OzAlum Podcast
OzAlum Podcast
Eps #4: Connecting with Students and Alumni Community where You Can Build Your Network
In this fourth episode, OzAlum Muhammad Fathahillah Zuhri and PhD candidate Faruq Ibnul Haqi share with guest host alumna Desy Bachir about how student associations and alumni networks matter more than you think. An opportunity for students and alumni to better their professional and personal growth, Fathah manages to co-found a startup, Stepnesia, from his network, while Faruq receives funding from the Alumni Grant Scheme (AGS) for his project Bambooland, a social enterprise located at Ngepring village in Sleman. How do you leverage your students and alumni network? Give it a listen to our OzAlum Podcast and leave a rating and review.
If you're an OzAlum who wants to make an impact, apply for a grant by 28 June. More information about the AGS: https://australiaawardsindonesia.org/news/detail/244000085/applications-open-for-the-alumni-grant-scheme-2021-round-2
Stay connected with our alumni networks, stay up to date with our alumni events and subscribe our Australia Global Alumni weekly updates here https://oz.link/update and join our Australia-Indonesia Alumni Forum on LinkedIn https://www.linkedin.com/groups/8490219/
For Indonesian students in Australia, join the Indonesian Students’ Association of Australia (PPIA) app, now available on Apple store: https://appadvice.com/app/ppi-australia-apps/1528133806
A full transcript of this episode is available on the OzAlum Podcast website: https://podcast.ozalum.com/
M.Fathahillah Zuhri: Di AD/ART-nya PPI Australia itu semua pelajar asal Indonesia yang berkuliah di Australia dianggap sebagai anggota.
Desy Bachir: Begitu. Aku kira harus daftar.
Faruq Ibnul Haqi: Jadi ini untuk konfirmasi, bukan ikatan alumni pengurus PPIA, bukan. Jadi alumni PPIA itu adalah semua pelajar dari Australia sudah secara otomatis menjadi anggota.
Desy Bachir: Halo dan selamat datang di podcast dimana kami membawakan anda beberapa cerita unik dari alumni kami yang menginspirasi, bersama saya Desy Bachir.
OzAlum Podcast adalah akses kamu ke jejaring global alumni dan Podcast ini dipersembahkan oleh tim Australia Global Alumni di Indonesia.
Teman-teman alumni dan pelajar yang masih di Australia, mungkin pernah punya pengalaman berkesan tidak ketika mengikuti organisasi di dalam maupun di luar kampus? Seperti klub, asosiasi pelajar atau Perhimpunan Pelajar Indonesia Australia yang lebih terkenal dengan PPIA.
Seperti di Indonesia, bisa dibilang hampir semua 43 universitas di Australia masing-masing memiliki asosiasi pelajar atau klub. Yang membedakan adalah kemajemukan mahasiswanya. Saat ini Australia menjadi rumah bagi 700 ribu pelajar internasional yang diantaranya adalah pelajar Indonesia yang setiap tahunnya bisa mencapai 8.500 orang.
Banyak dari pelajar Indonesia tersebut ikut dalam organisasi PPIA, sebuah perhimpunan pelajar Indonesia di luar negeri yang terbesar di dunia. Terdiri dari 8 organisasi tingkat negara bagian cabang PPIA dan 33 organisasi tingkat universitas atau cabang PPIA.
Sebagai mahasiswa kadang kita sudah disibukkan dengan tugas, perkuliahan, pekerjaan atau bahkan keluarga untuk yang sudah berkeluarga. Lalu apa yang mendorong mereka untuk bergabung dalam organisasi? Dan manfaat apa saja yang mereka rasakan selama bergabung dalam organisasi?
Kali ini saya akan berbincang dengan dua alumni kita yang akan berbagi pengalaman mereka berorganisasi khususnya ketika belajar di Australia dan menjelaskan mengapa mereka percaya bahwa berorganisasi itu bermanfaat dalam banyak hal. Kita panggil tamu kita hari ini Fathah dan Faruq. Ini semacam Ricky dan Ridho? Tidak bersaudara? Namanya saja yang mirip?
M.Fathahillah Zuhri: Tidak, mbak.
Faruq Ibnul Haqi: Tidak, mbak.
Desy Bachir: Kebetulan namanya saja yang mirip. Mungkin perkenalan diri dulu baik Fathah maupun Faruq. Silahkan.
M.Fathahillah Zuhri: Halo semuanya. Perkenalkan namaku Fathah. Lengkapnya Muhammad Fathahillah Zuhri. Aku kuliah di Australia, di ANU, Canberra jurusan Magister Perubahan Energi dengan beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) di tahun 2016 dan menjabat sebagai ketua PPI Australia atau presiden PPI Australia di tahun 2016 sampai 2017.
Sekarang ini kesibukannya jadi manajer perencanaan bisnis di sebuah startup, namanya Otoraja. Selain menjadi salah satu pendiri di startup lainnya bersama teman-temanku yang bergerak di bidang inkubasi bisnis dan startup.
Desy Bachir: Jadi startup ganda?
M.Fathahillah Zuhri: Iya.
Desy Bachir: Kira-kira demikian. Oke, kalau Faruq sendiri bagaimana?
Faruq Ibnul Haqi: Oke, Mbak Desi. Terima kasih. Sebelumnya perkenalan nama saya Faruq Ibnu Haqi, biasa dipanggil Faruq dan saat ini saya sedang mengambil studi juga di University of South Australia mengambil program doktoral di bidang perencanaan wilayah dan kota sejak tahun 2019 menggunakan skema 5.000 doktor program beasiswa MORA. Dan juga pada magister saya mendapatkan beasiswa Australia Awards di tahun 2013 mengambil bidang yang sama, perencanaan wilayah dan kota dan kalau bicara tentang PPIA, saat ini saya sedang menjabat sebagai wakil ketua di PPIA dan pada saat magister bergabung juga di PPIA.
Selain di PPIA sekarang ini menjabat sebagai wakil koordinator di PPI Dunia kawasan Asia Oceania yang mempunyai anggota 14 negara termasuk Australia. Begitu Mbak Desy.
Desy Bachir: Jadi kalau Fathah startup ganda, Faruq adalah PPI ganda. Benar?
Faruq Ibnul Haqi: PPI ganda.
Desy Bachir: Jadi inilah kesamaannya selain nama yang mirip-mirip. Jadi sama-sama kuliah di Australia tapi aku dengar yang satu, Fathah penerima beasiswa dari LPDP, Faruq dari Australia Awards dan juga beasiswa MORA. Ini sebenarnya bedanya apa antara dua program beasiswa ini?
M.Fathahillah Zuhri: Dari tunjangan hidupnya saja sudah beda. Besaran mas Faruq sepertinya.
Desy Bachir: Begitu. Baik.
M.Fathahillah Zuhri: Dari penyedianya juga berbeda. Kalau saya dari pemerintah Indonesia, mas Faruq dari pemerintah Australia mas, berarti?
Faruq Ibnul Haqi: Iya.
Desy Bachir: Selain tunjangan hidup apalagi bedanya?
M.Fathahillah Zuhri: Mungkin yang signifikan ini. Kalau LPDP peraturan tertulisnya itu sebenarnya tidak boleh kerja sampingan selama studi kecuali berkaitan dengan bidang studinya. Misalnya saya pernah jadi asisten pengajar. Itu boleh. Kalau misalnya pekerjaan lainnya sebut saja misalnya koki, tenaga kebersihan, secara teknis tidak boleh selama masih studi.
Desy Bachir: Kalau Faruq boleh kerja sampingan kalau dari Australia Awards atau beasiswa MORA?
Faruq Ibnul Haqi: Pada saat studi magister saya juga mendapatkan kesempatan bekerja paruh waktu selama 20 jam per minggu. Itu menjadi suatu kelebihan kita juga. Itu menjadi kebijakan untuk semua pelajar untuk bekerja paruh waktu di Australia.
Tetapi saat ini saya mendapatkan beasiswa MORA (Ministry of Religious Affairs/Kementerian Agama RI). Itu diperuntukkan untuk para dosen di lingkungan Kementerian Agama dan kebetulan saat ini saya bekerja di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya sebagai dosen di prodi arsitektur. Ini menjadi keuntungan juga.
Setelah mendapatkan Australia Awards kemarin pada tahun 2013 sampai 2015, itu memang banyak aktivitas paska programnya dari Alumni Australia Awards juga. Ini juga menjadi suatu keuntungan bagi kami. Salah satunya mendapatkan kontak atau masih berlanjut dengan para profesor di universitas. Itulah sampai sehingga akhirnya saya kembali lagi ke Australia walaupun dengan menggunakan skema yang berbeda.
Desy Bachir: Begitu. Jadi kembali tapi pemberi beasiswanya berbeda. Kalian sangat aktif berorganisasi, bukan hanya asal berorganisasi tapi juga sebagai komite eksekutif di PPIA. Ini keterlibatannya seperti apa kalau komite eksekutif? Tapi sebelumnya mungkin teman-teman ada yang belum tahu sebenarnya apa PPI Australia dan apa aja yang dilakukan? Yang ketiga adalah keterlibatan kalian itu bagaimana sebagai komite eksekutif di PPIA?
Faruq Ibnul Haqi: PPI Australia itu kurang lebihnya adalah sebuah wadah organisasi bagi para mahasiswa yang berasal dari Indonesia yang ada di Australia. Di Australia ini memiliki 36 cabang dan ranting. Di PPI Pusat atau PPI Nasional saya saat ini berada dalam posisi wakil ketua. Menariknya itu adalah aktifitas saat ini memang sepenuhnya dari jarak jauh karena memang kondisi tidak memungkinkan untuk luring atau beraktivitas secara tatap muka.
Apalagi dalam kondisi pandemi seperti ini. Ini yang sebenarnya membedakan. Selain jabatan itu juga kita aktif untuk menjalin relasi dengan organisasi-organisasi di Australia, semacam Council of International Students Australia (CISA) itu adalah asosiasi pelajar internasional di Australia. Kalau misalnya di tingkat cabang itu kita bisa bergabung dengan kelompok asosiasi mahasiswa yang ada di Australia dengan berbagai macam latar belakang.
Karena memang PPIA itu adalah semacam sebuah klub di universitas sehingga kita berafiliasi dengan asosiasi pelajar di universitas tersebut. Itulah yang membedakan. Jadi selain kita menginduk kepada PPIA Pusat juga kita menginduk di universitas.
Desy Bachir: Kalau misalnya di kantor itu seperti hubungan bapak dan ibu perusahaan?
Faruq Ibnul Haqi: Betul. Kurang lebihnya begitu, Mbak Desi.
Desy Bachir: Kurang lebihnya begitu. Kalau dari Fathah ada kurangnya yang mau ditambahkan?
M.Fathahillah Zuhri: Mungkin begini saja, bahasa sederhananya buat teman-teman yang sudah pernah kuliah di Indonesia pasti tahu yang namanya BEM kampus. PPI Australia itu ibaratnya sama dengan BEM kampus. Hanya kalau di tingkat kampusnya sendiri, tadi kata mas Faruq, Indonesian Student Association (ISA) itu seperti unit di kampus-kampus. Kegiatannya sendiri kurang lebih sama dengan BEM. Ada yang serius-seriusnya, ada yang main-mainnya.
Desy Bachir: Begitu. Kalau buat Fathah dan Faruq sebenarnya manfaat terbesar apa yang kalian rasakan dalam berorganisasi? Dan kenapa memilihnya PPIA. Apakah karena supaya ketemu dengan pelajar Indonesia? Atau karena lebih banyak manfaatnya? Atau kenapa?
M.Fathahillah Zuhri: Kalau dari aku sendiri sebenarnya organisasi biasa utamanya yang dicari jejaringnya. Teman-temannya kira-kira bagaimana. Tapi kalau PPIA itu sendiri memang selain faktor jejaring juga karena memang ketika kita diluar itu biasanya kerinduan terhadap tanah air itu lebih besar dan orang Indonesia itu memang budayanya suka guyub, suka ngumpul dimanapun. Jadi memang tujuan utamanya itu walaupun pasti ada keunggulan-keunggulan yang didapat dengan menjadi pengurus di PPI Australia misalnya bisa ketemu dengan tokoh-tokoh bisa diskusi panjang.
Desy Bachir: Begitu. Kalau Faruq alasannya karena itu juga? Atau ada alasan yang lain?
Faruq Ibnul Haqi: Selain berjejaring pasti juga ada. Yang saya rasakan ini adalah berjejaring di lingkungan Australia justru. Ini yang sebenarnya menjadi semacam duta atau diplomat sebenarnya sebagai pelajar. Sangat dipahami ketika misalnya kita bermain atau bersama dengan pelajar Australia ditanya masalah organisasi juga terkait PPIA karena mereka tahu bahwa saya aktif di asosiasi pelajar Indonesia. Itu salah satu contohnya.
Bahkan kita juga mendapatkan satu kesempatan ketika di Australia Selatan. Kita diundang gubernur, diundang makan bersama. Kita berkumpul juga. Itu salah satu dampak yang saya rasakan juga selain berjejaring dengan tokoh-tokoh nasional. Itu memang menjadi suatu kebangaan ketika misalnya kita bisa duduk bareng membahas, diskusi dengan para tokoh nasional. Itu menjadi suatu keuntungan juga buat kita. Artinya menambah jejaring ketika kita balik ke Indonesia. Itu, Mbak Desi.
Desy Bachir: Oke. Jadi jejaringnya ya. Selain obat kangen terus juga dapat jejaring bukan hanya dari sesama orang Indonesia tapi juga dari tokoh-tokoh Australia. Tapi aku rasa mungkin yang dapat keunggulan ini hanya komite eksekutif PPIA atau seluruh anggota PPIA dapat? Bagaimana?
M.Fathahillah Zuhri: Sebenarnya aku bisa bilang itu tergantung keaktifan orangnya karena memang pada kenyataannya kalau ada ketemu tokoh baik di acara resmi maupun sekedar minum kopi paska acara itu pasti terbuka buat semua anggota PPIA. Hanya memang orang berbeda. Ada yang sibuk mengerjakan tugas, ada yang mungkin minatnya tidak di situ, mungkin minatnya bukan di bahas masalah ekonomi tapi bahas masalah lingkungan jadi tidak ikut ketika duduk-duduk minum kopi bahas masalah ekonomi. Jadi kembali ke orangnya masing-masing. Menurut saya pribadi mungkin posisi itu ada keunggulannya sendiri tapi tetap pada akhirnya tentang bagaimana orang itu bisa aktif dan kontributif baik di PPIA maupun di luar PPIA, apapun posisi dan jabatan yang dipegangnya secara resmi.
Desy Bachir: Oke. Menurut kalian apa tantangan ataupun capaian terbesar apa yang pernah kalian temui dan pelajari dari pengalaman sebagai komite eksekutif di PPIA? Dan apakah ada perbedaan antara zaman? Tadi aku tanya, teman-teman semua, apa perbedaan zaman kalian? Kalian beda zaman? Beda yang satu zaman Instagram sudah ada story, yang satu zaman Instagram belum ada story. Jadi apa perbedaannya antara kedua zaman tersebut?
M.Fathahillah Zuhri: Mulai dari capaian dulu mungkin yang gampang. Jadi bisa dibilang ketika zamanku itu fokus PPIA-nya aku bawa ke arah yang berbeda. Jadi kalau dulu itu PPIA baik level cabang maupun ranting lebih berbangga-bangga tentang seberapa besar kegiatan yang mereka lakukan, sudah 20 tahun PPIA ada, tidak ada yang namanya pendataan anggota sama sekali.
Mungkin kalau orang yang tidak tahu kepengurusan melihat, apa ini PPIA tidak ada kegiatan apa-apa. Sebenarnya bukan tidak ada tapi kita banyak merapihkan ke dalam. Yang pertama kita bikin ada database, kita bikin kartu anggota PPIA dengan keuntungan dari berbagai sponsor juga dan ada hal-hal yang menurut kita biasa, bagi teman-teman di Indonesia itu sudah luar biasa. Jadi ayo kita lebih banyak berbagi tentang cerita kita makanya kemudian kita lebih mencoba mengaktifkan di media sosial ketika media sosial itu belum dianggap sesuatu yang wah.
Desy Bachir: Oke. Yang dibuat itu adalah pembenahan ke dalam dan sebenarnya juga pengejawantahan apa yang sudah dilakukan ke orang-orang lain di luar melalui media sosial. Kalau dari Faruq sendiri apa selama dua kali menjabat ini capaian-capaian apa yang dirasa sudah dicapai.
Faruq Ibnul Haqi: Oke. Saya akan bercerita di dua periode yang berbeda ini, Mbak Desy. Pada saat tahun 2015, saya saat itu posisi sebagai ketua departemen (kadep) di Penyuluh Sosial Masyarakat (Pensosmas). Salah satu warisan yang saya tinggalkan itu adalah PPIA memberikan beasiswa kepada siswa di Indonesia yang kurang mampu, mbak.
Desy Bachir: Begitu.
Faruq Ibnul Haqi: Oke Kita itu mengumpulkan dari semua donatur di Australia. Jadi saya membayangkannya satu orang itu hanya kita berikan 12 dolar. 12 atau 20 dolar saya lupa. Kita kirimkan ke Indonesia dan kita distribusikan kepada mereka untuk membeli buku yang pada saat itu namanya LKS, Lembar Kerja Siswa kalau tidak salah. Ada satu program lagi yaitu Buku Anak Bangsa. Kita kirimkan di salah satu daerah di Jawa Timur. Itu berada di tengah laut. Jadi benar-benar daerah terpencil banget. Itu salah satu yang sampai sekarang membekas karena memang bisa langsung berdampak di masyarakat.
Selain itu juga dalam konteks keseluruhan di PPIA pada tahun 2015 itu juga kita mendapatkan penghargaan sebagai asosiasi pelajar terbaik se-Australia dari Council of International Students Australia (CISA). Sebagai eksekutif kita merasakan bahwa akhirnya kerja kami itu mendapatkan penghargaan tertinggi. Ini jarang sekali dan sampai sekarang sepertinya belum terulang kembali.
Kalau pada saat sekarang ini, di periode saat ini, di 2020 saat ini memang cukup berbeda kondisinya. Karena kondisi pandemi seperti ini yang tidak bisa diprediksi sehingga kita tidak bisa apa-apa selain hanya bisa menggunakan wadah-wadah daring seperti itu. Jadi semua program baik itu diskusi, kajian akademik bahkan konseling sampai saat ini kita melakukannya daring dan ini ada salah satu program yang menarik dari PPI saat ini yaitu adalah konseling dengan mahasiswa pelajar yang ada di Australia dan ini gratis dari PPI Australia selain progam akademik dan lain-lain.
Desy Bachir: Iya. Berarti kalau misalnya Faruq masih terhubung karena masih menjadi bagian dari PPIA itu sendiri. Kalau misalnya seperti Fathah yang sudah balik, masih terkoneksi sama alumni mantan-mantan pengurus PPIA? Yang zaman-zaman dulu? Zaman dulu, 5 tahun lalu.
M.Fathahillah Zuhri: Masih tapi karena memang terkoneksinya itu karena hubungan personal jadi mungkin tidak dengan semua,jadi dengan beberapa teman yang relatif dekat saja. Tapi justru menariknya dengan PPI Dunia kita masih sesekali diundang sebagai alumni untuk minta berbagi, dengan PPI Australia juga pernah dan memang jejaringnya benar-benar berguna. Ini yang saya cerita saya bikin startup, salah satu pendirinya ketua PPI Perancis pada masa yang sama.
Desy Bachir: Begitu. Jadi terkoneksinya kalau ikut PPIA bukan hanya di sini saja tapi juga PPI di negara-negara yang lainnya. Bisa jadi seperti itu. Ini pertanyaan untuk yang masih menjabat mungkin. Karena sepertinya jejaring alumni juga sekarang lagi populer banget. Pernah kepikiran tidak bikin kegiatan atau wadah supaya bukan hanya member PPIA saat ini tapi juga alumni PPIA bisa terkoneksi dengan yang lainnya?
Faruq Ibnul Haqi: Iya. Betul, Mbak Desy. Saat ini satu program yang sedang saya inisiasi juga di PPI Australia itu adalah untuk menghubungkan kembali atau mengaktifkan ulang ikatan alumni Australia bahkan beberapa alumni dari PPI Australia juga sedang mencoba menginisiasi untuk membuat wadah semacam ikatan alumni PPI Australia. Ini yang sebenarnya akan kita coba akomodir.
Desy Bachir: Begitu. Tapi alumni PPIA saja? Jadi aku tidak bisa ikut? Aku dulu bukan PPI soalnya.
Faruq Ibnul Haqi Sangat bisa.
M.Fathahillah Zuhri: Jadi begini, Mbak Desy. Koreksi saya jika salah, tapi di AD/ART-nya PPI Australia itu semua pelajar asal Indonesia yang berkuliah di Australia dianggap sebagai anggota.
Desy Bachir: Begitu. Aku pikir harus daftar. Ini mungkin buat teman-teman alumni yang dengerin, tidak, saya bukan PPI. Tapi pendataan itu ada dimana? Mungkin teman-teman lagi dengerin ingin tahu selama ini aku ga terdaftar, mungkin juga ingin terkoneksi kembali dengan jejaring alumni Australia. Seperti itu bagaimana?
Faruq Ibnul Haqi: Jadi ini untuk konfirmasi bukan ikatan alumni pengurus PPIA, bukan. Jadi alumni PPIA itu adalah semua pelajar dari Australia itu sudah secara otomatis menjadi anggota. Terkait dengan pendataan itu pada saat ini memang kita selalu berkoordinasi dengan Atase Pendidikan dan Kebudayaan (Atdikbud) di KBRI Canberra untuk total berapa data mahasiswa saat ini dan jurusannya itu berapa aja. Selain kita mengandalkan data dari Atdikbud juga kita saat ini sudah memiliki PPI App. Itu juga sebagai dasar untuk membuat database anggota PPI Australia di semua cabang dan ranting. Itu tujuannya.
Desy Bachir: Begitu.
M.Fathahillah Zuhri: Jadi sudah lebih canggih mas. Zamanku masih kartu. Sekarang sudah App.
Desy Bachir: Iya. Menarik sekali. Tapi kalau kita bahas, tadi kita banyak membahas mengenai kegiatan berorganisasi. Seberapa banyak kontribusi dari pengalaman berorganisasi sambil belajar di Australia terhadap aspirasi dari teman-teman?
M.Fathahillah Zuhri: Kalau buatku pribadi banyak banget, mbak. Bisa dibilang sampai menentukan arah karirku. Kenapa dibilang seperti itu, karena PPI Australia terbagi 8 cabang. Semuanya itu berjauhan jadi kita harus terbiasa bekerja jarak jauh sebelum semua orang bekerja jarak jauh seperti sekarang. Dulu itu sebelum ke Australia, cita-citaku salah satunya adalah kerja di Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) karena aku S2-nya bidang energi.
Hanya waktu disana ada kesempatan ikut konferensi, diskusi dengan senior-senior ESDM, ternyata ini sepertinya bukan jalur yang tepat buatku. Setelah lulus, aku sempat tinggal di Australia selama kurang lebih 6 bulan. Ini masa-masanya kerja sampingan karena sudah tidak ditanggung LPDP lagi. Disini aku magang di startup. Startup-nya temanku. Ketika masa visaku itu mau habis dan harus balik ke Indonesia,
Dia bilang, "Kalau kamu memang harus balik ke Indonesia, coba aku kenalkan ke si ini, Inkubator startup ini mau buka di Indonesia'. Aku dikenalkan, berbincang-bincang, singkat cerita, karena latar belakang, karena pengalaman memegang organisasi jarak jauh, juga karena jejaring yang ada di Indonesia, aku dipercayakan untuk jadi representatifnya ketika buka di Indonesia.
Setelah setahun, karena masalah pendanaan dari pusatnya, tidak jadi buka di Indonesia tapi dari situ aku direferensikan lagi ke kerjaanku yang sebelum sekarang dan dari kerjaan itu aku direferensikan ke kerjaan yang sekarang. Singkat cerita, sampai sekarang aku tidak pernah memasukan CV jalur via HR. Tapi Alhamdulillah-nya selalu ada referensi dari orang-orang karena pengalaman-pengalaman yang sudah ada dan kinerja yang sudah aku tunjukkan sebelumnya. Iya. Yang dapat itu semua dari ini. Bahkan sekarang seperti yang aku bilang, aku bikin startup salah satu pendirinya dari teman di PPI Prancis. Kalau tidak ikut PPI Australia tidak akan berkenalan sepertinya.
Desy Bachir: Iya benar juga. Jauh soalnya. Antar cabang saya sudah jauh bagaimana ke Prancis. Itu Fathah, kalau Faruq bagaimana?
Faruq Ibnul Haqi: Kalau misalkan dari saya mungkin karena saya latar belakangnya itu adalah perencanaan wilayah dan kota, salah satu pengalamannya itu adalah bagaimana kita bisa terlibat di masyarakat begitu, mbak. Lalu saya langsung mencoba daftar satu kali untuk hibah dari dari pemerintah Australia dalam bentuk Alumni Grant Scheme (AGS). Kita akhirnya bisa lolos dengan satu proposal proyek yaitu Bambooland Social Enterprise.
Saya bisa mendapatkan garis tengah bagaimana pengalaman saya di organisasi akhirnya saya bisa berinteraksi langsung dengan masyarakat dengan bidang saya di perencanaan wilayah dan kota khususnya di pengembangan masyarakat. Ini yang sebenarnya menjadi suatu anugerah.
Lulus dari Australia Awards lalu mendapatkan kesempatan untuk aktif di PPI Australia dan setelah lulus ternyata masih bisa terkoneksi bahkan bisa mendapatkan hibah dari pemerintah Australia. Ini yang sebenarnya menjadi suatu anugerah buat saya.
Desy Bachir: Grant Scheme ini bagaimana cara daftarnya dan semua bisa daftar atau untuk penerima Australia Awards saja?
Faruq Ibnul Haqi: Sebenarnya AGS itu terbuka untuk seluruh warga negara Indonesia yang telah studi di universitas di Australia baik itu dengan biaya sendiri ataupun dengan beasiswa. AGS juga terbuka untuk mereka yang telah mengikuti studi singkat di Australia dan juga mereka yang telah berpartisipasi di program-program pemerintah Australia.
Desy Bachir: Studi singkat juga bisa?
Faruq Ibnul Haqi: Juga bisa itu mbak. Ini yang sebenarnya menarik. AGS ini memang satu skema yang didukung oleh pemerintah Australia, Australia Global Alumni, dukungan penuh dari Kedutaan Besar Australia di Indonesia. Ini memang bertujuan untuk memfasilitasi dan memobilisasi alumni untuk dapat menerapkan pengalaman, pengetahuan dan jaringan yang didapat ketika di Australia.
Di dalam proyek yang saya tawarkan di Bambooland ini memang pemberdayaan masyarakat. Jadi dalam beberapa progamnya saya melibatkan alumni-alumni dari Australia juga. Jadi bagaimana AGS ini bisa mengkoneksikan kita yang sudah alumni, lalu bisa terkoneksi dengan para alumni yang lain bahkan yang dari Australia itu langsung. Ini yang menjadi luar biasanya AGS ini dan Alhamdulillah satu kali daftar bisa lolos. Setelah saya selesai AGS sayangnya saya mendapatkan beasiswa MORA jadi belum bisa mendaftarkan yang lanjutannya ini.
M.Fathahillah Zuhri: Justru ini mas yang penting buatku. Aku sudah dua kali daftar AGS, tidak lolos-lolos. Sepertinya mas Faruq bisa mengajarkan tipsnya bagaimana.
Desy Bachir: Bagaimana? Apa itu tips nya Faruq supaya siapa tahu Fathah sudah dua kali, habis ini yang ketiga, katanya ketiga kalinya biasanya berhasil. Siapa tahu berhasil. Apa sih tipsnya untuk mendapatkannya?
Faruq Ibnul Haqi: Juga mungkin dari yang saya coba pelajari bagaimana prinsip 'bernilai sepadan dengan harganya' itu bisa diterapkan karena AGS ini menyediakan dana lumayan besar mba Desy.
Desy Bachir: Berapa?
Faruq Ibnul Haqi: Sekitar AUD 15.000.
Desy Bachir: Belum pernah dapat kita. Sama-sama tidak tahu. AUD 15.000.
Faruq Ibnul Haqi: Dapat maksimal AUD 15.000 untuk satu kali proyek. Ini saya mengambil prinsip 'bernilai sepadan dengan harganya' bahkan dari total itu memang sangat bermanfaat langsung kepada komunitas dalam proyek Bambooland ini, saya mengambil obyeknya itu sebagai masyarakat Desa.
Bagaimana masyarakat desa itu bisa memaksimalkan potensi-potensi hutan bambu untuk dibuat sebagai usaha sosial. Jadi semua manfaat dari pelatihan ini bahkan kita mendatangkan pelatih dari perusahaan bambu terkenal di Indonesia untuk memberikan pelatihan kepada masyarakat desa. Bagaimana memproduksi mebel dari bambu seperti apa, teknologinya itu seperti apa lalu bagaimana bisa mensiasati dapat menjual sehingga tidak hanya menawarkan sebuah inovasi saja tapi bagaimana inovasi tersebut bisa berkontribusi pada profesi kita, organisasi dan komunitas.
Desy Bachir: Iya dan mungkin efek keberlanjutannya tadi aku lihat karena bukan hanya pengolahan tapi juga peningkatan mata pencaharian dan lain-lain. Itu juga pasti ada kriteria yang dilihat. Jadi begitu tipsnya Fathah. Semoga aplikasi yang ketiga. Tidak ada batasan? berapa kali daftar boleh ini?
Faruq Ibnul Haqi: Sepertinya tidak ada batasan.
Desy Bachir: Begitu. Tapi pendaftarannya dibukanya setahun sekali atau bagaimana?
Faruq Ibnul Haqi: Sepertinya dua kali putaran. Kebetulan sekarang ini masih dibuka juga sampai tanggal 28 Juni dan itu untuk putaran pertama 2022. Akan dibuka di bulan november juga. Artinya masih ada peluang.
Selain itu, sepertinya kalau berdasarkan dari pengalaman-pengalaman yang ada, AGS itu memang terbuka untuk semua orang yang studi di Australia tetapi kita juga harus bisa mendorong teman-teman para alumni penyandang disabilitas juga, mbak. Untuk bisa daftar khususnya bagi teman-teman, rekan-rekan kita semua yang ada di wilayah Indonesia bagian timur untuk daftar.
272 Desy Bachir: Iya. Bisa lihat dimana informasi lengkap mengenai AGS ini?
Faruq Ibnul Haqi: Di websitenya Australia Awards itu ada begitu juga di Forum Australia Indonesia Alumni di LinkedIn dan juga kita harus ikuti juga di Australia Global Alumni Weekly Update. Jadi para alumni juga harus bisa aktif untuk membuka website jadi artinya jangan sampai menunggu saja. Disitu sudah banyak sekali informasi-informasi di websitenya Australia Awards Indonesia. Banyak sekali informasinya terbaharui.
Desy Bachir: Menarik banget sebenarnya karena mungkin dengar kata-kata Alumni Grant Scheme mungkin orang menyangka jangan-jangan harus yang lulus magister, doktoral atau beasiswa tapi tadi aku dengar studi singkat saja boleh berarti yang biaya pribadi juga boleh. Jadi ini terbuka untuk semua orang yang sebenarnya pernah mengecap edukasi di Australia, apapun itu bentuknya.
Oke. Tadi sudah bicara banyak mengenai pengalaman berorganisasi di Australia. Di luar organisasi yang di ikuti yaitu PPIA, ada tidak pengalaman kegiatan di luar kampus yang unik ketika belajar di Australia. Atau waktunya jangan-jangan sudah habis untuk berorganisasi di dalam PPIA. Bagaimana ini, Fathah?
M.Fathahillah Zuhri: Kalau kegiatan banyak. Aku pernah jadi asisten pengajar dan salah satu teman yang aku ajar yang kemudian setelah lulus aku magang di startupnya dia.
Desy Bachir: Kembali lagi semua itu tidak ada yang kebetulan. Sudah diatur. Tapi berarti sibuknya kegiatan banyak di kampus Fathah? PPIA terus kemudian asisten pengajar. Masih sempat tidak? Siapa tahu teman-teman berpikir: "Saya ingin jadi pengurus. Tapi saya masih sempat tidak punya kegiatan di luar kampus?'
M.Fathahillah Zuhri: Jadi selain itu aku masih sempat mengurus Diaspora Muda Aceh, aku masih sempat ikut latihan silat, aku masih sempat ikut pengajian, aku masih sempat ke gym. Jadi masih sempat-sempat saja sebenarnya.
Desy Bachir: Begitu. Menuju akhir podcast kita, ada tidak pesan yang ingin disampaikan ke teman-teman yang mungkin masih belajar di Australia ataupun sekarang jadi pelajar Australia tapi tidak di Australia terkait dengan berorganisasi? Sarannya supaya mereka juga lebih tertarik ikut berorganisasi. Ada tidak sih pesan-pesan yang ingin kalian sampaikan?
M.Fathahillah Zuhri: Aku ulangi nasihat dosenku dari S1 waktu di ITB yang sampai sekarang paling membekas. Nasihat beliau itu hanya sederhana. Kedepannya kamu akan lebih sibuk dari sekarang, jadi kalau sekarang kamu tidak sempat melakukan sesuatu kedepannya kamu akan semakin kacau. Tidak sempat melakukan apa-apa.
Kenapa ini menjadi mengena, karena saya merasa sampai sekarang saya makin sibuk. Saya kerja penuh waktu, bikin startup, mengurus komunitas, mencoba yang lain juga masih sempat. Tapi kebanyakan dari mahasiswa, termasuk saya dulunya merasa tidak sempat organisasi, sudah tidak ada lagi waktunya. Padahal kalau mau, pasti ada waktunya. Tinggal bagaimana kita mengaturnya saja.
Desy Bachir: Jadi teman-teman yang statusnya pelajar, ini waktunya masih banyak. Percayalah. Kalau dari Faruq sendiri bagaimana?
Faruq Ibnul Haqi: Kalau dari saya, sekarang ini posisi saya jadi mahasiswa, saya kembali lagi menjadi seorang pelajar. Ketika misalnya saya hanya rutinitas melakukan riset, saya tidak bisa membayangkan ketika tidak ada aktifitas di luar itu. Akhirnya dari situlah saya berpikir saya harus aktif di tempat yang lain juga salah satunya itu saya harus aktif di organisasi dan salah satunya di PPI Australia.
Desy Bachir: Iya. Jadi buat teman-teman yang mungkin selama ini merasa bukan anggota PPIA, ternyata PPIA dan sebenarnya jejaringnya juga masih bisa karena sekarang PPIA juga ada app-nya. Jadi habis ini nanti aku nanti cari dan mudah-mudahan teman-teman yang mendengarkan baik yang masih menjadi pelajar maupun sudah menjadi alumni bisa menjadi bagian dari jejaring PPIA.
Oke. Terima kasih banyak untuk Fathah dan juga Faruq untuk waktunya. Senang banget berbincang-bincang dan buat teman-teman juga, terima kasih sudah mendengarkan.
Di episode selanjutnya, akan ada eksklusif interview dengan tamu kita yang lain. Jadi dengerin terus OzAlum Podcast, di mana aku akan berbincang tentang pengalaman Australian alumni lain yang menginspirasi dan memiliki cerita menarik lainnya.
Sekian untuk episode kali ini di pilot podcast OzAlum. Jika kamu suka podcast kami, beri kami penilaian dan ulasan yang bagus. Dan jika kamu ingin tetap terhubung dengan jaringan alumni kami dan tetap mengikuti acara alumni kami, kamu dapat mengikuti update mingguan Alumni Global Australia kami dan bergabung dengan Forum Alumni Australia-Indonesia di LinkedIn. Tautannya ada di deskripsi podcast. Sampai jumpa di sini pada bulan Juli.
Oke. Sekian untuk saat ini. Saya Desy Bachir.
M.Fathahillah Zuhri: Saya Fathah.
Faruq Ibnul Haqi: Saya Faruq.
Sampai ketemu. Bye