OzAlum Podcast

Eps #7: Farming the Future – the Role of Youth in Agriculture

Australia Global Alumni in Indonesia Season 1 Episode 7

Learn what attracts the young generation change the farming industry with their entrepreneurial spirit, and passion amid growing concerns over the future of food security. In this seventh episode, we talk with OzAlum Ignatius Agung Pratama, an experienced horticultural specialist, and Taufik, an entrepreneur who had an opportunity to work in a winery and dairy farm in Australia under the Australia – Indonesia Youth Exchange Program. What are the ways to revolutionise the farming industry? Be sure to tune into our OzAlum Podcast and leave a rating and review. 

 

If you want to stay connected with our alumni networks and stay up to date with our alumni events, you can subscribe to our Australia Global Alumni weekly updates here https://oz.link/update and join our Australia-Indonesia Alumni Forum on LinkedIn https://www.linkedin.com/groups/8490219/

A full transcript of this episode is available on the OzAlum Podcast website: https://podcast.ozalum.com/

Taufik: Dari pengalaman saya memang generasi baby boomers yang memegang pertanian. Namun demikian, pemudanya mulai sadar. Mulai mencoba masuk ke dunia pertanian.

Ignatius Agung Pratama: Saya rasa ini juga semakin banyak karena kita bisa lihat sendiri juga sekarang muncul fenomena yang namanya startup di bidang pertanian.

Desy Bachir: Halo dan selamat datang di podcast dimana kami membawakan anda beberapa cerita unik dari alumni kami yang menginspirasi, bersama saya Desy Bachir.

OzAlum Podcast adalah akses kamu ke jejaring global alumni dan podcast ini dipersembahkan oleh tim Australia Global Alumni di Indonesia.

Teman-teman alumni tahu tidak bahwa Kementerian Pertanian baru-baru ini menggagaskan “Gerakan Petani Milenial”. Apa itu? Itu adalah terobosan Pemerintah untuk meningkatkan produksi pertanian melalui peningkatan minat dan keterlibatan generasi muda di sektor pertanian. Menarik sekali.

Kebetulan podcast episode kali ini bertepatan dengan peringatan “Hari Tani Nasional” yang setiap tahunnya dirayakan pada tanggal 24 September sebagai bentuk apresiasi terhadap para petani di Indonesia. Ini adalah momen yang sangat pas untuk mengupas topik tentang partisipasi generasi muda di sektor pertanian. 

Mungkin teman-teman sering dengar bahwa di Indonesia ini, partisipasi generasi muda di sektor pertanian semakin menurun. Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian Kementan mencatat petani muda di Indonesia yang berusia 20-39 tahun hanya sekitar 8 persen dari total petani kita yang berjumlah 33,4 juta orang.

Salah satu faktor pendorong pergeseran generasi muda dari sektor pertanian ke sektor non-pertanian antara lain pandangan dan persepsi tentang pertanian yang digambarkan sebagai pekerjaan yang kotor karena lumpur sawah, kerja mencangkul yang berat, upah yang rendah dan prospek jenjang status pekerjaan sehingga profesi petani dipilih sebagai alternatif terakhir. Tentu saja pergeseran tersebut berdampak pada efektivitasan dan efisiensi sektor pertanian serta langkanya tenaga kerja pertanian dan kenaikan upah.

Kalau melihat ini, kira-kira apa yang bisa kita lakukan untuk mengajak dan memikat generasi muda agar mau bekerja di sektor pertanian? Dan sebenarnya apakah persepsi negatif terhadap profesi petani itu benar? Kalau pun benar, apakah bisa kita lakukan sesuatu untuk mengubah persepsi tersebut sehingga bisa menambah banyaknya generasi muda yang tertarik untuk masuk ke sektor pertanian?

Dalam podcast kali ini kita akan berbincang dengan dua tamu alumni yang telah menekuni dunia pertanian sejak usia muda. Bisa dibilang mereka adalah petani milenial dan juga "Champion" yang aktif dalam mengadvokasikan isu-isu terkait dengan pertanian di ranah mereka masing-masing.

Oke. Kita panggil kedua tamu kita. Halo mas Agung. Halo mas Taufik. Bagaimana kabarnya hari ini?

Ignatius Agung Pratama: Baik, bagaimana kabar? 

Taufik: Baik.

Desy Bachir: Baik. Baik sekali dan sangat senang karena topik hari ini menurut aku sangat menarik dan kalau tadi kita bicarakan ada persepsi-persepsi, tidak bisa bohong, mungkin ada persepsi-persepsi itu juga yang tadinya muncul di kepalaku. Makanya aku tertarik sekali untuk bicarakan hari ini dan ingin dengar juga sebenarnya itu kesalahpahaman atau bagaimana?

Tapi sebelum ke sana, boleh perkenalan diri dulu tidak buat teman-teman alumni ini yang belum kenal sama mas Agung, mas Taufik untuk bisa kenal lebih dekat. Mungkin kalau kita sekolah, mas Agung namanya duluan absensinya. Jadi mas Agung dulu silahkan.

Ignatius Agung Pratama: Oke. Halo teman-teman alumni, perkenalkan nama saya Ignatius Agung Pratama, lebih dikenal dengan nama Agung. Saat ini saya bekerja di sebuah perusahaan di bidang pertanian, khususnya di bidang perbenihan karena perusahaan saya menjual benih, khususnya benih sayuran atau hortikultura yang berasal dari Belanda. Perusahaan saja bernama Bejo Zaden. 

Saya lulusan Australia di tahun 2001. Saya lulus dari QUT atau Queensland University of Technology untuk master saya, lalu saya juga beruntung karena mendapatkan Beasiswa Australia Awards untuk mengikuti kursus singkat di tahun 2018 mengenai kepemimpinan bisnis transformasional.

Jadi kalau untuk latar belakang saya sudah lebih dari 15 tahun, mungkin sudah hampir 20 tahun di bidang pertanian, malang melintang di bidang benih hortikultura dan agrokimia atau pestisida. Jadi mungkin itu saja, mbak Desy.

Desy Bachir: Oke. Kalau mas Taufik bagaimana? Boleh perkenalkan diri ke teman-teman alumni.

Taufik: Boleh. Baik selamat malam teman-teman alumni. Saya Taufik dari Kalimantan Utara. Tahun 2004 saya coba ikut program AIYEP (Australia-Indonesia Youth Exchange Program). Waktu itu saya mewakili Sulawesi Selatan. Jadi perwakilan Sulawesi Selatan untuk pertukaran pemuda Indonesia-Australia. Di program itu, saya magangnya di Adelaide, di desa namanya Barossa Valley di Lindo. Kebetulan dapat keluarga petani yang bikin wine, namanya Charles Melton Winery. Ketertarikan saya di pertanian mulai dari situ, karena pemilik kilang anggur itu kaya sekali.

Desy Bachir: Awal mula ketertarikan dengan pertanian ternyata dimulai dari anggur. Siapa yang sangka? Tadi di awal aku bilang bahwa penurunan partisipasi generasi muda di sektor pertanian itu berpengaruh terhadap produktivitas pertanian. Apa tanggapan teman-teman mengenai fenomena ini?

Taufik: Dari pengalaman saya memang generasi baby boomers yang memegang pertanian di kelompok-kelompok di Kalimantan Utara namun demikian ada beberapa kelompok yang pemudanya mulai sadar terutama yang mulai coba masuk ke dunia pertanian. Karena selama ini pandangannya di Kalimantan Utara sendiri itu pemudanya lebih ke tambang kemudian tambak atau udang yang lebih kelihatan penghasilan bulanannya. Karena kalau berurusan dengan pertanian, nanti musim panen atau musim apa baru kelihatan uangnya. Itu sebuah persepsi yang salah bagaimana kalau misalnya dia punya 20 hektar, kemudian per 2 hektarnya ada 10 varian. Itu oke juga jadi tiap bulannya untung terus. Tidak bisa dipungkiri seperti batu bara dengan sawit itu menguasai Kalimantan. Itu tantangannya. Tantangannya disitu. 

Jadi tantangannya selain persepsi-persepsi yang salah juga persaingan dengan sektor lainnya yang kebetulan identik dengan provinsi yang ditinggali oleh mas Taufik. Kalau mas Agung bagaimana?

Ignatius Agung Pratama: Kalau menurut saya mungkin partisipasi itu saya bedakan menjadi dua dulu. Partisipasi langsung di dunia pertanian maupun partisipasi tidak langsung di dunia pertanian. Kalau partisipasi langsung saya rasa memang fenomena ini benar adanya. Karena memang salah satu masalahnya adalah petani-petani yang semakin tua dan generasi muda yang tidak ingin turut langsung di dalam dunia pertanian secara langsung dalam tanda kutip.

Tapi kalau kita bicarakan yang tidak langsung, saya rasa ini juga semakin banyak karena kita bisa lihat sendiri juga sekarang muncul fenomena yang namanya startup di bidang pertanian. Mereka tidak ikut kotor-kotor di lahan, mereka tidak ikut cangkul mencangkul di lahan tapi mereka secara tidak langsung terlibat di dunia pertanian dengan melakukan misalnya pendekatan kepada petani untuk bisa tidak kita beli barang kalian.

Kalau misalnya kalian tidak ada modal kita bisa kasih pinjaman dengan fintech yang kita siapkan dan fasilitas pinjaman finansial yang disiapkan dalam aplikasi mereka atau platform mereka. Jadi kalau misalnya kita bicara secara tidak langsung, saya rasa ini fenomena yang juga muncul. Tapi apabila fenomena ini tidak sinkron, berarti akan semakin banyak dalam tanda kutip orang-orang yang menjadi perantaranya jadinya disini, yang tidak ikut langsung. Ini menjadi keprihatinan kita semua. Kenapa yang terlibat langsungnya ini tidak banyak.

Makanya kita harus mendorong teman-teman muda untuk masuk ke dunia pertanian yang secara langsung untuk memproduksi hasil pertanian, peternakan, perikanan, apapun itu di Indonesia. Saya rasa mungkin itu kalau dari saya.

Desy Bachir: Oke. Kita bahas bahwa partisipasi itu menurun, generasi muda tidak banyak tapi mas Agung, mas Taufik, tadi mas Agung sudah 15 tahun lebih di dunia pertanian kalau mas Taufik berapa lama?

Taufik: Kalau keluarga memang petani juga tetapi agak beda sedikit. Kami disebutnya petani udang. Dari SMA tahun 1997. 20an tahun juga. 

Desy Bachir: Berarti sudah lama sekali. Mungkin kalau mas Taufik ada unsur keluarga tapi kita juga tahu tadi mas Agung sebut walaupun keluarganya petani, belum tentu mau jadi petani juga. Apa yang menyebabkan mas Agung dan mas Taufik ini terjun di dunia pertanian dan sudah lama sekali? Selain tadi melihat wine, mas Taufik? Apa yang membuat mas-mas berdua ini justru menekuni dunia pertanian pada saat usia yang masih sangat belia?

Ignatius Agung Pratama: Oke. Kalau dari saya ini lucu. Jadi ketika saya sekolah dulu, pikiran saya, saya mau kerja kalau tidak di bank, jadi pengacara. Karena pakai jas, pakai dasi, wangi, punya mobil bagus, tapi ternyata ketika saya lulus sekolah saya diterima di sebuah perusahaan Amerika yang bergerak di bidang agrokimia, perusahaan pestisida sebagai peserta pelatihan manajemen waktu itu dan mana pelatihan manajemen. 

Buat saya ini adalah kunci dimana saya memulai karir saya sampai sekarang ini. Karena ketika saya menjadi peserta pelatihan manajemen di perusahaan itu, walaupun saya bukan di bidang pertanian, saya diminta oleh perusahaan itu untuk bisa mengolah pestisida dalam satu tangki untuk nantinya siap diangkat di pundak petani, untuk disemprotkan ke tanamannya itu. Bisa dibayangkan waktu itu lahan yang saya semprotkan itu sekitar setengah hektar bersama 2 atau 3 petani lainnya dan saya anak kota, lulusan dari luar negeri, tidak mengerti apa-apa, harus memakai sepatu boot di sawah yang basahnya minta ampun. 

Mungkin mas Taufik nanti bisa cerita juga bagaimana beratnya itu untuk mengangkat 12 liter di punggung sampai jalan pakai sepatu boot di sawah untuk menyemprot bolak-balik, atas bawah. Itu pekerjaan yang amat sangat berat dan saya melihat itu yang dilakukan oleh petani-petani kita.

Ternyata dari situ saya juga bisa menikmati bahwa ternyata tidak sekedar dasi, jas dan badan yang wangi untuk bekerja dan untuk berkontribusi pada diri kita maupun negara. Ternyata kalau kita di dunia pertanian pun itu juga merupakan suatu pekerjaan yang mulia. Karena untuk menghasilkan beras yang kita makan itu, itu adalah suatu pekerjaan yang luar biasa yang dikerjakan oleh petani-petani kita dan saya merasakan itu. Dan sampai saat ini saya sangat menikmati dunia pertanian dan itu terus berlanjut sampai 15-20 tahun kemudian dan bagaimana saya juga bisa berkontribusi dengan apa yang saya punya, ilmu yang saya miliki untuk bagaimana caranya mereka bisa menambah produktivitas mereka. Kurang lebih mungkin itu kalau dari saya.

Desy Bachir: Iya. Kalau mas Taufik bagaimana?

Taufik: Kalau saya waktu kuliah di sastra Inggris Universitas Hasanuddin sebenarnya tidak punya obsesi atau ambisi terlalu besar. Waktu di Australia itu saya menemukan suatu yang unik. Uniknya adalah Charles Melton itu istrinya di manajemen sementara suaminya di bagian lapangan dan mereka melakukan cellar door.

Cellar door itu bayarnya datang langsung ke desa, langsung tes wine dan memang winenya itu satu botol ada yang 8 juta sampai 60 juta dan bayarnya itu terbang langsung ada yang dari Amerika, Eropa. Ternyata mereka melakukan pemasaran langsung bukan seperti petani-petani Indonesia, petani-petani kita biasanya ada tengkulaknya kemudian dari tengkulak masuk ke tengkulak yang lebih besar, baru kemudian masuk lagi ke pasar yang lebih besar dan kemudian itu dikirimkan dari negara ke negara lain. Jadi terlalu banyak lapisan dan itu yang membuat harga murah sekali.

Dari situlah, dari Charles Melton Winery inilah, kenapa pertanian kita tidak memikirkan hal seperti ini. Keluhannya pasti satu, habis ini mau dijual kemana? Nanti kalau panen raya pasti harganya turun. Sudah itu saja masalahnya.

Jadi dari situlah berawal saya dirikan yayasan kemudian tahun lalu saya dirikan PT. PT-nya untuk perdagangan luar negeri. Asyiknya di situ. Akhirnya petani itu, "Ternyata bisa langsung ekspor?" "Bisa saja, kenapa tidak." kata saya.

Desy Bachir: Ternyata cinta pada dunia pertanian bisa muncul dari lumpur maupun dari wine. Sangat menarik. Banyak unsur sebenarnya yang bisa menyebabkan persepsi tadi. Mungkin dari sistemnya, pengetahuannya tadi berarti. Tadi kalau misalnya bisa diantisipasi akan ada ini, ada itu, tentunya ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk mengantisipasi itu. Seperti bisnis lainnya sebenarnya. Tapi kalau mas Agung sendiri bagaimana? Tadi sempat menyebutkan petani milenial partisipasi langsung, tidak langsung, mungkin ada yang mengatakan makna pertanian itu luas tapi sebenarnya bukan petani langsung tapi di bagian perantara. Kalau seperti itu bagaimana sebenarnya? Apakah mereka bisa disebut petani?

Ignatius Agung Pratama: Saya merasa begini. Mereka yang memang paham informasi, mereka yang akan menang kalau di dunia pertanian sekarang. Selama mereka memahami bahwa potensi pertanian itu ada yang membeli atau ada pasarnya tentu saja mereka harusnya mengejar itu. Tapi sayangnya hal itu tidak dikejar oleh petani-petani sekarang. 

Makanya kalau muncul fenomena bertani atau pertanian yang tidak langsung terlibat di sawahnya, itu adalah teman-teman yang paham teknologi, anak-anak milenial sekarang yang paham teknologi di dunia startup yang berkecimpung di dunia pertanian, saya rasa mereka juga masuk kesana, mereka melihat sesuatu dan ternyata banyak sekali investor yang memberikan modal besar kepada startup-startup itu atau fintech-fintech itu untuk tumbuh.

Mereka tidak bisa kita sebut sebagai petani milenial memang tapi mereka mereka mendukung dunia pertanian itu secara tidak langsung. Mereka para milenial yang mendukung di dunia pertanian. Saya rasa itu adalah istilah yang paling tepat. Tapi tidak menutup kemungkinan juga kalau ada milenial yang memang tertarik. Karena bertani tidak harus kotor. Bisa dengan sistem hidroponik, dengan apapun itu. Bahkan kita berternak lele saja sekarang sudah tidak harus di empang tapi sudah ada kolam plastiknya. Ada teknologinya. Jadi hal-hal seperti itu. 

Sebenarnya keterlibatan teknologi ini menarik para milenial itu untuk masuk. Asalkan mereka mau paham informasi untuk mencari kalau saya masuk ke sini tentu saya, seperti mas Taufik bilang, harus ada keuntungannya. Sekarang milenial bertanya, Saya capek-capek ada keuntungannya tidak? Baliknya kesitu. 

Seperti bisnis lain, buat saya kalau masuk ke dunia pertanian lihat dulu ada yang akan menampung atau tidak jangan sampai saya menanam banyak, tiba-tiba yang menampung pasarnya cuma satu saja atau cuma sedikit. Percuma karena ketika panennya banyak, harga akan turun. Jadi ayo kita gunakan, manfaatkan informasi sebaik mungkin untuk mendukung keterlibatan kamu di pertanian.

Desy Bachir: Aku mau tanya sebenarnya definisi pertanian itu apa? Karena dari tadi kita bahas pertanian tapi ada tambak, lele. Apakah itu masuk dalam satu definisi atau bagaimana? Apa yang termasuk dalam pertanian?

Ignatius Agung Pratama: Jadi kalau kita bicara pertanian itu hampir semuanya. Setiap kegiatan yang memanfaatkan kekayaan alam dalam hal ini yang bisa menghasilkan lagi sesuatu yang mempunyai manfaat untuk kita konsumsi dan ada tenaga yang terlibat dalam kegiatan itu, iya itu pertanian. 

Tapi kalau di Indonesia pertanian itu hanya diambil taninya saja. Jadi hanya ke arah pertaniannya saja tapi di dalamnya itu macam-macam. Ada florikultura, bertani bunga-bungaan. Ada Hortikultura, bertani sayuran. Ada lagi yang namanya tanaman farma. Jadi teman-teman, dunia pertanian itu dunia yang sangat luas dan sangat menarik untuk dijelajahi.

Desy Bachir: Sangat menarik karena mungkin seperti aku juga persepsi lama, petani itu bertani yang kita tahu. Sebenarnya kalau tadi banyak sekali makanya keuntungannya juga banyak seperti akhir-akhir ini, seperti kemarin misalnya Bali mulai digalangkan lagi gerakan kembali bertani, menurut mas Taufik kira-kira seperti itu akan membantu tidak untuk mengembalikan gairah anak-anak muda ke sektor pertanian? Karena sudah dicanangkan juga, salah satunya Bali.

Taufik: Iya. Dengan majunya informasi sekarang, saya kira petani atau bertani itu bukan cuma sesuatu yang spesifik hanya misalnya petani sawah, sawah semua. Sekarang itu lebih lebih ke kawasan pertanian terpadu. Misalnya dia melakukan bertani sesuatu, residunya kemana? Ini pasti ada buangannya jadi itu bisa tanpa limbah, tidak ada yang terbuang, semua terpakai dan akhirnya bersinergi.

Misalnya sawah, setelah panen, gabah atau tangkai padinya biasanya dulu dibakar. Tapi sekarang sudah diekspor, dibuat misalnya sekam, kemudian dikeringkan baru dipadatkan menjadi sesuatu yang lain. Jadi sekarang dari bapak Menteri Pertanian juga sudah memudahkan para milenial untuk mengambil KUR (Kredit Usaha Rakyat). KUR yang 6% itu bisa dapat 500 juta kalau menanam porang.

Desy Bachir: Iya. Jadi sebenarnya juga ada insentif dari pemerintah untuk mendukung gerakan ini. Tapi meskipun demikian, kira-kira mas Agung, apa yang menyebabkan tetap saja ini sepertinya belum banyak pergeseran dari sektor non-pertanian ke pertanian?

Ignatius Agung Pratama: Jadi begini, saya rasa saya bicara mengenai datanya dulu saja. Tahun 2003 sampai 2013, menurut data BPS (Badan Pusat Statistik), ada 508 ribu hektar lahan pertanian itu berubah. Entah jadi lahan perumahan atau lahan industri. Pergeseran ini akhirnya juga memperlihatkan pergeseran para lulusan baru universitas yang akhirnya kenapa mereka akhirnya masuk ke sektor non pertanian. Karena memang dari perubahan-perubahan itu kelihatannya pemerintah juga lebih pro ke arah industrialisasi. Indonesia adalah negara agraris yang dalam tanda kutip kalau kita melempar biji saja harusnya bisa menghasilkan.

Jadi saya rasa, ayo kita sama-sama mengkampanyekan. Jangan sampai pergeseran lahan pertanian menjadi lahan industri, perumahan atau apa pun itu jangan sampai terjadi lagi karena kita gunakan untuk pertanian. Jadi kalau misalnya kita menghasilkan dan ada pendapatan yang terus meningkat di sektor pertanian apalagi kalau ke depan kita bisa menjadi eksporter, bisa ekspor yang tadinya kita impor. Misalnya bawang bombay kita impor, sekarang kita produksi, bisa kita ekspor. Kalau kita melihat potensinya itu ada, kenapa kita tidak mau di situ? Bisa menghasilkan uang juga. Jadi saya rasa mungkin itu.

Desy Bachir: Menarik sekali, seperti tadi mas Taufik bilang bahwa beberapa sudah mulai memberikan insentif untuk orang yang mau masuk ke sektor pertanian. Selain itu, kalau aku dengar di Australia juga ada skema insentif untuk petani muda, ada fasilitas pinjaman bunga rendah untuk pembelian alat mesin pertanian, lahan dan lainnya untuk yang berusia di bawah 40 tahun. Kalau di sini ada tidak seperti itu, mas Taufik?

Taufik: Sebenarnya ada. Cobalah cari tahu. Di kementerian itu banyak sekali program-program diluncurkan terutama untuk pertanian dan perikanan. Dan itu yang terkadang tidak dimaksimalkan oleh desa-desa. Bahkan satu desa pun sudah dapat mengelola sendiri. Bahkan sekarang ada BUMDes (Badan Usaha Milik Desa) dan alat berat itu ada di desa. Jadi anak muda saja yang tidak mau merapat ke Desa.

Desy Bachir: Menarik sekali tapi waktu di Australia juga sempat lihat praktek-praktek seperti ini di rumahnya om Charles?

Taufik: Yang membuat saya terpana saat mengunjungi Australia di tahun 2004 dan membuat saya berkata “Wow… ternyata Australia itu seperti ini ya.” Dimulai dari pendidikannya. Anak-anak, pertanyaan gurunya seperti ini, "Kalau kamu punya 2 hektar lahan, kemudian airnya segini, berapa banyak padi yang bisa kau tanam?" Jadi Australia Selatan itu fokusnya memang di pertanian. Jadi itu contoh pertanyaan-pertanyaan yang mengarahkan anak-anak untuk berpikir untuk bertani. Itu yang pertama. 

Yang kedua, di rumahnya om Derris . Selain di Charles Melton juga saya di tempatkan di peternakan sapi. Di tempatnya om Derris itu saya diminta membuat jerami, waktu itu mesin rusak, traktornya yang rusak. Ketika traktor rusak dia menelepon Kementerian Pekerjaan Umum. Jadi alat-alat, segala macam itu mereka tinggal telepon pemerintah. Itu alat semua dari pemerintah. Terus susu yang membeli siapa? Sudah ada, dari pemerintah sudah beli. Jadi hilirnya sudah ada, mereka tidak pusing dengan hulunya. Ternyata petani di sini tidak terlalu berpikir alat berat, hilirnya kemana. Coba petani kita, berpikir banget itu.

Desy Bachir: Menarik. Terutama tentang pertanyaan-pertanyaannya. Jadi sudah diarahkan saja dari dulu bahwa bertani itu adalah hal yang normal. Tadi mas Taufik bicara bahwa di Australia sudah tidak usah memikirkan hilirnya. Kalau di Indonesia tidak seperti itu? Tetap berpikir hulu, hilir, segala macam? Bagaimana mas Agung?

Ignatius Agung Pratama: Oke. Kalau menurut saya hulu ke hilir itu memang harus dipelajari tapi kalau saya itu lebih menekankan teman-teman itu tertarik dulu saja di dunia pertanian. Jadi mulai kecil saja. Punya uang seberapa atau punya lahan seberapa dicoba dimaksimalkan saja dulu.

Karena untuk saya yang penting adalah peningkatan kapasitas. Sebelum terlibat ke pendanaan, coba dulu saja munculkan rasa tertariknya. Saat kita sudah merasakan bahwa kelihatannya ini dunia yang menarik dan saya mau coba, setelah itu perbesar. Apabila memang mau diperbesar lagi dan diseriuskan lagi, pelajari untuk ke pasarnya. Setelah itu apabila modalnya kurang, kita mendekati pendana untuk mendapatkan interfensi.

Apa pun itu, langsung atau secara tidak langsung selama kita terlibat di dunia pertanian dan ujungnya adalah kita memberdayakan para petani tapi intinya jangan sampai kita malah merepotkan petani dalam hal ini. Tapi selama ujung-ujungnya kita membantu, kita memberdayakan mereka, saya rasa itu inti yang kita inginkan di dunia pertanian. Ini satu saja dari saya yang paling penting untuk teman-teman yang mau masuk di dunia pertanian. 

Konsumsi sayuran di Indonesia per kapita, per orang, per tahun itu hanya 40 kg sayuran. Kita orang Indonesia makan sayur. Kita jauh di bawah yang namanya Malaysia, Filipina. Mereka sudah di lebel 60,70 atau 80 kg per orang per tahun. Jadi kita masih punya potensi untuk sama dengan mereka dan saya rasa 40 kg kita saja itu mungkin kebanyakan hanya cabai sama bawang karena orang kita makan sambal.

Desy Bachir: Cabai itu dihitung sayuran? 

Ignatius Agung Pratama Iya, sayuran.

Desy Bachir: Saya tidak menghitung cabai itu sayur soalnya. 

Ignatius Agung Pratama: Jadi bisa dibayangkan kalau misalnya sambal dikeluarkan dari konsumsi sayuran, mungkin konsumsi sayuran orang Indonesia itu hanya 10%nya saja dari 40 kg tadi. Ini berarti menunjukan bahwa kita itu masih punya potensi. Jadi saya pikir masih banyak yang bisa digarap.

Ayo kalau teman-teman memang tertarik langsung tidak usah setengah-setengah, pelajari benar-benar dan kalau bisa orientasinya orientasi ekspor, orientasi menanam dan menjual sendiri. 

Desy Bachir: Benar. Aku ingin tahu juga dan ingin tanya mas Taufik sebenarnya seberapa besar peranan dan kontribusi pendidikan dan juga pengalaman di Australia terhadap karirnya mas Taufik dan mas Agung di sektor pertanian ini?

Taufik: Iya besar sekali pengaruhnya terutama pemasaran langsung tadi. Selama ini tidak kepikiran untuk pemasaran langsung. Kemudian setelah itu menemukan masalah. Masalahnya adalah saya tidak mahir di 'brand story' atau 'branding'. 'Branding' saya tidak kuat. Belajar lagi bagaimana om Charles dan om Derris. Ternyata 'branding' ini sangat luas. Terutama anak milenial, kenapa tidak masuk di dunia 'branding' ini. Karena kalau petani kita mau 'branding' mungkin tidak bisa optimal.

Desy Bachir: Menarik. Seperti pemasaran langsung, branding, story kalau dari cerita mas Taufik. Kalau dari mas Agung bagaimana? Apa kontribusi pendidikan dan pengalaman di Australia terhadap karir di sektor pertanian?

Ignatius Agung Pratama: Kalau saya mungkin beda dari mas Taufik karena ketika saya sekolah memang pikiran saya tidak ke dunia pertanian waktu itu. Kalau saya melihat sebagai konsumen saja. Setiap kita belanja bulanan ke supermarket jaman kita sekolah dulu. 

Selama kita di Australia saya rasa kita juga tidak pernah kehabisan ide sayuran apa yang akan kita masak karena berbagai macam sayuran tersedia. Buat saya yang menarik ini adalah sebuah pelajaran dimana Indonesia juga harus bisa seperti itu. Dalam artian sayuran itu tidak hanya cabai, tomat, timun, oyong saja. 

Desy Bachir: Tidak lalapan saja.

Ignatius Agung Pratama: Tapi sebisa mungkin banyak sekali sayuran yang bisa kita siapkan di pasar yang bisa kita kenalkan ke masyarakat Indonesia supaya kita pun tidak bosan untuk mengolah makanan dan sayuran untuk keluarga kita atau untuk kita sendiri.

Untuk dunia pertanian sendiri, untuk petani keuntungannya juga banyak. Berarti petani kalau musim ini menanam tomat, besoknya menanam sawi, besok menanam apa, mereka bisa mendapatkan harga yang cukup baik dari pada mereka menanam bawang, setelah bawang, bawang lagi. Atau padi, habis itu padi lagi, padi lagi. Jadi ketika semua tetangganya menanam padi, panen bersamaan, harganya turun. Jadi hal-hal seperti itu. Diversifikasi produk.

Desy Bachir: Sebenarnya menarik tapi penah tidak yang namanya merasa tidak cinta lagi dari pertanian? Dan apa yang membuat sampai merasa seperti itu dan apa yang membuat kembali kalau misalnya ada? Aku ingin tahu. Apa tantangan yang membuat "mungkin saya seharusnya tidak disini." Aku lihat sudah senyum-senyum mas Taufik. Bagaimana mas ceritanya?

Taufik: Iya, namanya bisnis ada naik turunnya. Sudah sempat hampir menyerah. Apalagi waktu terhantam pandemi. 2018 kita musyawarah nasional (munas) BUMDes di Padang. Kita diberikan banyak sekali koneksi dan kita mencoba kawasan pertanian terpadu. Kita membuka serai wangi citronella kemudian kita kombinasikan dengan ternak. Kemudian saat mulai jalan, kita diterpa pandemi. Lumayan besar kita modali tapi bantuan seperti mesin dan alat berat tidak masuk karena semua dana harus masuk ke pandemi 

Desy Bachir: Dana penanggulangan Covid-19.

Taufik: Itu sudah 2 tahun lebih, termasuk sampai sekarang. Kemudian dari bisnis utama juga kacau, udang juga kacau, semua kacau, pandemi tidak ada yang beres. Hampir menyerah sampai akhirnya ada satu titik terang yaitu rumput laut. Kita main di rumput laut cottoni. Dan akhirnya Alhamdulillah sekarang rumput laut Kalimantan Utara lumayan berbicara ini.

Desy Bachir: Menarik. Seperti bisnis lainnya karena yang terdampak oleh pendemi tentunya semua sektor tapi harus mencari inovasi dan akhirnya menemukan juga dan tetap di sektor ini juga mas Taufik sebenarnya. Menarik sekali ceritanya. Kalau mas Agung bagaimana? Pernah ada masa mau tidak cinta lagi dari pertanian? Apa tantangannya dan bagaimana mengatasinya?

Ignatius Agung Pratama: Kalau saya tipe yang berkomitmen dengan apa yang saya lakukan. Pertanian saya rasa cukup menarik. Jatuh bangunnya selalu ada. Hanya kalau saya melihat secara umum, pandemi juga ke semua bidang termasuk juga pertanian tapi buat saya yang paling penting sekarang ini adalah perubahan iklim. Jadi banyak sekarang sudah susah modal, pasar susah tambah lagi musim juga susah. Itu yang membuat saya juga sedih. Yang bisa ditanggulangi ini adalah perubahan iklim. Ini menjadi tantangan kita semua.

Jadi saya pikir dengan adanya teknologi kedepan. Intervensi misalnya pertanian di dalam ruangan, lalu pertanian dengan bantuan prediksi cuaca dari teknologi satelit atau pertanian pintar dan sebagainya itu sangat penting. Jadi saya pikir semakin teknologi itu bisa semakin dikenalkan dan semakin terjangkau saya rasa itu akan semakin bisa membantu dunia pertanian dan petani-petani kita.

Desy Bachir: Iya. Saya pikir perubahan iklim adalah tantangan yang sangat jelas. Tadi kita sudah bicara menengenai tantangan. Tadi di awal podcast ini kita bilang bahwa ada gerakan petani milenial dan Kementerian Pertanian menargetkan untuk melahirkan 2,5 juta petani milenial pada tahun 2024 mendatang dengan berbagai strategi. Pesan apa yang bisa disampaikan oleh mas Agung, mas Taufik kepada generasi milenial ini? Supaya memang tertarik untuk memajukan sektor pertanian dan apa tipsnya untuk bisa masuk dan menjalankan usaha di sektor pertanian?

Selain tadi mulai dulu saja. Coba dulu. Dapat ketertarikan dulu. Apa lagi yang bisa dibagi ke teman-teman semua?

Ignatius Agung Pratama: Jadi kalau menurut saya, ini adalah suatu inisiatif yang bagus dari pemerintah. Sekarang tinggal bagaimana kita sebagai generasi muda untuk menyambutnya. Tips yang paling pertama adalah cari tahu kesempatan itu seperti apa lebih lanjut dan lebih jelasnya seperti apa.

Juga untuk para milenial, kepada teman-teman yang mau terlibat di dunia pertanian seperti yang tadi sudah saya informasikan, tidak harus besar sekali lagi. Jadi mulai dari kecil terus munculkan kecintaan kalian di dunia pertanian. Tidak perlu kita mengambil berjuta-juta uang pinjaman atau apapun itu. Ketika nanti memang sudah muncul ketertarikan dan kalian yakin pasar yang kalian cari itu akan menghasilkan intervensi finansial sangat dibutuhkan dan banyak sekali kanal-kanal yang bisa dicoba untuk mendukung itu. Jadi maksimalkan informasi dan coba. Saya rasa itu saja. 

Desy Bachir: Oke. Kalau dari mas Taufik bagaimana mas?

Taufik: Kalau dari saya, bertani itu adalah sebuah alasan untuk kembali ke desa karena teman-teman di kota biasanya kuliah. Rata-rata dari kuliah pasti nanti kembali ke kampung halaman mau apa?

Desy Bachir: Tidak tahu mau apa. 

Taufik: Iya, tidak tahu mau apa di desa. Jadi menurut saya tidak ada alasan untuk tidak mulai bertani. Sebetulnya kalau mau berhitung, ayo berhitung, bertani itu jauh lebih menguntungkan dari pada kerja di kota. Tapi balik lagi strateginya. 

Dari saya strateginya begini. Teman-teman milenial kalau memang mau masuk itu pahami dulu kalau tanaman jangka panjang itu memang untungnya besar tapi jangka panjang. Misalnya tanaman porang itu 1,5 tahun. Kalau begitu coba juga tanam tanaman jangka pendek misalnya lombok atau daun bawang. Itu bisa ekstensifikasi dan kalau mau lebih besar lagi bergabung dengan koperasi.

Desy Bachir: Sama intinya, kita sudah bahas beberapa kali, ini sama seperti bisnis lainnya. Memang harus dicari peluangnya, strateginya, brandingnya, ekstensinya, diversifikasinya dan sebenarnya kebutuhan akan pangan tidak habis-habis. Makin bertambah dengan makin banyaknya jumlah penduduk kita.

Oke. Menarik sekali pembicaraan soal pertanian. Aku jadi belajar banyak hal. Teman-teman semua mudah-mudahan juga sama terhiburnya dan sama bertambah ilmunya seperti aku selama berbicara dengan mas Taufik dan mas Agung. Oke. Sekali lagi terima kasih banyak mas Taufik, mas Agung untuk pembicaraan kita hari ini dan terima kasih juga untuk teman-teman yang sudah mendengarkan.

Di episode selanjutnya, akan ada interview eksklusif lainnya dengan tamu-tamu yang lain dengan cerita-cerita yang juga menarik dan informatif. Dengerin terus OzAlum Podcast, di mana saya akan bicara tentang pengalaman alumni Australia yang menginspirasi dan tentunya juga menarik untuk didengarkan.

Sekian untuk episode kali ini di podcast OzAlum. Jika kamu suka podcast kami, beri kami penilaian dan ulasan dan jika kamu ingin tetap terhubung dengan jaringan alumni kami dan tetap mengikuti acara alumni kami, kamu dapat mengikuti update mingguan Alumni Global Australia kami dan bergabung dengan Forum Alumni Australia-Indonesia di LinkedIn. Tautannya ada di deskripsi podcast. Sampai jumpa di sini pada bulan Oktober.

Saya Desi Bachir. 

Ignatius Agung Pratama: Saya Agung. 

Taufik: Saya Taufik.

Sampai ketemu semuanya. Bye.