OzAlum Podcast
OzAlum Podcast
Eps #10: How Do We Change Our Lens on Disability?
People with disabilities face barriers daily. Often the most difficult barrier is overcoming stereotypes of people with disabilities. Barrier removal requires expertise, collaboration, advocacy and legal backing. Everyone can play a part in educating themselves about these barriers and learn how to create new pathways to ensure our society is as accessible and inclusive as possible.
In this tenth episode, OzAlum Dr Antoni Tsaputra, a civil servant and researcher at Australia Indonesia Disability Research and Advocacy Network (AIDRAN) and Cucu Saidah, founder of Bandung Independent Living Center (BILiC), a disabled people’s organisation, discuss how can we become an all-inclusive and accessible society? How can we change the way we view disability and collaborate with the disabled community to break down barriers?
Listen to our OzAlum Podcast on Spotify, Apple Podcasts, Google Podcasts, YouTube, and the OzAlum website. Don't forget to leave a rating and review!
Stay connected with our alumni networks, stay up to date with our alumni events and subscribe to our Australia Global Alumni weekly updates here https://oz.link/update and join our Australia-Indonesia Alumni Forum on LinkedIn https://www.linkedin.com/groups/8490219/.
A full transcript of this episode is available on the OzAlum Podcast website: https://podcast.ozalum.com/
Dr Antoni Tsaputra: Jumlah penyandang disabilitas di Indonesia itu tidak bisa dikatakan sedikit. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa akses penyandang disabilitas terhadap berbagai layanan dasar itu memang jauh lebih rendah, baik dari aspek pendidikan, kesehatan dan layanan dasar lainnya.
Cucu Saidah: Seperti di Bandung, banyak kafe dan restoran yang tumbuh seperti jamur tapi susah sekali kita mencari tempat yang benar-benar aksesibel.
Desy Bachir: Halo semuanya dan selamat datang di podcast dimana kami membawakan anda beberapa cerita unik dari alumni kami yang menginspirasi, bersama saya Desy Bachir.
OzAlum Podcast adalah akses kamu ke jejaring global alumni dan podcast ini dipersembahkan oleh tim Australia Global Alumni di Indonesia.
Di podcast episode 10 ini saya akan mengangkat isu yang sedang menjadi perhatian Menteri Ketenagakerjaan, ibu Ida Fauziah yaitu isu inklusi penyandang disabilitas yang merupakan isu lintas sektor terutama dalam isu pemenuhan hak pekerjaan bagi tenaga kerja penyandang disabilitas.
Kita ketahui bahwa memang sudah ada beberapa upaya pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas untuk menciptakaan masyarakat yang inklusif, yang telah dilakukan oleh pemerintah kita. Salah satu indikatornya adalah ditetapkannya Undang undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, dan Peraturan Pemerintah No 70 Tahun 2019 tentang Perencanaan, Penyelenggaraan dan Evaluasi terhadap Penghormatan, Perlindungan, dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas.
Regulasi tersebut tentu saja akan menjadi modalitas yang cukup kuat. Apa lagi kalau misalnya didukung oleh penerapan peraturan yang serius dengan melibatkan penyandang disabilitas secara aktif. Harapanya adalah kualitas SDM kelompok disabilitas dan pembangunan yang lebih inklusif akan meningkat dan cita-cita untuk Menuju Indonesia Inklusif 2030 dapat terwujud.
Walaupun penyandang disabilitas memiliki hak dan kesempatan yang sama tapi masih ada kesenjangan dalam pembangunan yang mengakibatkan ketidakmampuan penyandang disabilitas berpartisipasi dalam berbagai kegiatan kita seperti pendidikan, pekerjaan dan pelayanan. Ditambah lagi dengan kurangnya akses informasi, stigma dan stereotip pada masyarakat serta masih lemahnya pemahaman terhadap kaum disabilitas.
Jadi pertanyaannya, bagaimana kita dapat mendukung dan berkontribusi terhadap prinsip kesetaran dan mengakhiri stigma disabilitas? Kita mau berbincang dengan narasumber yang merupakan pejuang kesetaraan dan hak-hak penyandang disabilitas. Mereka juga penyandang disabilitas yang inspiratif dan berpengaruh dalam kebijakan terkait disabilitas.
Mungkin kita kenalan dulu sebelum kita mendengarkan ceritanya dan memahami lebih dalam terhadap kontribusi bapak dan ibu terhadap inklusi penyandang disabilitas. Halo pak Antoni, ibu Saidah, apa kabar?
Dr Antoni Tsaputra: Alhamdulillah, sehat. Terima kasih, mbak Desy.
Desy Bachir: Panggilnya ibu Cucu atau ibu Saidah ini?
Cucu Saidah: Halo. Apa kabar? Panggil saja teh Cucu.
Desy Bachir: Teh Cucu. Baik. Aku akan panggil teh Cucu saja. Orang Sunda? Baik. Mungkin sebelum kita berbincang dengan pak Antoni dan teh Cucu, kita berkenalan dahulu. Mungkin masing-masing bisa memperkenalkan diri. Perempuan dahulu mungkin, teh Cucu, memperkenalkan dirinya terlebih dahulu. Silahkan teh.
Cucu Saidah: Terima kasih, mbak Desy. Nama lengkap saya Cucu Saidah. Saat ini saya bekerja sebagai konsultan untuk inklusi disabilitas. Dimana saat ini saya memegang beberapa pekerjaan terkait dengan memastikan inklusi disabilitas di lingkup lembaganya maupun layanannya.
Saya juga alumni dari Australia Awards Scholarships, mendapatkan beasiswa untuk sekolah master di Flinders University tahun 2016 dan 2017. Saya mengambil administrasi dan kebijakan publik dan saya sebagai pengguna kursi roda.
Desy Bachir: Sibuk sepertinya. Banyak kegiatannya kalau aku tadi dengarkan.
Cucu Saidah: Iya. Lumayan. Kalau pak Antoni sendiri bagaimana? Silahkan pak Antoni.
Dr Antoni Tsaputra: Iya. Assalamualaikum. Terima kasih, mbak Desy. Nama lengkap saya Antoni Tsaputra. Saya merupakan penyandang disabilitas fisik, pengguna kursi roda dengan kondisi distrofi otot, juga masuk ke quadriplegia, dimana kedua anggota atas dan bawah saya itu mengalami kelumpuhan secara progresif.
Saat ini saya bekerja sebagai aparatur sipil negara (ASN) di pemerintah kota Padang tepatnya di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah di bidang penelitian dan pengembangan (litbang) dan menjabat sebagai analis penelitian.
Di saat yang sama saya juga merupakan salah satu peneliti Australia-Indonesia Disability Research and Advocacy Network (AIDRAN) dan salah satu pengurus di Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia kota Padang.
Saya merupakan alumni Australia Awards Scholarships dan juga alumni beasiwa pendidikan Indonesia, LPDP, dimana kedua program master dan PhD saya, saya tempuh di Australia. Mungkin itu saja untuk perkenalan singkatnya, mbak Desy.
Desy Bachir: Dalam waktu singkat banyak sekali yang bisa dibahas dari pak Antoni dan teh Cucu. Aku selalu kagum sejujurnya bahwa seperti teh Cucu, pak Antoni, bukti bahwa tidak ada keterbatasan dalam memberikan kontribusi, dampak dan sebagainya.
Tapi sebelum kita bahas lebih jauh mengenai tema kita hari ini, kalau aku tarik balik dalam dua tahun kebelakang, bisa diceritakan kesibukannya lebih banyak dimana? Mungkin pak Antoni bisa mulai duluan.
Dr Antoni Tsaputra: Iya. Terima kasih, mbak Desy. Dua tahun belakangan kita memang dalam kondisi pandemi. Kalau bicara soal kesibukan memang sangat sibuk, banyak kegiatan, banyak aktivitas tapi sebagian besar dilakukan secara virtual. Bekerja sebagai ASN, melaksanakan kewajiban saya di kantor, saya juga aktif dalam pergerakan hak-hak disabilitas di kota Padang dan juga di tingkat nasional.
Selama dua tahun terakhir kita sangat aktif memberikan peningkatan kesadaran kepada teman-teman disabilitas tentang pentingnya menerapkan protokol kesehatan, pentingnya vaksinasi dan kita juga banyak bekerja sama dengan pemerintah kota Padang untuk mensosialisasikan dan mengajak penyandang disabilitas untuk mengikuti program vaksinasi dari pemerintah.
Kemudian di tingkat nasional, saya juga aktif bersama teman-teman aktivis, salah satunya melakukan kajian tentang dampak pandemi terhadap penyandang disabilitas. Kita bergabung dalam jaringan DPO respon Covid-19 inklusif, termasuk teh Cucu juga di dalamnya. Itu, mbak Desy.
Desy Bachir: Terima kasih, pak Antoni untuk tadi. Sepertinya banyak sekali yang dilakukan. Kalau ibu Cucu bagaimana? Selama 2 tahun terakhir apa saja kegiatannya, kesibukannya?
Cucu Saidah: Dua tahun terakhir, sebetulnya saya memulai pekerjaan sebagai konsultan di inklusi disabilitas itu mulai November 2019. Tapi sebelumnya kegiatan-kegiatan advokasi hak-hak penyandang disabilitas itu juga banyak. Artinya jauh sebelum itu saya mendirikan organisasi disabilitas di Bandung yang namanya Bandung Independent Living Center.
Kemudian sebelum itu juga saya mendirikan komunitas Jakarta Barrier Free Tourism. Tujuannya adalah mengedukasi publik bahwa penyandang disabilitas itu ada di tengah masyarakat. Kegiatan itu lebih banyaknya adalah jalan-jalan ke tempat-tempat publik setiap sebulan sekali, siapapun boleh ikut, termasuk juga para pejabat itu harus ikut, harus merasakan hambatan-hambatan yang ada di publik itu seperti apa. Kenapa kemudian penyandang disabilitas tidak banyak muncul di publik, itu persoalannya adalah aksesibilitas di publiknya itu sangat buruk sekali.
Kemudian sekitar 2019 setelah tsunami di Palu, saya sempat tergabung di salah satu lembaga untuk melakukan respon darurat dimana memastikan asesmen dan identifikasi penyandang disabilitas yang menjadi atau yang terdampak gempa, tsunami dan likuifaksi di labes itu, mereka terdata dan menerima bantuan yang seharusnya.
Saat ini yang saya kerjakan itu salah satu program yang didanai oleh pemerintah Australia juga, ini hibah air minum berbasis kompetensi. Jadi saya tergabung tim disabilitas gender dan inklusi sosial untuk konsultasi peningkatan kapasitas terutama bagi perusahaan daerah air minum yang menjadi mitranya.
Ketika Covid-19 pertama teridentifikasi di Indonesia, di bulan Maret. Saya berbincang di grup WhatsApp. Kita mau bereaksi apa? Akhirnya saya bersama beberapa kawan kita membuat asesmen kebutuhan cepat tentang dampak Covid-19 ini di bulan April sampai Juni yang kemudian uda Antoni bergabung disitu untuk survey dan analisisnya yang saat itu memang penyandang diabilitas benar-benar tidak dapat informasi, tidak dapat bantuan sosial yang memang dari pemerintah seharusnya ada, Itu sama sekali tidak ada. Tapi di satu sisi, salah satu nilai positifnya adalah isu disabilitas menjadi lebih dikenal.
Desy Bachir: Ternyata ada hikmahnya. Memang semua ada hikmahnya asal kita mau mencari dan menerima hikmah tersebut.
Cucu Saidah: Betul.
Desy Bachir: Aku mau tanya ke pak Antoni. Ada informasi bahwa di Susenas 2019 bahwa jumlah penyandang disabilitas di Indonesia sebesar 9,7% dari jumlah penduduk, atau sekitar 26 juta orang. Dari 26 juta penyandang disabilitas di Indonesia, 31 % atau 8 juta orang belum memiliki Jaminan Kesehatan.
Sebelum masuk ke pertanyaan, apa yang dikategorisasikan sebagai penyandang disabilitas? Setelah itu, selain kendala ini, apa yang bisa dilakukan oleh kita semua sehingga keresahan yang dirasakan oleh teman-teman penyandang disabilitas khususnya di masa pandemi ini dapat berkurang.
Dr Antoni Tsaputra: Iya. Terima kasih mbak Desy. Kalau kita bicara soal definisi atau makna penyandang disabilitas, kita harus tahu dulu bahwa sebenarnya disabilitas itu adalah sebuah istilah yang berkembang.
Proses yang terus bisa berubah, berkembang, namun jika kita merujuk ke Undang-undang no. 8 tahun 2016 tentang penyandang disabilitas yang merujuk ke UN CRPD (United Nation Convention on the Rights of Persons with Disabilities) itu, di sana disebutkan bahwa penyandang disabilitas adalah mereka yang memiliki keterbatasan baik secara fisik, sensorik, mental dan intelektual dalam jangka waktu lama yang kemudian berinteraksi dengan masyarakat yang tidak akomodatif sehingga terjadilah disabilitas itu.
Memang betul disebutkan mbak Desy tadi bahwa jumlah penyandang disabilitas di Indonesia itu tidak bisa dikatakan sedikit. Kalau kita menggunakan World Report on Disability dari WHO itu diprediksi di atas 15%. Data Badan Pusat Statistik itu juga menunjukkan bahwa akses penyandang disabilitas terhadap berbagai layanan dasar itu memang jauh lebih rendah dibanding dengan penduduk non disabilitas, baik dari aspek pendidikan, kesehatan dan layanan dasar lainnya, mbak Desy.
Desy Bachir: Apa yang kira-kira bisa dilakukan untuk menanggulangi ini?
Dr Antoni Tsaputra: Kalau kita bicara apa yang dapat kita dilakukan, penanganan penyandang disabilitas itu membutuhkan sumber daya besar dengan adanya dukungan negara, kemudian juga biaya yang dikeluarkan oleh komunitas dan keluarga penyandang disabilitas itu relatif dapat ditekan serta memastikan tidak ada penyandang disabilitas yang terlantar akibat ketidakmampuan atau pengabaian dari komunitas dan keluarga.
Ini menjadi hal yang penting untuk kita pikirkan. Jadi kalau menurut saya sangat perlu upaya reformasi perlindungan sosial di tingkat nasional yang afirmatif bagi penyandang disabilitas. Tentunya disana juga masuk akses pendidikan yang inklusif, akses pekerjaan atau penghidupan yang inklusif, infrastruktur yang inklusif, kemudian kesempatan sosial yang inklusif serta penanganan inklusif dalam kondisi bencana.
Jadi dengan adanya dukungan negara tadi, keluarga dan komunitas, maka akan terciptalah masyarakat inklusif yang kita cita-citakan bersama dimana penyandang disabilitas yang tadinya rentan akan menjadi penyandang disabilitas yang potensial dan berkontribusi.
Kalau kita bicara soal kontribusi, dua tahun terakhir penyandang disabilitas tetap menunjukkan kontribusi yang luar biasa untuk berperan serta dalam meringankan dampak pandemi ini bagi teman-teman, saudara penyandang disabilitas. Mereka melakukan apa yang mereka bisa misalnya membuat masker, membuat penyanitasi tangan. Baik dilibatkan atau tidak dilibatkan, kita penyandang disabilitas bisa tetap menunjukkan bahwa kita bisa berkontribusi. Begitu, mbak Desy.
Desy Bachir: Mungkin aku berbagi sedikit juga ke pak Antoni dan teh Cucu karena adik aku juga penyandang disabilitas. Adik saya tuli. Jadi saya lumayan paham dengan apa yang tadi disampaikan oleh pak Antoni. Jadi berharapnya semoga ke depannya lebih banyak lagi dukungan dari bukan hanya keluarga dan komunitas tapi juga dari pemerintah dengan cara-cara yang informatif seperti tadi sudah dibahas.
Kalau teh Cucu, sebagai perempuan, ada tidak keresahan yang berbeda yang dirasakan oleh perempuan penyandang disabilitas?
Cucu Saidah: Iya perempuan termasuk kelompok yang beresiko, tapi kemudian ketika berbicara perempuan dengan disabilitas maka berlipat lagi resikonya.
Misalnya, ketika bicara soal ekonomi. Ekonomi ini bagi perempuan dengan disabilitas yang tidak menentu, apakah menjadi asisten rumah tangga misalnya, atau berjualan makanan, banyak sekali yang terdampak kehilangan mata pencahariannya. Kemudian menciptakan bagaimana seolah perempuan dengan disabilitas itu menjadi beban bagi keluarganya.
Kemudian yang kedua bicara soal kebersihan. Di masa Covid-19 ini kita tahu semua harus hidup sehat, harus protokol kesehatan salah satunya adalah sesering mungkin cuci tangan tapi persoalannya, bagaimana dengan perempuan dengan diabilitas yang mereka tinggal di area yang tidak punya akses air bersih. Mereka harus pergi keluar rumah. Ini persoalannya bukan hanya kebersihannya saja tapi keamanannya juga.
Mereka akan lebih rentan lagi menjadi korban pelecehan atau korban pemerkosaan. Jadi menjadi perempuan dengan disabilitas itu resikonya bisa 3-4 kali lipat bahkan lebih terutama kalau misalnya disabilitas yang dialaminya lebih dari satu.
Namun sayangnya di Indonesia ini, isu tentang perempuan sudah banyak peningkatan, tapi persoalan perempuan dengan disabilitas masih mereka lupakan, diantara kalangan penggerak perempuan juga.
Desy Bachir: Bahkan di kalangan penggerak perempuan. Begitu, teh Cucu. Tadi banyak sekali aku dengar beberapa kali disebutkan oleh teh Cucu, pak Antoni bahwa memang penyandang disabilitas selalu ditinggalkan. Berhubungan dengan isu itu, banyak orang sudah mulai ada usaha untuk mengedepankan isu penyandang disabilitas dalam tata kehidupan bernegara. Seperti di kerjasama regional ataupun internasional, di PBB, G-20, Asia Pasifik, maupun ASEAN. Itu sudah mulai diangkat.
Kalau menurut pak Antoni dan teh Cucu bagaimana supaya kita dapat meningkatkan atau menyamakan kesempatan untuk penyandang disabilitas terutama di dunia kerja? Dan bagaimana cara menghilangkan hambatan yang memungkinkan penyandang disabilitas untuk berpartisipasi penuh dalam masyarakat?
Dr Antoni Tsaputra: Untuk hak ketenaga kerjaan bagi penyandang disabilitas kita sudah punya kerangka hukum yang sudah lebih dari cukup untuk menjamin itu, mbak Desy.
Di Undang-undang No. 8 tahun 2016 itu sudah dijamin dengan jelas dan kemudian sudah ada turunannya yaitu Peraturan Pemerintah No. 60 tahun 2020 tentang Unit Layanan Disabilitas dan Ketenagakerjaan. Regulasi ini mengharuskan pemerintah daerah dan juga kementerian/lembaga untuk membentuk unit layanan disabilitas ketenagakerjaan yang nanti akan membantu memastikan bahwa penyandang disabilitas bisa memperoleh hak bekerjanya.
Namun ketika kita bicara soal peningkatan kesempatan bagi penyandang disabilitas di dunia kerja, kita tidak bisa hanya melihat di isu ketenagakerjaannya saja. Untuk bisa mendapatkan pekerjaan yang layak, penyandang disabilitas butuh akses pendidikan yang baik di semua jenjang, dari pendidikan dasar, menengah sampai perguruan tinggi.
Untuk bisa mendapatkan akses pendidikan dan pekerjaan juga akan bergantung kepada akses infrastruktur. Apakah sekolah, perguruan tinggi, atau tempat dia bekerja itu sudah dapat diakses untuk penyandang disabilitas? Apakah sudah tersedia akomodasi yang layak, yang memberikan kemudahan dan fleksibilitas ke penyandang disabilitasnya untuk bekerja?
Kalau menurut saya, bagaimana kita bisa menghilangkan hambatan peyandang disabilitas untuk berpartisipasi penuh, itu harus mulai dari perubahan paradigma dalam memahami disabilitas. Artinya kita tidak lagi memaksakan ideologi kenormalan atau studi kritis disabilitas itu kita sebut dengan "abelism".
Abelism itu apa? Abelism itu adalah pandangan, sikap, budaya, sistem, kebijakan, aturan yang hanya melihat dari sudut pandang orang-orang non disabilitas yang merasa superior, yang merasa "normal" dan memaksakan apa yang menurut mereka benar kepada penyandang disabilitas. Menghancurkan abelism ini juga penting untuk menghilangkan hambatan partisipasi tadi.
Desy Bachir: Sejujurnya baru pertama kali mendengar istilah abelism tapi menurut saya mungkin itu memang salah satu yang bisa menghambat. Kalau pandangannya dari yang tidak merasakan, bagaimana, pak Antoni? Menurut teh Cucu sendiri bagaimana mengenai pertanyaan aku?
Cucu Saidah: Kalau saya mungkin melihat dari pengalaman yang dilakukan. Betul sekali bagaimana mengubah paradigma itu penting tapi kemudian juga ada hal yang lebih penting, bagaimana dukungan dari komunitas untuk sama-sama mengadvokasi pada berbagai pihak, tidak hanya pemerintah saja tapi juga kepada swasta.
Kalau dari saya tambahannya adalah edukasi yang menyasar langsung pada para pihak pemberi kerja. Tidak hanya sektor formal saja termasuk sekarang ini banyak usaha-usaha FinTech, teknologi dan lainnya. Melalui teknologi juga sebenarnya penyandang disabilitas kalau ada dukungannya, mereka bisa berkontribusi.
Desy Bachir: Iya. Kalau kita bicara soal pengalaman teh Cucu, pak Antoni di Australia. Jadi teman-teman, pak Antoni adalah penerima beasiswa S2 dari Australia Awards dan S3-nya dari LPDP. Sementara teh Cucu adalah penerima beasiswa S2 dari Australia Awards. Mungkin ada pertanyaan sebagai yang sudah pernah diaspora di sini dan juga di Australia.
Apa pengalaman unik sebagai mahasiswa yang kebetulan adalah penyandang disabilitas pada saat menempuh pendidikan di Australia? Dan sebenarnya dari pengalaman teh Cucu dan pak Antoni, apa perbedaan terbesar terkait akses penyandang disabilitas di Australia dan di Indonesia?
Cucu Saidah: Iya. 2016 dan 2017 selaman 2 tahun saya studi di Adelaide bersama suami yang juga pengguna kursi roda. Yang kami rasakan, kami benar-benar menjadi manusia seutuhnya dimana kita punya kebebasan pribadi dalam kehidupan keseharian. Karena kalau di Indonesia tidak seperti itu. Di Indonesia kita minimal kita harus ada asisten sementara di Australia karena transportasi publik juga aksesibel terus pakai kursi roda elektrik.
Saya juga di fasilitasi oleh Australia Awards dengan kursi roda elektrik. Jadi semuanya memudahkan untuk kami bersama-sama beraktivitas. Suatu hari kita terinspirasi para backpaker. Kita berdua mencari informasi bagaimana caranya keliling minimal kota-kota besar di Australia.
Jadi waktu itu kita berangkat dari Adelaide, naik bus ke Melbourne dan busnya itu aksesibel. Lalu kami semalam transit di Melbourne dan besok harinya kita dari Melbourne janjian ketemu uda Antoni di Sydney, naik kereta dan keretanya pun aksesibel. Jadi di jalan kami berdua tidak ada hambatan. Terus mengeksplorasi beberapa tempat wisata. Itu asik sekali memang. Merasakan masuk ke restoran. Memang belum semuanya sepenuhnya aksesibel tapi kita banyak pilihan.
Kalau di sini, seperti di Bandung, banyak kafe dan restoran yang tumbuh seperti jamur tapi susah sekali kita cari tempat yang benar-benar aksesibel. Itulah, artinya kami merasakan satu hal yang berbeda. Di sana benar-benar menjadi manusia seutuhnya.
Desy Bachir: Jadi memang berbeda sekali dengar cerita tadi. Hal-hal yang diceritakan teh Cucu sepertinya belum ada di sini.
Cucu Saidah: Belum ada.
Desy Bachir: Kalau misalnya pak Antoni bagaimana? Ada pengalaman unik apa? Kalau dibandingkan dengan di Indonesia apa yang paling terasa?
Dr Antoni Tsaputra: Iya, betul. Apa yang dirasakan, yang dialami oleh teh Cucu dengan uda Faisal, itu juga saya rasakan. Dulu saat S2 di tahun 2010 juga saya menikmati kebebasan melakukan sesuatu yang tidak bisa saya lakukan di Indonesia. Bepergian kemana saja, menggunakan moda transportasi apa saja tanpa hambatan, keliling kota Brisbane, ke berbagai tempat wisata secara mandiri.
Kemudian saya sempat berpergian ke Darwin untuk menghadiri undangan seminar di sana difasilitasi oleh Australia Awards saat itu. Saat S3, seperti teh Cucu juga, saya punya pengalaman pertama kalinya berasama istri, kita melakukan perjalanan mandiri dari Sydney ke Canberra, kemudian dari Canberra ke Melbourne, dari Malbourne langsung ke Sydney.
Saat itu menghadiri udangan sebagai pembicara di acara Indonesia Update di Canberra dan di Melbourne. Karena saya hanya berpergian dengan istri, saat itu panitia kegiatannya juga menyediakan alat gendong yang memungkinkan istri saya untuk memindahkan dari kursi roda ke tempat tidur atau kamar mandi dan sebaliknya.
Desy Bachir: Kalau berbicara soal kuliah, kita sebenarnya tahu bahwa pemerintah Australia melalui program Australia Awards di Indonesia itu sangat berkomitmen untuk mendukung kualitas SDM di Indonesia yang inklusif.
Sekarang ini ada peningkatan partisipasi pelajar dan alumni dalam kegiatan Australia Awards di Indonesia dan sekarang ini ada 57 pelajar yang sudah menyelesaikan jenjang Master maupun PhD dan 38 orang yang telah mengikuti program studi singkat di Australia. Selain itu ada juga 30 alumni yang telah mendapatkan Alumni Grant Scheme untuk menjalankan proyek terkait disabilitas.
Tapi mungkin pendengar masih ada yang merasa minder atau ragu untuk daftar dan mengikuti program beasiswa. Ada tips untuk orang-orang seperti itu dan mungkin untuk yang mendengarkan juga? Bagaimana? Mungkin pak Antoni dahulu.
Dr Antoni Tsaputra: Iya. Kalau buat saya tidak ada tips tertentu. Artinya percaya diri saja. Yang jelas kita yakin dengan program yang kita pilih dan kemudian tahu bagaimana mengkontribusikannya ilmunya nanti setelah menyelesaikan studi di Australia saat kembali ke Indonesia. Tidak perlu takut atau minder lagi. Yang penting siapkan semua persyaratan, penuhi persyaratannya semaksimal mungkin, langsung daftar saja. Jangan khawatir.
Desy Bachir: Kalau dari teh Cucu ada tidak?
Cucu Saidah: Kalau dari saya mungkin bukan tips. Australia Awards di Indonesia ini sudah cukup banyak informasinya. Biasanya juga suka ada semacam webinar khusus membahas tentang beasiswa Australia ini.
Saya kira dengan sering mengikuti itu, bisa jadi salah satu motivasi atau inspirasi. Yang kedua, mungkin bisa banyak berbicara dengan para alumni. Misalnya uda Antoni sudah terkenal sekali. Bisa sesekali menjalin hubungan, bertanya-tanya, mengajak bicara, kira-kira saya mau studi apa? Mau di kota mana? Seperti itu.
Kemudian yang ketiga, kalau misalnya kita ingin menambah wawasan, pengalaman, pengetahuan, tetapi di satu sisi mungkin secara pendidikan untuk S2 belum memungkinkan atau untuk S3 belum memungkinkan, Australia Awards itu ada program studi singkat dan beragam sekali. Itu juga bisa untuk dicoba juga. Bagi teman-teman yang belum bisa mencapai S1 di Indonesia maka kesempatan lain yang bisa disasar adalah studi singkat seperti itu.
Intinya itu menambah pengalaman, pengetahuan dan jejaring juga yang kemudian ketika kembali ke Indonesia tentunya harus diaplikasikan karena kalau misalnya ke sana, habis itu pulang tidak bawa apa-apa, sayang sekali investasinya. Investasi baik itu waktu, uang dan lain sebagainya. Lebih baik kesempatannya buat yang lain. Begitu.
Desy Bachir: Iya. Pertanyaan terakhir dari aku terkait dengan yang sudah kita bahas dari tadi mengenai inklusi penyandang disabilitas dan juga cita-cita menuju Indonesia inklusif 2030. Bagaimana pak Antoni, teh Cucu melihat Indonesia 10 tahun dari sekarang? Apakah cita-cita Indonesia inklusif 2030 sesuatu yang masih bisa kita wujudkan? Bagaimana?
Dr Antoni Tsaputra: Ok. Jadi mbak Desy, semua pencapaian itu berawal dari mimpi. Saya memimpikan penyandang disabilitas di Indonesia nanti bisa berpartisipasi tanpa hambatan lagi. Berpergian kemana saja dengan mudah, karena semua transportasi dan pembangunan lingkungannya sudah aksesibel.
Kemudian semua pelayanan disabilitas termasuk teknologi pendampingan, pelayanan perawat sudah tersedia sesuai kebutuhan, kemudian terdapat mekanisme perlindungan sosial universal yang betul-betul inklusif disabilitas, lalu semua penyandang disabilitas Indonesia dilihat sebagai komponen penting yang harus dilibatkan dalam masyarakat, penyandang disabilitas di Indonesia semakin banyak yang menyelesaikan pendidikan tinggi hingga doktoral, penyandang diabilitas di Indonesia semakin banyak yang memiliki pekerjaan yang layak.
Jika aktivisme hak-hak disabilitas berbasis pengetahuan di Indonesia terus progresif seperti sekarang dan juga pemerintah serta pemangku kepentingan lainnya juga punya komitmen yang sama kuatnya untuk 2030 Indonesia Inklusif Disabilitas, saya optimis kita bisa.
Desy Bachir: Kalau teh Cucu, bagaimana melihat ini?
Cucu Saidah: Rasanya terlalu ambisius, kalau dari saya. Mohon maaf bukan berarti saya pesimis. Tapi 2030 itu sudah 8 tahun yang akan datang. Artinya kita ini secara kebijakan sudah sangat banyak sekali tapi lagi-lagi, implementasinya, itu yang menjadi persoalan.
Tapi mungkin kalau kalimatnya adalah menuju Indonesia inklusif, bisa saja, hanya mungkin dari sisi persentase, sekian persen ada peningkatan. Misalnya, dengan adanya kebijakan-kebijakan yang lahir, di 2030 beberapa kebijakan mendukung, berpihak pada disabilitas. Itu satu dari sisi kebijakan.
Kemudian yang kedua, yang menjadi tugas besar adalah tentang implementasinya. Ketika kebijakannya sudah ada, kita harus punya tolak ukur dulu. Misalnya, kita bicara sektor pendidikan dulu. Pendidikannya pun berjenjang. Misalnya pendidikan dasar dan menengah. Berapa persen target pendidikan itu di tujuan Indonesia inklusif 2030? Dan kalau saya melihatnya persektor itu tadi.
Ada di sektor pendidikan, sektor transportasi. Seberapa besar peningkatan perubahannya. Tidak hanya di Jakarta tapi juga minimal di kota-kota besar. Atau pada konektivitas atau perhatian perlindungan sosial. Ada tidak di 2030 ini peningkatannya? Misalnya penyandang disabilitas mendapatkan pensiun. Apapun itu pekerjaannya, dapat bekerja atau tidak. Itu kita harus punya tolak ukur di situ, mbak.
Desy Bachir: Iya. Jadi memang diawali dengan mimpi tapi untuk menujunya tadi itu tetap harus ada dukungan pemerintah, keluarga dan komunitas. Terima kasih banyak teh Cucu, pak Antoni untuk waktunya di hari ini dan terima kasih juga untuk teman-teman alumni yang sudah mendengarkan.
Di episode selanjutnya, akan ada interview eksklusif dengan tamu kita yang lain yang juga pasti tidak kalah menariknya. Dengarkan terus OzAlum Podcast, di mana saya akan berbincang tentang pengalaman alumni Australia yang juga menginspirasi dan tentunya menarik.
Sekian untuk episode kali ini di podcast OzAlum. Jika kamu suka podcast kami, beri kami penilaian dan ulasan yang bagus dan jika kamu ingin tetap terhubung dengan jaringan alumni kami dan tetap mengikuti acara alumni kami, silahkan berlangganan update mingguan Alumni Global Australia kami dan bergabung dengan Forum Alumni Australia-Indonesia di LinkedIn. Tautannya ada di deskripsi podcast.
Oke, teman-teman, terima kasih banyak untuk waktunya. Sampai ketemu. Saya Desy Bachir.
Dr Antoni Tsaputra: Saya Antoni Tsaputra.
Cucu Saidah: Saya Cucu Saidah.
Sampai ketemu. Bye.