OzAlum Podcast

Eps #2: Breaking Gender Barriers through Comedy

Australia Global Alumni in Indonesia Season 1 Episode 2

From normalising women issue talks to Australia’s political satire scene, internationally acclaimed comedian Sakdiyah Ma’ruf talks with guest host alumna Desy Bachir about gender equality, comedy and her parenting style in life. How has she kept progressing and maintaining personal growth during the pandemic? Give it a listen to the second episode of our OzAlum Podcast and leave a rating and review.

If you want to stay connected with our alumni networks and stay up to date with our alumni events, you can subscribe to our Australia Global Alumni weekly updates here https://oz.link/update and join our Australia-Indonesia Alumni Forum on LinkedIn https://www.linkedin.com/groups/8490219/

Note: the audio clip on minutes of 2:20 – 3:01 courtesy of CAUSINDY (Conference of Australian and Indonesian Youth).

A full transcript of this episode is available on the OzAlum Podcast website:
https://podcast.ozalum.com/

Sakdiyah Ma’ruf: Sekarang ini suara perempuan makin lantang. Dengan makin lantangnya itu, makin banyak yang terusik makin banyak yang terusik, makin banyak label yang dialamatkan kepada perempuan yang bersuara. Pembenci pria, pejuang keadilan sosial dan lain sebagainya yang dengan mudahnya menghentikan langkah kita.

Desy Bachir: Halo dan selamat datang di podcast dimana kami membawakan anda beberapa cerita unik dari alumni kami yang menginspirasi, bersama saya Desy Bachir. OzAlum Podcast adalah akses kamu ke jejaring global alumni. Podcast ini dipersembahkan oleh tim Australia Global Alumni di Indonesia.

Teman-teman pendengar masih ingat tidak belum lama ini, tepatnya tanggal 8 Maret kemarin, seluruh dunia merayakan hari Perempuan Internasional dan tema tahun ini adalah “Choose to challenge” sebagai bentuk untuk semua perempuan agar berani mengambil pilihan dan tantangan karena banyak sekali isu yang masih harus dihadapi seperti ketidaksetaraan, bias dan stereotip agar dunia menjadi inklusif.

Di Indonesia, hal serupa juga diperingati tiap tahunnya, tepatnya tanggal 21 April atau sering disebut sebagai peringatan hari Kartini. Makna hari Kartini telah menginspirasi banyak sekali perempuan untuk terus berjuang melawan ketidakadilan dan diskriminasi.

Mengutip dari website UN Women, disitu disebutkan bahwa perempuan berhak mendapat perlakuan yang sama serta bebas dari kekerasan, stigma negatif, dan stereotip. Sebenarnya hari untuk merayakan hal tersebut baiknya tidak hanya dilakukan pada tanggal 8 Maret atau 21 April saja. Kita harus terus memperjuangkan hak-hak perempuan kapan pun dengan cara istimewa dan malah unik. Seperti yang dilakukan oleh salah satu Kartini modern kita yang akan saya ajak bicara hari ini. Ia memperjuangkan kebebasan berekspresi bagi kaum perempuan dan menantang stereotip perempuan Indonesia dengan cara yang sangat unik yaitu melalui tawa dan komedi.

Potongan suara dari Sakdiyah Ma’ruf di acara Conference of Australian and Indonesian Youth, courtesy of CAUSINDY: Beberapa tahun belakangan kita menyaksikan kebangkitan suara perempuan. Laki-laki tentunya mengeluh, melupakan bahwa mereka sudah menikmati beberapa abad dengan baik. Kita mempunyai pergerakan dan #sayajuga. Laki-laki punya #sayatidakmenyangkaitu. 

Saya takjub karena beberapa laki-laki merasa terganggu karena mereka tidak bisa lagi melakukan hal-hal yang biasa mereka lakukan. Mereka mengatakan, "Jadi sekarang salah menggoda perempuan berpakaian seksi?" Saya berkata, "Tidak hanya sekarang, selalu salah."

Desy Bachir: Halo Diyah.

Sakdiyah Ma’ruf: Halo

Desy Bachir: Kita sambut Sakdiyah Ma'ruf. Hai.

Sakdiyah Ma’ruf: Hai, Mbak Desy 

Desy Bachir: Halo Diyah. Selamat datang di podcast OzAlum. Sebelum kita berbincang, tapi kita dengarkan klip. Itu klip apa? kapan?

Sakdiyah Ma’ruf: Iya, cuplikan itu dari penampilan saya di CAUSINDY bulan Maret 2019 di Darwin.

Desy Bachir: Sepertinya pesan-pesan atau konten Diyah ini selalu mengangkat misi penting. Selalu ada kritik sosial tentang keadilan, kesetaraan terhadap perempuan, kadang-kadang membahas mengenai Islam yang ekstrim dan ini membawa Diyah dinobatkan sebagai perempuan inspiratif dan berpengaruh oleh BBC 100 WOMEN 2018, BBC Cultural Frontline 12 Artists that Changed the World 2019 dan 2015 Vaclav Havel International Prize for Creative Dissent winner.

Banyak sekali, semuanya itu pilihan. Aku tahu bahwa banyak komedian mengangkat keresahan, kegelisahan dalam materinya. Berarti tema-tema tadi itu sebenarnya hal-hal yang meresahkan untuk Diyah? Maka itu dipilih, sering dipakai menjadi konten?

Sakdiyah Ma’ruf: Betul, hal-hal yang meresahkan, bagian dari aspirasi dan pemikiran saya tapi bukan hanya hal yang meresahkan sesungguhnya, tapi hal yang sehari-hari saya hadapi juga.

Jadi begini, Mbak Desy. Saya itu sering ditanya, kamu membawakan isu-isu sensitif? Padahal persoalan yang sering saya bawakan di dalam komedi saya misalnya pernikahan anak, kekerasan terhadap perempuan, konservatisme agama, dampaknya terhadap perempuan bagaimana. Itu seharusnya bukan isu yang sensitif. Seharusnya. 

Jadi kalau dibilang, "Oh kamu pemberani banget" misalnya. Itu merefleksikan dua hal menurut saya. Satu, apresiasi. Saya menerima dan bersyukur dibilang demikian, sebagai apresiasi terhadap apa yang saya sampaikan, karya saya dan sebagainya. Tetapi yang kedua adalah ketika "Oh iya pemberani sekali, keren banget, isu kontroversial, isu sensitif" dan sebagainya. Itu justru menunjukkan betapa isu-isu perempuan, isu-isu kehidupan beragama dan sebagainya itu masih luput dari perbincangan kita.

Apalagi isu perempuan, mendesak sekali, masih luput dari perbincangan kita. Sehingga kalau ada yang membicarakannya itu dibilangnya wow. Padahal yang namanya perempuan itu separuh dari dunia ini. Membicarakan perempuan dianggap isu sensitif, masih tabu. Jadi sebenarnya itu mengimplikasikan bahwa hal ini tidak cukup dibicarakan.

Desy Bachir: Iya. Jadi mungkin inginnya sampai isu ini dibilang sesuatu yang tidak luar biasa, akan terus dibicarakan oleh Diyah?

Sakdiyah Ma’ruf: Akan terus dibicarakan. Tidak hanya setahun sekali. Setahun 3 kali paling tidak kalau di Indonesia. Hari perempuan internasional, hari Kartini dan hari Ibu.

Desy Bachir: iya. Benar sekali. Ini menarik karena jejak kiprah prestasinya sebagai komika juga banyak mengantarkan ke gerbang-gerbang lain. Bukan hanya acara-acara seputar komedi dan ini sejak tahun 2016, aku tahu Diyah banyak sekali penampilan di Australia baik sebagai komedian maupun sebagai pembicara utama. Itu bagaimana ceritanya? Kenapa Australia dibanding negara lain? Kenapa seringnya malah kesana? Dan di sana, dari berbagai macam acara yang sudah didatangi yang paling berkesan yang mana?

Sakdiyah Ma’ruf: Oke. Kenapa Australia ada dua hal sebenarnya. Yang pertama diawali dengan saya mendapatkan apresiasi Vaclav Havel International Prize for Creative Dissent tahun 2015. Organisasinya namanya Human Rights Foundation dari Amerika Serikat yang memberikan, yang ternyata juga berafiliasi dengan banyak organisasi di Australia. Kemudian juga berafiliasi dengan organisasi yang mempromosikan hak asasi manusia di Australia. Namanya Article 16. Article 16 itu kemudian menjadi penerima manfaat dari satu acara gala tahunan yang diselenggarakan kelompok satir di Australia. Namanya The Chaser. Dari situ akhirnya saya banyak berinteraksi dengan kelompok-kelompok komedi dan acara-acara komedi di Australia.

Itu yang pertama, kemudian yang kedua, saya baru menyadari setelah banyak berinteraksi dengan komedi di Australia bahwa Australia itu menurut saya punya jenis komedi yang sangat spesifik. Tradisi satir di Australia itu berkembang pesat dan menjadi salah satu yang membentuk identitas komedi Australia. Sehingga kalau kita bicara misalnya demokrasi, keterbukaan, itu kita sering merujuk ke negara tertentu. Menurut saya, negara yang salah satunya penting untuk dirujuk adalah Australia.

Saya melihat betapa satir terutama satir politik itu sangat diapresiasi. Itulah mengapa akhirnya tidak hanya sekali datang ke Australia.

Desy Bachir: Iya. Berbeda dengan Indonesia?

Sakdiyah Ma’ruf: Lumayan. Titik mulainya Indonesia itu baru mulai komedi tunggal marak di 2011. Waktu itu ada kompetisi komedi tunggal disalah satu stasiun TV. Sedangkan Australia setahu saya sudah dari tahun tujuh puluhan/delapan puluhan.

Desy Bachir: Wow, sudah sangat dewasa ya.

Sakdiyah Ma’ruf: Artinya titik mulainya memang jauh sehingga kalau mau bicara komedi Australia dan komedi Indonesia mungkin serunya bicara apa yang bisa dipelajari dari komedi Australia. 

Kalau menurut saya yang bisa dipelajari, mbak Desy, itu ada dua hal. Yang pertama adalah keterbukaan. Karena begini, saya pernah bekerja sama dengan kelompok komedi The Chaser di Sydney. Nama yang cukup besar di Australia. Yang menarik The Chaser ini adalah kelompok komedian yang sangat terbuka mengkritik pemerintah. Tidak hanya itu tetapi mereka juga terbuka untuk mengkritik korporasi.

Di acara mereka terakhir yang bertahan sampai, saya tidak tahu berapa musim tapi banyak sekali namanya The Checkout. Itu benar-benar secara terbuka menguliti produk-produk. Seperti misalnya ada episode yang lucu sekali tentang vitamin ibu hamil. Mereka bicara soal betapa ibu hamil dibombardir dengan sedemikian iklan vitamin dan susu ibu hamil padahal yang paling penting dibutuhkan adalah asam folat, yodium dan sebagainya. Itu bisa didapat dari generik di apotik. Terus mereka kuliti itu.

Menurut saya di Indonesia tidak mungkin bisa seperti itu. dan yang istimewa lagi semuanya itu ditayangkan di ABC, stasiun TV milik pemerintah. Sesuatu yang tidak akan mungkin terjadi di Indonesia paling tidak untuk saat ini.

Desy Bachir: Jadi tadi keterbukaan.

Sakdiyah Ma’ruf: Keterbukaan dan yang kedua adalah inklusifitas. Saya waktu itu cukup kaget ketika mendapat kesempatan untuk partisipasi di Melbourne Comedy Festival. Yang jelas kaget bahagia. Tapi kemudian, setelah saya pelajari lebih lanjut di websitenya Melbourne International Comedy Festival, pernyataan inklusifitas itu jelas. Kami adalah festival komedi yang inklusif, terbuka untuk siapa saja, tidak rasis, tidak seksis, tidak bersikap dikriminatif terhadap difabel dan sebagainya. Itu tertera di komitmen mereka sebagai salah satu komedi festival tertua di Australia.

Desy Bachir: Iya. Waktu episode lalu juga kita bicara mengenai perilaku orang Australia secara umum dan kata-kata inklusifitas sering sekali muncul. Inklusifitas, tidak rasis Jadi saya pikir di banyak jenis bidang, karena kemarin kita bicara soal tenis. Tenis, ini komedi, sama saja, bahwa memang disana sangat menganut inklusifitas. Tapi disini ada stereotip mengenai komedian, mungkin, Diyah sebagai perempuan berhijab, keturunan Arab, kemudian hadir di panggung komedi membawakan isu-isu sensitif. Yang seperti ini, keluarga bagaimana? Ada halangan? Ada tantangan dari keluarga?

Sakdiyah Ma’ruf: Kalau saya biasanya bilangnya begini, "Oh keluarga tidak apa-apa, tidak ada yang protes, karena tidak tahu."

Saya memulai karir komedi ini tanpa sepengetahuan orang tua. Bayangkan tampil di TV nasional tanpa sepengetahuan orang tua. Untung TV nasionalnya waktu itu masih baru, Mbak Desy. Jadi sinyalnya belum sampai ke kampung saya. Tapi seiring berjalannya waktu pasti ketahuan. Kemudian ketika makin serius barulah terasa penolakannya. Kalau posisi yang sekarang akhirnya diam-diam tidak setuju.

Desy Bachir: Setuju untuk tidak setuju?

Sakdiyah Ma’ruf: Karena begini, Mbak Desy, saudara-saudara kita yang konservatif itu konsisten sesungguhnya. Salah satunya adalah bahwa perempuan itu tidak memiliki dirinya sendiri. Jadi perempuan itu hak milik. Dia dipindahkan saja dari asuhan ayahnya. Perwalian. Kemudian dipindahkan ke tangan suaminya.

Jadi saya mendapatkan suami yang sangat mendukung, Alhamdulillah, seperti suami saya, seperti menang lotre jadinya. Dan itu bisa jadi kuncian sekali. Jadi walaupun saya tidak menyetujui gagasan bahwa perempuan tidak punya pilihan dan suaranya sendiri tapi saya tunggangi juga itu. Lumayan

Desy Bachir: Kita manfaatkan saja. Yang penting restu suami ada.

136 Sakdiyah Ma’ruf: Restu suami ada.

Desy Bachir: Bapak sudah tidak bisa bicara apa-apa lagi. Benar

Sakdiyah Ma’ruf: Memang semua itu sudah ada jodohnya.

Desy Bachir: Suami juga mendukung bolak-balik ke Australia?

Sakdiyah Ma’ruf: Mendukung. Alhamdulillah

Desy Bachir: Bahkan kemarin dibatalkan juga aku dengar, tidak jadi pergi kesana.

Sakdiyah Ma’ruf: Betul, ke Melbourne Comedy Festival dibatalkan.

Desy Bachir: Tapi tetap saja menjadi pembawa acara Virtual Alumni kemarin?

Sakdiyah Ma’ruf: Iya.

Desy Bachir: Bersama dengan Ambassador Australia untuk Indonesia, H.E. Gary Quinlan. Itu bagaimana? Karena berbeda dengan hadir secara langsung.

Sakdiyah Ma’ruf: Itu kehormatan yang sangat luar biasa sekali. Saya dipercaya untuk menjadi pembawa acara yang sedemikian prestisius. Pengalamannya banyak, salah satunya adalah bagaimana sebagai pembawa acara membangun suasana yang tentu saja sangat berbeda tetapi masih terasa ini memang acara yang penting dan harus diapresiasi dan dihargai oleh semua pihak. Kemudian profesionalitas semua tim di Australia Awards.

Profesionalitas dan ketatnya menerapkan protokol kesehatan. Bayangkan pembawa acaranya itu hanya dua orang dan diletakkan di ruangan terpisah dan juga stafnya juga yang terlibat sangat sedikit jumlahnya tetapi sangat cekatan. Jadi melihat protokol yang diterapkan di Indonesia saja itu. Wow, pantas. Kehati-hatiannya dan sebagainya ketat sekali. Pantas Australia sudah bebas COVID. Saya kira yang disini juga mencerminkan kebijakan di Australia. 

Desy Bachir: Mengangkat nilai-nilai yang sama.Tadi kita sempat singgung sedikit mengenai gagalnya pergi ke Melbourne International Comedy Festival. Biasanya orang bilang ada hikmahnya asal kita mau melihat. Kalau Diyah melihat tidak ada hikmahnya tidak jadi pergi ke Melbourne International Comedy Festival.

Sakdiyah Ma’ruf: Iya. Kalau bicara hikmahnya apa. Salah satu hikmah yang paling besar yang saya rasakan sebagai komedian di masa pandemi ini adalah ketika kita terbatas, mobilitas dan sebagainya itu ruang bertumbuh dan berkembangnya itu besar ternyata diluar bayangan sekali.

Misalnya begini, saya dengan ciri khas saya atau misi dan pesan yang saya bawa fokus kepada isu-isu perempuan dan juga isu-isu ekstrimisme konservatisme. Karena Alhamdulillah sudah dapat misalnya eksposur international, banyak apresiasi salah satunya juga dari Australia. Itu kadang-kadang membuat kita sebagai pekerja kreatif itu terkotak. Kalau Sakdiyah itu harusnya bicara ini saja. Beberapa interview yang sudah saya lakukan menjelang Melbourne International Comedy Festival juga mengarah kesana. Untuk membangun ekspektasi penonton bahwa disana ada orang muslim, komedian,

Desy Bachir: berhijab

Sakdiyah Ma’ruf: yang akan berbicara, berhijab, yang kelihatan nyata muslim akan bicara isu-isu Islam. Tidak apa-apa. Karena itu juga bagian dari keresahan saya, itu memang pesan saya, komedi saya.

Tetapi selama pandemi ini, diluar bayangan kesempatan bertumbuh dan berkembangnya besar sekali. Saya bisa jadi eksplorasi misalnya saya bekerja sama dengan salah satu serikat pekerja membicarakan isu-isu pekerja di masa pandemi. Bicara soal, pandemi ini mengubah status dari pekerja lepas jadi pekerjaan lepas. Kemudian juga bekerja sama dengan beberapa organisasi lingkungan misalnya orang-orang sekarang peduli lingkungan. Ini peduli lingkungannya benar tidak?

Kalian tahu tidak kenapa namanya cocok tanam? Bercocok tanam. Ini banyak selama pandemi. Namanya cocok tanam karena kalau cocok ditanam terus kalau tidak cocok paling tidak sudah diunggah ke media sosial.

Kemudian juga ada kesempatan untuk berbicara lebih serius dan lebih mendalam soal isu-isu kekerasan terhadap perempuan. Artinya dengan tidak menggeser konsistensi saya di tema-tema tertentu yang memang menjadi bagian dari keresahan dan suara saya, sebagai pekerja kreatif saya merasakan betapa pandemi ini berkah sekali berkenaan dengan peluang untuk bertumbuh dan berkembang. 

Desy Bachir: Banyak kebiasaan baru jadinya yang terbentuk juga yang mungkin kita tidak tahu tadinya, ternyata bisa. 

Tadi sempat dibahas bahwa jadi ada kesempatan untuk membicarakan banyak isu termasuk salah satunya kekerasan terhadap perempuan. Dan kekerasan ini tidak hanya berupa fisik karena banyak sekali kata-kata yang juga merupakan kekerasan terhadap perempuan menurut saya dan itu sayangnya banyak juga diangkat dalam bentuk komedi. 

Lelucon seksis untuk perempuan. Itu sering sekali kita dengar, kesannya harus diam saja. Seperti itu stereotip yang wajar bahwa perempuan dijadikan obyek untuk sebuah lelucon seksis. Bagaimana menurutmu tentang hal ini sebagai yang membawa isu kesetaraan gender dalam komedi?

Sakdiyah Ma’ruf: Bayangkan mbak Desy, saya itu pernah berada di satu situasi dimana ada seorang bapak yang posisinya sangat tinggi di kantornya memberikan sambutan untuk sebuah acara. Acara itu dihadiri oleh banyak ibu-ibu juga, perempuan, salah satunya dari organisasi sosial yang sudah lama berdiri dan beraktifitas di Indonesia. Beliau dengan tanpa ragu, "Ibu ini dari organisasi ini, padahal organisasinya sudah lama di Indonesia. Tapi ibu masih kelihatan muda sekali. Saya kira sudah turun mesin." Menanggapi yang mbak Desy bilang tadi, kita harus apa?

Desy Bachir: Iya

Sakdiyah Ma’ruf: Posisinya akhirnya relasi kuasa. Relasi kuasa yang tidak seimbang sering kali kita hadapi di acara-acara atau di tempat kerja dan sebagainya. Atasan yang bicara seksis kepada bawahan. Terus sering kali kita sebagai orang Indonesia, meskipun kuping panas, hati adem. Itu khas kita sekali. Kuping panas, hati adem terus cekikikan. "Jangan gitu pak", misalnya. 

Jadi kalau menurut saya rumusnya sederhana. Ini yang saya pelajari di panggung. Kalau komedian melempar lelucon kemudian penonton diam berarti itu tidak lucu. Komedian melempar lelucon, penonton tertawa itu berarti lucu. Itu sudah tidak perlu dipikirkan. Memang demikian. Sehingga kalau di lingkungan kerja, di lingkungan acara dan lain sebagainya seharusnya juga bisa dipraktekkan. Artinya kita juga kita tidak perlu cekikian. Kita juga tidak perlu salah tingkah, ketawa-ketawa canggung.

Jadi kalau misalnya menjukkan keberatan secara langsung tidak bisa karena relasi kuasa yang tidak memungkinkan, kalau kita diam ya sama seperti lawakan tunggal juga. 

Desy Bachir: Iya benar. Saya pikir Diyah juga pengusung kesetaraan gender, dari materi-materi yang disampaikan, dari obrolan tadi kita juga sangat kelihatan. Sekarang punya anak, dengan pemikiran-pemikiran yang sudah ada ke anak dari sekarang, apakah itu sudah mulai ditanamkan dari sekarang mengenai kesetaraan gender?

Sakdiyah Ma’ruf: Saya mengaku saja bukan salah satu ibu inspirasional. Kadang-kadang anakku juga baru mandi jam 12 siang. Nunggu mamanya selesai webinar dan lain-lain baru dimandikan. Kasihan, tapi ya sudah itu dinamika keluarga balita yang tidak mau saya tutup-tutupi dibalik BBC 100 Women. 

Tapi mengenai kesetaraan gender saya kira saya dan suami berprinsip bahwa kamu manusia dahulu. Manusia dahulu lalu perempuan. Manusia seutuhnya dengan kemanusiaan yang ditakdirkan berjenis kelamin perempuan. Dari awal seperti misalnya pakaian, tidak memaksakan sekali harus pakai rok atau apa. Jadi kadang dipakaikan rok, lebih sering dipakaikan celana panjang karena mikirnya supaya lebih bebas bergerak saja. Saya berpikir kalau anak-anak laki-laki itu bisa lari-larian, main bola dan sebagainya, kenapa anak-anak perempuan terus harus duduk dan menatapi rok cantiknya.

Saya akui itu sulit karena lingkungan sekitar. Dia suka sekali manjat dan semua anak kecil saya kira itu naluriah saja sebenarnya. Tapi kemudian lingkungan sekitarnya itu bilang "Anak perempuan kok nakal?" katanya. Saya pikir begini, sebenarnya standar keselamatan itu sama saja seharusnya buat perempuan dan laki-laki. Seperti di pesawat itu tidak ada sabuk pengaman khusus laki-laki dan khusus perempuan atau mungkin perempuan sabuk pengamannya dua kali lipat. Kasihan perempuan atau bagaimana.

Desy Bachir: Iya, kalau anakku yang laki-laki nangis, "Anak laki-laki tidak boleh nangis." Aku bilang, "Tidak ada bicara begitu. Kenapa anak laki-laki tidak boleh nangis? Namanya anak-anak boleh saja nangis."

Sakdiyah Ma’ruf: Benar banget. Jadi jangan anak laki-laki yang pendiam terus dipaksa-paksa main bola juga. Kasihan.

Desy Bachir: Benar. Tapi kalau misalnya Diyah sendiri sebagai tokoh yang menginspirasi. BBC Top 100 Women walaupun anaknya mandi jam 12 siang. Tapi tetap top 100 Women. Apa yang diharapkan terhadap perempuan Indonesia dalam mengekpresikan dirinya?

Sakdiyah Ma’ruf: Tetap jujur pada diri sendiri dan tidak terlalu banyak terbatasi atau membatasi diri dengan pendapat orang tentang idealnya perempuan. Artinya tetap jujur pada diri sendiri itu kita tahu kita punya suara, kita punya aspirasi, kita punya cita-cita dan cita-citanya itu akan kemana dan dimana. Saya tidak berbicara soal karir vs. rumah tangga. Menurut saya itu adalah produk patriarki yang menempatkan perempuan melawan satu sama lain. 

Padahal hidup mengalir saja. Kalau bicara soal pendapat orang, sekarang ini suara perempuan makin lantang. Dengan makin lantangnya itu makin banyak yang terusik. Makin banyak yang terusik, makin banyak label yang dialamatkan kepada perempuan yang bersuara. Pembenci pria, pejuang keadilan sosial dan lain sebagainya yang dengan mudahnya menghentikan langkah kita.

Desy Bachir: Benar sekali. Itu mungkin tipnya. Ada harapannya sekaligus tipnya. Itu versi beratnya. Kalau versi ringannya? Bagaimana supaya teman-teman pendengar tetap semangat menjalani hari-hari pandemi yang sudah masuk peringatan satu tahun ini? Ada tidak?

Sakdiyah Ma’ruf: Kalau saya, jangan kehilangan selera humor. Jangan terlalu serius. Percayalah segala kegagalan, perasaan terbentur, semuanya yang membuat kita kelelahan dan sebagainya, tunggulah untuk beberapa bulan dan itu akan menjadi komedi. Tragedi ditambah waktu sama dengan komedi.

Desy Bachir: Itu pesan yang sangat bagus dan benar. Sakdiyah terima kasih sekali buat pembicaraan kita hari ini. 

Sakdiyah Ma’ruf: Terima kasih mbak Desy.

Desy Bachir: Tadi sangat menyegarkan untuk membicarakan hal seperti ini dan buat para pendengar ingat saja pesan-pesan terakhirnya. Ingat saja kalau lagi sebal sekarang, tragedi ditambah waktu adalah komedi. Jadi kita tunggu kapan pandemi ini akan menjadi bagian dari komedi hidup kita di masa depan. 

Sakdiyah Ma’ruf: Amin

Desy Bachir: Okey. Buat teman-teman, nanti di episode ketiga akan ada interview eksklusif dengan tamu kita, Gilang Fauzi dan Desideria Murti. Pendiri start-up TRAVELXISM. Perusahaan ini memiliki misi untuk mengembangkan pariwisata dan membantu pemberdayaan komunitas dan masyarakat melalui program pengembangan yang mendukung pariwisata berkelanjutan melalui pariwisata virtual. Seperti apa perjuangan mereka merintis usahanya di era pandemi? Simak Podcast OzAlum di episode selanjutnya. Sekian untuk episode kali ini di pilot podcast OzAlum. Jika kamu suka podcast kami, beri kami penilaian dan ulasan yang bagus. Dan jika kamu ingin tetap terhubung dengan jaringan alumni kami dan tetap mengikuti acara alumni kami, kamu dapat mengikuti update mingguan Alumni Global Australia kami dan bergabung dengan Forum Alumni Australia-Indonesia di LinkedIn. Tautannya ada di deskripsi podcast. Sampai jumpa di sini pada bulan Mei.

Terima kasih banyak sudah mendengarkan. Saya Desy Bachir bersama 

Sakdiyah Ma’ruf: Saya Sakdiyah Ma'aruf. 

Sampai Ketemu. Bye