alumni dan podcast ini dipersembahkan oleh tim Australia Global Alumni di Indonesia.
Sebagai negara maritim dengan luas wilayah laut yang dapat dikelola sebesar 5,8 juta km2, sektor kelautan menjadi sangat strategis bagi Indonesia. Padahal jika potensi pembangunan ekonomi kelautan Indonesia dikelola dengan inovatif dan baik, bisa sekali untuk menjadi salah satu sumber modal utama pembangunan yang dapat memberikan manfaat maksimal untuk negara dan juga masyarakat Indonesia.
Bertepatan dengan peringatan World Day Aquaculture atau Hari Dunia Budidaya Perairan, Podcast episode 9 kali ini kita akan bahas bagaimana pengelolaan sektor perikanan yang berkelanjutan dan memberikan manfaat untuk kesejahteraan rakyat.
Disini saya ditemani oleh kedua tamu spesial yang telah lama sekali bahkan puluhan tahun menggeluti bidang kelautan dan akuakultur dan juga seorang sociopreneur dibidang perikanan startup. Hallo pak Hendra dan mbak Utari.
Dr Hendra Yusran Siry: Halo mbak Desy.
Utari Octavianty: Halo.
Desy Bachir: Apa kabar?
Dr Hendra Yusran Siry: Alhamdulillah. Kabar baik.
Utari Octavianty: Baik.
Desy Bachir: Alhamdulillah, baik. Daripada aku yang bertanya, mungkin perkenalkan diri terlebih dahulu. Mungkin pak Hendra dulu boleh memperkenalkan diri.
Dr Hendra Yusran Siry: Baik. Perkenalkan saya Hendra Yusran Siry. Saya sekarang diamanatkan menjadi Sekretaris Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut di Kementerian Kelautan dan Perikanan. Saya lulus di Australian University tahun 2010 secara formal selesai.
Sehari-hari juga menangani, memfasilitasi kegiatan yang terkait juga dengan budidaya baik yang berada di pesisir maupun di laut. Saya kira itu mbak Desy. Sekedar pengenalan singkat.
Desy Bachir: Iya. Karena berbincangnya nanti. Kalau mbak Utari mungkin boleh memperkenalkan diri.
Utari Octavianty: Halo pak Hendra, mbak Desy dan semuanya. Perkenalkan nama saya Utari. Saya alumni studi singkat dari Australia Awards yang keempat. Jadi kita waktu itu kita di Flinders University sekitar 2 mingguan.
Kalau saya sendiri itu adalah salah satu pendiri sekaligus Chief Sustainability Officer dari Aruna. Aruna singkatnya itu adalah startup yang membantu komunitas nelayan dengan teknologi untuk mendapatkan akses pasar yang lebih baik.
Desy Bachir: Okey. Kita akan bahas lebih lanjut mungkin mengenai hal ini. Di awal aku sempat bahas bahwa perikanan Indonesia memiliki potensi yang sangat besar.
Kalau mengacu dari data Badan Pusat Statistik usaha perikanan itu mengalami pertumbuhan yang sangat signifikan. Nilai produk domestik bruto (PSB) perikanan pada quartal dua itu sebesar 188 triliun rupiah atau 2,83% terhadap nilai PDB Nasional. Bahkan di tengah pandemi ini Indonesia naik peringkat menjadi peringkat 8 sebagai eksportir utama produk perikanan dunia di tahun 2020.
Kalau menurut pak Hendra dan Utari sendiri. Sejauh mana sebenarnya kontribusi perikanan terhadap perekonomian nasional termasuk juga terhadap ketahanan pangan nasional? Bagaimana pak Hendra?
Dr Hendra Yusran Siry: Pertama mungkin bisa kita lihat dengan pandemi yang berlangsung 2019 sampai 2020 kita bisa liihat petumbuhan sektor kelautan dan perikanan itu tetap dalam kondisi yang terus positif. Artinya tidak minus seperti pariwisata karena kebutuhan akan ikan cenderung terus meningkat dan ini juga bisa kita lihat tadi disampaikan menyumbang sampai 188 triliun dan secara konsisten di tren 2016 sampai 2020 terus menunjukkan ekspor Indonesia di angka 5,7% dan juga pangsa pasar Indonesia adalah 4,2% dari pangsa pasar dunia.
Kita punya contoh bagus misalnya produksi di Sumatera Barat di Pasaman yang kemarin dikunjungi Menteri kami. Itu juga memberikan kontribusi cukup besar karena pangsa pasarnya sampai 50.000 ton dalam sebulan dan ini juga merupakan perikanan rakyat dan itu menopang kehidupan mayarakat setempat.
Sebagai gambaran juga mbak Desy, kalau kita di resepsi pernikahan dan lain-lain, kalau udang itu yang pertama dilirik dan itu selalu cepat habis baik itu yang diolah maupun mentah, segar dan sebagainya. Saya kira ini menunjukkan bahwasanya kita mempunyai kecenderungan untuk menyukai produk lautan dan itu mempunyai nilai prestisenya tersendiri. Banyak yang bisa kita lihat. Kalau udah kita punya volume yang 1,260 juta ton dan nilainya bisa sampai 5,2 milyar USD.
Desy Bachir: Per tahun?
Dr Hendra Yusran Siry: Iya. Pertahun. Kemudian salah satu udang yang mempunyai nilai cita rasa bagus itu adalah uang perairan Arafura. Ini yang kita juga menjaganya agar tetap ada. Karena udang di laut Arafura itu mempunyai cita rasa gurih yang beda dengan udang lainnya. Kenapa gurih? Karena hutan bakaunya tetap terjaga di beberapa tempat seperti Papua Barat. Hubungannya sangat kuat antara bagaimana kita melestarikan hutan bakau, udang dan ekosistem pesisir lautnya. Saya kira itu mungkin mbak Desy. Nanti terlalu panjang tidak enak juga. Silahkan.
Desy Bachir: Tidak apa-apa. Ini mendengarkan sambil lapar membayangkan udang bakar. Kalau menurut mbak Utari sendiri bagaimana? Sejauh mana kontribusi perikanan terhadap perekonomian nasional dan termasuk juga terhadap ketahanan pangan nasional?
Utari Octavianty: Setuju dengan pak Hendra sudah disampaikan bagaimana ikan ini data-datanya saja menunjukkan bahwa kita itu berpengaruh. Bahkan selama pandemi, industrinya ini justru tumbuh. Tadi bicara di luar sisi pasarnya sebenarnya kalau kita bicara ekonomi bagaimana perikanan itu betul-betul bisa berdampak bukan hanya kepada pembeli tapi kepada kelompok nelayan atau pembudidaya yang terlibat sebagai produsennya.
Di Indonesia sendiri jumlahnya cukup banyak, mungkin kalau dari yang saya baca terakhir itu sekitar 2,7 juta yang terlibat di industri ini dan semuanya menggantungkan kehidupannya dari hasil produksinya entah itu dari hasil tangkapan ataupun dari hasil budidaya yang diproduksi.
Indonesia sebenarnya bisa berdiri sendiri dengan hasil perikanan kita dari yang di laut maupun yang di tambak. Kita cukup kaya, hanya memang kalau secara konsumsi yang kita harus lebih mencintai lagi konsumsi hasil perikanan dari kita sendiri.
Desy Bachir: Memang berapa tingkat perikanan kalau di Indonesia dibandingkan dengan negara tetangga?
Utari Octavianty: Kalau tidak salah yang terakhir itu 54 koma sekian per kg per kapital. Itu kalau misalnya dibandingkan dengan Singapura, itu masih lebih tinggi Singapura. Padahal negaranya lebih kecil.
Desy Bachir: Kepiting semua saya rasa isinya. Kepiting pedas Singapura. Buat teman-teman semua tahun 2020 sebagai informasi mbak Utari termasuk dalam Forbes 30 Under 30 Asia 2020 dan juga Forbes 30 Under 30 Indonesia 2021 sebagai wirausahawan sosial dengan ciptaannya berupa aplikasi startup perikanan yang tadi sudah disebutkan, Aruna.id.
Sebenarnya tadi sudah sekilas kenapa Aruna diciptakan dan didirikan awalnya tapi mungkin boleh diceritakan saja lebih lanjut mengenai prosesnya terus mungkin tantangan-tantangannya dan bekerjasama dengan siapa dalam mewujudkan aplikasi Aruna.id.
Utari Octavianty: Kalau Aruna sendiri misinya sederhana, kita ingin sekali menjadikan laut Indonesia ini sebagai sumber kehidupan yang lebih baik untuk semua itu termasuk kelompok nelayan, keluarganya dan lain-lain.
Dalam mengembangkan Aruna sendiri, awalnya kita buat dari website dulu yang menghubungkan antara komunitas nelayan dan juga pembeli. Sampai kemudian kita menyadari untuk menyelesaikan ini tidak bisa dengan satu solusi teknologi. Jadi kita perlu bikin terintregrasi, makanya Aruna itu diposisikan sebagai platform perikanan yang terintegrasi. Jadi kita ingin menjadi platform yang menghubungkan bukan cuma kelompok-kelompok nelayan tapi juga pelaku industri sampai kepada pembeli. Dengan begitu rantai pasokannya akan terbentuk lebih efisien. Karena kita memiliki komunitas nelayan-nelayan kecil yang saat ini ada sekitar 26.000 di 70 lokasi di seluruh Indonesia, kita jadi tahu saat ini lagi musim masuknya dimana.
Karena tadi seperti pak Hendra bilang, contoh tuna harus bergerak terus. Otomatis pindah dari satu tempat ke tempat lain. Begitu juga komoditas lain itu ada musimnya. Jadi kita tahu musimnya lagi dimana dan itu yang kita ajak nelayannya untuk memproduksi. Jadi produksi itu bukan lagi didasarkan karena hasil nelayan ingin menangkap sebanyak-banyaknya tapi produksi diarahkan berdasarkan permintaan. Sehingga itu lebih berkelanjutan.
Dengan begitu ada tantangan selanjutnya, yaitu masalah impementasi teknologinya. Sementara nelayan tidak semua punya smartphone. Jadi akhirnya kita pilih anak-anak muda yang kebanyakan mereka punya semangat untuk kerjanya kembali ke desa dan akhirnya merekalah yang membantu. Kita sebut mereka sebagai pahlawan lokal. Pahlawan lokal ini adalah perpanjangan tangan Aruna di lapangan untuk berkomunikasi dan berinteraksi langsung dengan kelompok-kelompok nelayan yang ada yang kita bina juga dan beberapa komoditasnya itu kita olah. Kita olah supaya punya nilai tambah dan itu kita mempekerjakan istrinya atau ibu-ibu pesisir yang ada di sana kita latih supaya bisa memproses yang lebih tinggi. Dengan begitu yang diberdayakan itu bukan hanya kelompok nelayan tetapi seluruh ekosistem pesisirnya.
Untuk ke depan yang menjadi tantangan di Aruna itu adalah infrastuktur. Sekarang itu bahkan satu desa di Aruna jarak tempuhnya dari bandara harus naik mobil dulu 3-4 jam ke pelabuhan naik kapal 10 jam, baru sampai ke pulaunya. Jadi jauh sekali. Di sana bahkan tidak ada internet dan listrik. Jadi kita harus pasang panel tenaga surya, harus pasang satelit internet dan lain-lain untuk mendukung. Jadi masalahnya disana.
Tapi di satu sisi, beberapa pemerintahan juga sudah mendukung Aruna. Salah satunya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Dengan KKP, kita sangat aktif sekali untuk berdiskusi. Di tahun kedepan kita ingin fokus ke keberlanjutan. Itu satu hal yang masih ingin kita coba lakukan juga di masa mendatang. Jadi bukan cuma teknologinya tapi juga keberlanjutannya.
Desy Bachir: Iya. Kalau misalnya dari mbak Utari dan pak Hendra, apa yang pertama-tama membuat tertarik untuk mendalami bidang akuakultur ini?
Utari Octavianty: Iya. Jadi kalau dari saya sendiri sebetulnya saya asal daerahnya dari Kalimantan Timur di desa pesisir di Balikpapan. Jadi memang ada latar belakang dari keluarga sendiri. Melihat bagaimana dalam kehidupan sehari-hari ini kurang beruntung sampai akhirnya keluarga pun meminta untuk anak-anaknya jangan ada yang ada di industri ini. Disuruh belajar bidang lain dan saya mendalami bidang teknologi.
Itu yang bikin saya berpikir teknologi dan juga perikanan ini sebenarnya bisa jadi satu sektor yang berdirinya bersamaan. Semakin saya mendalami industri ini, saya sadar kalau industri ini besar sekali tapi tidak pernah kelihatan. Bahasa puitisnya itu kita memunggungi lautan. Padahal potensinya itu besar sekali. 70% wilayahnya laut, ikannya banyak bahkan sampai dicuri. Kalau sampai dicuri berarti kaya sekali. Itu kira-kira.
Desy Bachir: Oke. Itu cerita mbak Utari. Jadi ada kisah sentimentil masa kecil sebenarnya kalau dipikir-pikir. Kalau pak Hendra bagaimana pak?
Dr Hendra Yusran Siry: Baik. Jadi saya kalau di dunia perikanan khususnya di kelautan juga tersesat ke jalan yang benar.
Desy Bachir: Baik.
Dr Hendra Yusran Siry: Saya waktu dulu, waktu UMPTN tidak menyangkan akan di dunia perikanan dan kelautan. Waktu UMPTN juga berdasarkan arahan almarhum ibu saya yang kebetulan guru biologi. Dia melihat tantangan yang besar untuk kelautan dan akhirnya menyarankan saya untuk pilih ilmu kelautan.
Kebetulan berada di fakultas perikanan dan ikan ini adalah salah satu yang dalam agama saya di Islam itu bisa dikategorikan sebagai halal kalaupun sudah mati, masih bisa dimakan. Kecuali kapal selam saja yang tidak boleh dimakan.
Desy Bachir: Kalau pempek boleh?
Dr Hendra Yusran Siry: Itu salah satunya dan setelah saya geluti, setelah selesai dari sekolah S2, bergabung ke departemen namanya Departemen Kelautan dan Perikanan kemudian berubah menjadi Kementerian Kelautan dan Perikanan. Setelah saya lihat ini potensinya cukup besar dan ini salah satu tantangan juga tadi mbak Utari menyampaikan tantangannya itu sebenarnya di pakan saat ini yang jumlahnya sampai 70% dari biaya produksi.
Kalau pakan ini bisa ditekan, ini juga bisa mengurangi harga jual dan kita mendorong itu supaya angka konsumsi yang saat ini di tahun 2020 kita 56,39 kg, mba Desy dan ini juga sudah naik terus 3,47 setiap tahunnya.
Dan ada beberapa provinsi yang memang mempunyai ciri kelautan tercatat sebagai provinsi yang jumlah konsumsi ikannya terbanyak seperti Maluku di peringkat pertama dan Sulawesi Tenggara di peringkat kedua. Bisa dilihat daging dengan hasil laut pasti lebih mahal hasil laut dibanding daging. Ini juga tantangan kita untuk mencoba meningkatkan itu dan kami juga punya program untuk target 2024 itu kita bisa melibatkan jumlah pembudidaya.
Misalnya untuk ikan nila sampai 231.000 orang yang kita inginkan supaya hasilnya itu sampai 1,5 juta ton karena akan berdampak signifikan untuk menjamin beberapa anggota keluarga. Ini tantangan kita untuk melihat bagaimana memajukan sektor budidaya ini.
Desy Bachir: Tersesat ke jalan yang benar ini ujungnya menjadi panjang ternyata. Sudah berapa tahun pak sudah di dunia perikanan dan kelautan ini?
Dr Hendra Yusran Siry: Sudah 30 tahun saya berarti. Desy Bachir: 30 tahun. Kita banyak menyebut istilah akuakultur, kelautan, perikanan, ekosistem laut, sebenarnya apakah itu adalah hal yang sama, berbeda atau bagaimana, mbak Utari?
Utari Octavianty: Iya kalau yang saya tangkap sebenarnya ini hal yang sama tapi berbeda. Samanya dalam artian kita memproduksi hasil-hasil perikanan dan kelautan tapi untuk mendapatkan sumber perikanan dan kelautan ini ada bermacam-macam.
Tadi seperti yang pak Hendra sebut ada yang datangnya dari laut, ada yang datangnya dengan melakukan budidaya. Kalau di laut, sumbernya kebanyakan melalui penangkapan. Jadi ada yang pergi ke tengah laut kemudian menangkap atau ada juga yang membudidaya tapi di laut. Ada juga yang membudidaya tapi bisa dengan air tawar.
Jadi sebetulnya industrinya besar sekali kalau dibicarakan soal kelautan dan akuakultur ini. Ada banyak jenis-jenisnya untuk menghasilkan produk perikanan yang berkualitas. Begitu.
Desy Bachir: Ini kita tadi bicara tentang pemanfaatan potensi perikanan di Indonesia. Kalau misalnya bicara soal potensi perikanan, aku tanya mbak Utari dulu, apa yang dipelajari dari Australia? Bagaimana caranya supaya potensi perikanan dari hulu ke hilir itu jadi lebih bernilai? Bukan hanya dilihat dari jumlah volumenya saja. Karena tadi sempat dibahas, startupnya banyak menyentuh ke arah sini, Aruna?
Utari Octavianty: Iya. Jadi ini menarik sekali waktu saya dapat kesempatan untuk belajar melalui program studi singkat Australia Awards waktu itu. Jadi ketika kesana ekspektasi saya cuma bertemu nelayan versi kapalnya lebih bagus. Sebelum berkunjung banyangannya itu.
Tapi kemudian pada saat saya berkunjung kita itu diajak keliling ke berbagai tempat di Australia mulai dari Adelaide, Sydney, Melbourne dan saya ke semua pasar ikannya. Jadi saya menyempatkan untuk datang ke semua pasar ikannya untuk melihat ikan-ikan apa yang menjadi komoditas. Saat saya masuk, saya terkejut karena disana pasarnya pun sudah terintregrasi. Sebenarnya di Jakarta sudah mulai ada seperti di Muara Angke. Jadi memang ada pasar dari proses penangkapan, dimasak di situ, dimakan dan disajikan di restoran di situ.
Desy Bachir: Ini seperti di Sydney Fish Market maksudnya?
Utari Octavianty: Semacam Sydney Fish Market. Disana benar-benar sudah jadi tempat destinasi wisata dan ekosistem perikanannya terbentuk dan beruntungnya juga dari pihak Flinders disambungkan juga dengan pemain ikan yang ada di sana dan ternyata waktu berbicara lebih banyak dan melihat langsung proses budidaya di sana itu sudah lebih maju.
Jadi untuk komoditas yang produksi atau konsumsinya tinggi, itu sudah mulai di budidaya dengan teknologi yang canggih. Ditambah yang paling menarik adalah mereka itu hanya mau mengkonsumsi produk buatan Australia. Jadi walaupun kita ekspor itu harus ada dibuat di Australianya. Artinya pekerja di sana harus terlibat sekitar 50% dan lain-lain. Ini jadi satu hal yang sangat menarik yang saya dapatkan wawasan-wawasan saat ada di Australia dan karena disambungkan jadi kita sempat kerjasama. Jadi ketemu mitra untuk bisnis dari sana. Begitu
Desy Bachir: Kalau bicara Australia, pak Hendra, termasuk di Australia, beberapa negara sudah mulai dibentuk kawasan konservasi perairan untuk menjaga kelangsungan sumber daya perikanan dan mencegah eksploitasi berlebihan. Kalau menurut pengamatan bapak selama studi di Australia, apa yang bisa dipelajari dari Australia mengenai konservasi perairan dan apakah sudah mulai diterapkan di Indonesia?
Dr Hendra Yusran Siry: Baik. Terima kasih mbak Desy. Saya kira kawasan konservasi ini adalah kawasan dimana limpahan dari kawasan konservasi itu menjamin keberlanjutan perikanan. Dengan ekosistem yang sehat, dia akan menjamin ketersediaan unsur hara, makanan, maupun tempat mereka berkembang, memijah disana dan juga besar dan tumbuh itu bisa dijamin dengan adanya kawasan konservasi ini.
Salah satu yang bagus dari Australia itu adalah Great Barrier Reef. Yang orang Australia bilang kalau kita ke bulan itu yang terlihat besar, Great Barrier Reef. Memang pengelolaan Great Barrier Reef ini cukup bagus karena memang didukung dengan berbagai data dan berbasis kepada ilmiah, pengetahuan serta berbasis kepada kepentingan masyarakat setempat maupun masyarakat indigenousnya. Menurut saya ini yang kita pelajari dari Australia. Di kita sendiri, kita mengkonservasi kawasan itu sampai 28,4 juta hektar saat ini.
Desy Bachir: Saat ini di Indonesia?
Dr Hendra Yusran Siry: Iya di Indonesia. Target kita 32,5 juta hektar. 24,4 juta hektar itu terdiri dari kawasan konservasi yang saat ini dikelola Kementerian Kehutanan. Kemudian yang dikelola oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sendiri ada 10 kawasan konservasi perairan nasional dan juga yang dilakukan oleh daerah.
Jadi kita di Kementerian Kelautan dan Perikanan juga mendorong daerah juga melakukan konservasi tersebut. Kita memfasilitasi nanti ditetapkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan.
Desy Bachir: Tapi kalau kita bicara, apa peranan dari ilmu ataupun jejaring yang didapatkan waktu di Australia yang berpengaruh terhadap karir pak Hendra sekarang?
Dr Hendra Yusran Siry: Tentunya dengan pengalaman berada di Australia dan memahami kebudayaan setempat dan juga bahasa tentunya. Itu memudahkan saya sampai saat ini baik itu dalam negosiasi dan juga sudah dipercaya untuk menjadi direktur eksekutif salah satu lembaga internasional walaupun itu di Manado tapi itu adalah lembaga 6 negara dan saya kira dengan saya berada di Australia, Australia menjadi suatu mitra untuk lembaga Internasional tersebut. Memudahkan saya juga dalam berinteraksi dan memahami dan ini juga salah satu keuntungan saya belajar di Australia.
Juga bisa memahami. Saya juga alumni studi singkat Australia Awards “Manajemen Bisnis Berkelanjutan” yang kedua, mbak Utari. Saya mengunjungi bagaimana tuna di Selatan Australia itu dilakukan budidayanya. Karena tuna itu harus bergerak terus. Bentuk tubuhnya itu penjelajah jadi mereka harus bergerak terus supaya asupan makannya bagus, sehingga cita rasa dagingnya juga bagus. Karena tuna yang dipelihara tanpa bergerak, dikasih makan terus, dagingnya juga tidak legit. Itu yang menjadi cita rasa. Cita rasa daging juga sangat berpengaruh terhadap nilainya. Karena satu tuna itu bisa seharga satu mobil Mercy.
Desy Bachir: Mahal.
Dr Hendra Yusran Siry: Iya mahal. Begitu, mbak Desy.
Desy Bachir: Oke. Saya akan ingat kalau saya makan tuna tidak enak, ini berarti tunanya tidak banyak bergerak. Begitu pak Hendra?
Dr Hendra Yusran Siry: Iya
Desy Bachir: Akan saya ingat baik-baik. Kalau misalnya mbak Utari, bagaimana peranan jejaring, pengalaman di Australia terhadap proyek Aruna ini sendiri dan pengembangan aplikasi di sektor perikanan?
Utari Octavianty: Iya jadi selama belajar di sana itu beruntungnya karena, satu bidangnya adalah teknologi, mbak jadi kita belajar teknologi itu dapat karena memang disaat itu inovasi dan teknologi yang dihasilkan itu sudah maju sekali. Jadi kita banyak dapat referensi dari teknologi-teknologi yang bisa kita implementasikan di Aruna sendiri.
Kalau dari sisi budidayanya, akuakultur atau perikanannya, yang paling penting adalah ketemu mitra strategi. Ini yang justru terpakai sekali. Karena kita tidak menyangka kita bisa bertemu satu perusahaan di Australia yang semangatnya mirip sama kita juga tapi dia lebih ke pasar akhirnya. Dia menghubungkan pabrik-pabrik, perusahaan-perusahaan perikanan sampai Sydney Seafood Market juga dia hubungkan lewat platformnya. Itu otomatis dia butuh beberapa pemasok hasil laut dari Indonesia juga. Jadi lebih kesana yang terasa sekali.
Tapi diluar ekosistem di Australianya sendiri, saat belajar di sana itu secara otomatis kita terhubung dengan sesama teman-teman seangkatan yang juga hadir dan itu sampai sekarang hubungan dengan teman-teman sampai mentor masih berjalan dan bahkan sudah tidak terhitung berapa banyak kerjasama yang terjalin antara sesama kita yang kemarin berangkat dan itu sesuatu yang tidak bisa ternilai.
Punya gelar sebagai alumni Australia itu menjadi satu hal yang cukup diperhitungkan di industri startup. Kalau saya boleh berbagi. Jadi kalau sudah lulusan Australia Awards secara pitching atau diskusi dengan investor kalau memang ada yang latar belakangnya dari Australia itu sangat membantu.
Desy Bachir: Jadi sudah terjamin kalau lulusan dari Australia Awards. Kira-kira begitu? Kalau pak Hendra sendiri bagaimana pak? Ada tidak pengalaman lain yang mungkin berkesan selama belajar dan tinggal di Australia?
Dr Hendra Yusran Siry: Iya. Ada dua ini, mbak Desy. Pertama, karena saya belajar di Australia dan juga memahami ada banyak tahu tentang ini.
Saya ditunjuk menjadi pengampuh utama untuk kunjungan kerja Menteri pada tahun 2015 dan mengunjungi juga Sydney Fish Market dan salah satu yang diminta oleh Menteri pada waktu itu untuk membuat hal yang sama. Ini coba kita wujudkan dalam pasar ikan modern di Muara Baru karena kuliner yang berbasis pariwisata adalah satu hal yang perlu menjadi ciri sehingga kesan kumuh, tidak bagus, itu bisa ditepis. Sehingga produk-produk perikanan juga menjadi lebih baik.
Kemudian yang kedua itu pengalamannya terkait dengan membantu bagaimana Indonesia dan Australia dalam penanganan penangkapan ikan ilegal, mbak Desy. Termasuk yang mengakses sumber daya Australia dan kebetulan banyak diakses oleh kita, teman-teman yang berada di daerah NTT yang masuk pada wilayah Australia.
Namanya pulau Asmorif. Itu saya diminta untuk membantu memberikan pengetahuan, penyadaran lebih baik kepada nelayan-nelayan Indonesia. Karena sayang juga kalau nelayan dipenjara di Australia dan perahunya dibakar. Dan program-program seperti itu kita coba tingkatkan di NTT supaya lebih baik. Jadi dua pengalaman ini saya kira bisa menjadi sorotan bagaimana pentingnya Australia dalam karir saya.
Desy Bachir: Bicara soal karir, pak Hendra, sebagai Sekretaris Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut di Kementerian Kelautan dan Perikanan, benar pak? Saya tidak salah sebut? Boleh berbagi sedikit mungkin tentang tantangan terbesar yang dihadapi selama mengemban tanggung jawab dalam mendukung pembangunan peningkatan produksi perikanan dan juga pengelolaan kawasan berkelanjutan?
Dr Hendra Yusran Siry: Salah satu tantangannya itu adalah dulu pemerintahan fokus ke kelautan masih sangat kurang dan sejak tahun 1999 ada kementerian khusus untuk itu dan ini juga memberikan bukti dan saat ini kita melakukan penataan ruang laut dengan membuat perencanaan ruang laut lebih tidak tumpang tindih tapi tumpang susunnya lebih harmonis, lebih serasi. Ini salah satu tantangan.
Kemudian yang berikutnya tentunya sumber dayanya memang sangat terbatas dibanding dengan luas lautan yang dua per tiga dari wilayah Indonesia. Jadi terus terang saja dananya masih sangat sedikit untuk mengawal isu-isu terkait dengan masalah kelautan. Tapi kita tentunya tidak boleh terkungkung dengan ini. Makanya pola-pola kemitraan juga mendorong kerjasama dengan masyarakat tetap kita lakukan. Karena bagaimanapun juga itu lebih berdampak, lebih baik dibandingkan harus mengeluarkan APBN sebanyak mungkin tapi tidak membekas. Ini salah satu tantangannya. Begitu mungkin, mbak Desy.
Desy Bachir: Oke. Ini mungkin pertanyaan terakhir untuk pak Hendra dan mbak Utari. Sebagai masyarakat awam, aku masyarakat awam. Bagaimana supaya kita dapat berkontribusi dalam melestarikan, menjaga keseimbangan biota laut dalam mendukung program nasional untuk pengembangan akuakultur di Indonesia?
Dr Hendra Yusran Siry: Kalau saya, mbak yang paling mudah itu usahakan makan ikan. Kalau bisa setiap minggu. Kemudian tentunya jangan jadikan laut ini sebagai tempat sampah raksasa. Jadi kurangilah sampahnya. Kalau masih bersifat organik, bisa dibuang di tanah yang bisa terurai kembali.
Kalau plastik tolong dipisahkan jangan dibuang ke laut. Kemudian jangan mengkonsumsi ikan hasil pegeboman, racun, dan hasil penangkapan ilegal lainnya. Karena dengan itu akan mematikan nelayan setempat dan ekosistem jadi tidak bagus.
Jadilah konsumen yang pintar. Artinya yang bisa memahami ikan ini ditangkap dengan cara yang baik. Kelihatan dari bentuknya tidak bagus. Biasanya dari insangnya, matanya. Mungkin itu, mbak Desy.
Desy Bachir: Iya. Tidak susah sebenarnya. Kalau menurut mbak Utari bagaimana?
Utari Octavianty: Setuju dengan yang disampaikan pak Hendra. Sebenarnya langkahnya itu tidak perlu dimulai dari yang kompleks. Cukup melakukan hal kecil mulai dari mengkonsumsi ikan dan ikannya kalau bisa ikan negeri sendiri.
Desy Bachir: Itu ada tambahan. Konsumsi ikan lebih sering tapi ikan produksi Indonesia.
Utari Octavianty: Tapi ikan negeri sendiri dan juga tidak melihat profesi di perikanan ini sebagai satu industri yang tertinggal. Kadang itu yang membuat banyak anak nelayan minder.
Desy Bachir: Stigma-stigmanya.
Utari Octavianty: Iya stigma-stigma itu mungkin perlu kita kurangi. Bahwa di perikanan ini juga satu industri yang cukup keren dan menopang perekonomian Indonesia juga. Tidak kalah keren dari industri yang lain.
Desy Bachir: Sepertinya sejalan dengan yang kemarin soal pertanian. Ini kira-kira sama. Kita perlu regenerasi.
Oke. Jadi teman-teman semua, jangan lupa lebih sering konsumsi ikan produksi dalam negeri, kurangi sampah, jangan mendukung stigma bahwa profesi di industri nelayan itu kurang bergengsi. Jadilah konsumen yang juga bertanggung jawab. Tahu darimana sumber ikan kita. Tahu bagaimana cara ikan tersebut sampai ke kita. Itu salah satu dari sekian banyak hal yang bisa kita lakukan. Tidak susah, teman-teman. Kita mulai dari sekarang. Seperti aku malam ini akan mencari menu makan malam ikan sepertinya karena sudah dibicarakan seperti ini.
Oke. Sayang sekali waktunya sudah habis untuk berbincang seru bersama dengan mbak Utari dan pak Hendra. Terima kasih sudah mendengarkan dan dengarkan terus OzAlum Podcast karena di episode-episode selanjutnya masih akan ada beberapa interview eksklusif lagi dengan tamu yang lain dimana saya akan berbincang dengan alumni Australia lain yang menginspirasi dan memiliki cerita menarik tentunya seperti mbak Utari dan pak Hendra.
Kalau teman-teman alumni memiliki ide atau inisiatif yang dapat membuat dampak positif terhadap profesi atau komunitas kamu. Saatnya untuk mewujudkannya melalui Alumni Grant Scheme (AGS). AGS menawarkan dana hibah hingga AUD 15.000 untuk proyek inovatif yang berkontribusi terhadap profesi, organisasi, atau komunitasmu. Proyek yang berkaitan dengan upaya pemulihan COVID-19 sangat dianjurkan.
AGS terbuka untuk semua warga negara Indonesia yang telah lulus dari perguruan tinggi Australia, termasuk yang kuliah dengan biaya sendiri. Skema ini juga terbuka bagi alumni yang pernah mengikuti program dan studi jangka pendek di Australia. Daftarkan aplikasimu secara online sebelum tanggal 23 Januari 2022, jam 23.45 WIB. Info lebih lanjut, kunjungi oz.link/ags
Sekian untuk episode kali ini di podcast OzAlum. Jika kamu suka podcast kami, beri kami penilaian dan ulasan dan jika kamu ingin tetap terhubung dengan jaringan alumni kami dan tetap mengikuti acara alumni kami, kamu dapat berlangganan update mingguan Alumni Global Australia kami dan bergabung dengan Forum Alumni Australia-Indonesia di LinkedIn. Tautannya ada di deskripsi podcast.
Oke semuanya. Sekian untuk episode kali ini. Saya Desy Bachir.
Dr Hendra Yusran Siry: Saya Hendra Yusran Siry.
Utari Octavianty: Saya Utari Octavianty.
Sampai ketemu. Bye.